News

Inovasi Radar dari FT-EIC ITS: Deteksi Penyakit Sawit hingga Tingkat Stres Manusia

Sen, 30 Jun 2025
10:00 am
Berita Terkini
Share :
Oleh : adminelectics   |

Gambar: Bapak Rezki (dua dari kiri) beserta Tim saat Kunjungan di Pabrik Sawit.

Surabaya, FT-EIC ITS – Menggabungkan ketajaman teknologi radar dengan permasalahan nyata di masyarakat, Rezki El Arif, S.T., M.T., Ph.D., dosen muda dari Departemen Teknik Biomedik ITS, menjadi salah satu sosok yang mendorong kemajuan riset multidisiplin di lingkungan FT-EIC.

 

Meskipun baru bergabung dengan ITS pada Februari 2023, Bapak Rezki  langsung menginisiasi riset inovatif melalui program Grant Riset Sawit (GRS) yang digagas oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Di tahun yang sama, ia mengusulkan ide penggunaan radar untuk mendeteksi penyakit Basal Stem Rot (BSR), yaitu pembusukan batang bawah yang disebabkan oleh jamur Ganoderma, salah satu masalah serius dalam industri kelapa sawit nasional.

 

Gambar: Tim Riset Melakukan Observasi Langsung di Area Pengolahan Kelapa Sawit.

Riset yang diajukan Bapak Rezki tak hanya menarik karena pendekatannya yang unik, menggunakan radar non-kontak untuk mendeteksi infeksi jamur, tetapi juga karena semangat kolaboratifnya. Bersama tim yang terdiri dari peneliti FT-EIC, Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Unit Marihat, dan Universitas Brawijaya, riset ini berhasil memperoleh pendanaan dua tahun penuh dari GRS, yang akan berakhir pada 2025.

 

Pada tahun pertama, tim berhasil merampungkan desain dan prototipe alat radar. Kini, mereka tengah memasuki fase krusial pengumpulan dataset di berbagai kebun sawit di Indonesia, mulai dari Sumatra hingga Kalimantan. Kendala terbesar selama riset bukan terletak pada teknis radar, namun justru pada akses lokasi. Sebagian besar kebun sawit berada di wilayah terpencil yang hanya dapat dicapai dengan perjalanan panjang lintas darat.

 

Gambar: Proses Pengambilan Data Radar pada Sampel Sawit di Kebun.

Meski begitu, semangat riset tidak surut. “Salah satu indikator kesuksesan GRS memang adalah realisasi nyata di lapangan,” ujar Pak Rezki  saat ditemui tim FT-EIC. Prototipe ini nantinya diharapkan bisa dimanfaatkan oleh petani, industri sawit, hingga badan riset pemerintah.

 

Selain aktif di GRS, Pak Rezki  juga menginisiasi riset lain melalui skema Riset Kolaborasi Indonesia (RKI) yang dikelola oleh Kemendikbudristek. Kali ini, teknologi radar diarahkan untuk kebutuhan deteksi tingkat stres manusia secara non-kontak. Sistem yang dikembangkan ditujukan sebagai alat bantu bagi para psikolog dalam mengukur kondisi mental pasien secara objektif.

 

Berbeda dari alat-alat konvensional seperti EEG atau ECG yang bersifat kontak langsung dengan tubuh, sistem radar ini menawarkan pendekatan yang lebih nyaman untuk pemantauan jangka panjang. Alat ini tidak menggantikan peran psikolog, namun memberikan data kuantitatif untuk mendukung analisis dan diagnosis klinis.

 

Kolaborasi dalam proyek ini melibatkan mitra dari Universitas Brawijaya dan Universitas Airlangga, dua institusi yang telah menjalin hubungan akademik dengan Bapak Rezki sejak masa studinya. Ia bahkan masih menjalin kerja sama aktif dengan almamaternya di National Sun Yat-sen University, Taiwan, yang turut menjadi mitra riset internasional dalam pengembangan teknologi radar.

 

Di balik dua riset besar ini, ada benang merah yang menjadi kekuatan utama, yaitu konsistensi. Sejak jenjang S2 hingga S3, beliau  terus mendalami sistem radar. Fokus yang tajam ini, menurutnya, adalah fondasi penting dalam karier akademik. “Saya tidak berpindah-pindah topik. Core-nya tetap radar, hanya aplikasinya yang berbeda,” ungkapnya.

 

Meski riset sawit awalnya bersifat eksploratif, ke depannya Pak Rezki  berencana kembali memperkuat pengembangan radar untuk aplikasi-aplikasi biomedik. Namun demikian, ia tetap membuka kemungkinan kolaborasi lintas bidang, selama tetap berada dalam koridor keilmuan radar.

 

Bagi para rekan dosen muda dan mahasiswa yang ingin meniti jalur riset, ia menekankan pentingnya membangun konsistensi dan fondasi yang kuat. 

“Belajar dalam satu bidang secara mendalam selama bertahun-tahun itu tidak sia-sia. Justru dari situ, ide-ide baru akan muncul dan bisa berkembang ke berbagai arah,” tutupnya.

Latest News

Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Ada yang bisa kami bantu?
Selamat datang, di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS).