ITS News

Minggu, 05 Mei 2024
23 Januari 2008, 13:01

Kiat Sistem Perkapalan ITS Tekan Kegagalan Ujian

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Hall asri jurusan Sistem Perkapalan, Fakultas Teknologi Kelautan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, pagi kemarin tak begitu ramai. Hanya tampak beberapa mahasiswa di ruang organisasi kemahasiswaan. Sebagian besar mahasiswa memang sudah menyelesaikan Ujian Akhir Semester (UAS). Ruang tersebut menyatu dengan hall bertulis semboyan: Arek Siskal Smart, Gaul and Keren Abiss.

Suasana lengang itu berbeda ketika menginjakkan kaki di lantai satu. Ada pemandangan unik yang tak dijumpai sehari-hari. Sebanyak 66 mahasiswa, 57 laki-laki dan sembilan wanita mengenakan pakaian tradisional khas Surabaya yang biasa digunakan dalam kontes Cak&Ning.

Mahasiswa laki-laki memakai beskap hitam lengkap dengan udeng, jam gandul, jarik motif batik dan sepatu fantofel. Sedangkan yang wanita tampak anggun berbalut jarik dan kebaya khas Surabaya bersematkan selendang transparan.

Sepintas orang mengira, para mahasiswa itu akan mengikuti kontes atau karnaval. Tapi, tidak. Mereka mencangklong tabung berisi gambar di pundak, sekitar 200 halaman laporan akhir berada di tangan masing-masing. Mereka menunggu panggilan dari ruang 208 untuk ujian lisan PKM yang dimulai pukul 08.45.

Penampilan mereka mampu menutupi rasa tegang yang biasa dihadapi mahasiswa menjelang ujian. Untuk mengisi waktu, mereka membentuk lingkaran-lingkaran diskusi di sepanjang lorong ruang ujian.

Namur, ada juga mahasiswa yang sedikit nervous. Astra misalnya, pria asal Medan, Sumatra Utara, itu mengaku pusing. Dia melepas udeng-nya lantas mengibaskan rambutnya yang gondrong.

Tak jauh dari lorong, Hendra, salah satu mahasiswa tampak kepanasan sampai-sampai kancing beskap-nya dilepas. "Saya tidak pernah pakai ini (Beskap, Red.). Panas, apalagi Surabaya sedang panas sekali," katanya.

Dia memang tampak canggung memakai beskap. "Saya ikut pinjam (beskap, Red.) kolektif dengan teman-teman karena saya tidak tahu pinjam kemana," kata mahasiswa Minang itu.

Tapi, busana itu tidak dikenakan dari tempat kosnya. "Sebab, pakai jarik ribet. Bisa-bisa saya disangka mau ikut karnaval," kelakarnya.

Dia baru mengenakan kostum itu setiba di kampus. "Ganti pakaian di kantin bareng sama teman-teman," katanya. Ternyata, dia kerepotan juga memakai kostum itu dan minta bantuan temannya.

Mahasiswa pria memang rame-rame menyewa kostum itu di salon. "Lebih praktis dan tidak repot," kata Hari Kusmianto. Dia tidak perlu bingung mencari persewaan kostum Suroboyoan karena ibu salah seorang seniornya buka usaha salon sekaligus menyewakan beskap lengkap.

Karena itu, ketika ada tawaran, tanpa pikir panjang Hari langsung setuju. Awalnya hanya empat temannya yang ikut menyewa, tapi setelah banyak yang tahu, yang ikut tambah banyak.

Untuk mengepas beskap tersebut pada masing-masing mahasiswa, sebelum deal, Hari membawa contoh ke kampus untuk fitting. "Teman-teman saya kan tidak sama ukurannya, jadi harus fitting dulu," kata pria asal Nganjuk itu. Setelah pas dan nyaman, mereka setuju menyewa dengan harga Rp.40.000,- per item.

Meski tidak murah, tapi Hari dkk. tidak keberatan. "Kan jarang pakai beskap. Apalagi, pas ujian," katanya. "Tadi juga sempat foto-foto bersama di halaman," lanjutnya lantas tertawa. Hari semula juga bingung cara melilitkan jarik. Untung ada pegawai salon yang mengarahkan cara memakainya.

Berbeda dengan Hendra yang kepanasan, Hari sama sekali tidak merasa panas memakai beskap. "Menghadapi ujian dengan pakaian begini justru lebih santai," katanya.

Sosialisasi keharusan memakai kostum Cak&Ning sudah dilakukan pihak jurusan seminggu sebelum ujian. "Mau tidak mau harus pakai. Kalau tidak, ya… tidak bisa ikut ujian," kata Prima Fajar, yang menyewa kostum lewat Hari.

Memang ada beberapa temannya yang kaget karena belum pernah pakai kostum itu. "ITS kan ada di Surabaya. Jadi, untuk beradaptasi, mahasiswanya harus mengenal budaya Surabaya. Salah satunya dengan bangga mengenakan pakaian ini," ujar Prima bak dosen budaya.

Tapi, ketika ditanya tentang aksesori beskap, mahasiswa asal Surabaya itu hanya tersenyum. "Saya tidak tahu namanya," katanya.

Mahasiswa pria memang sedikit lebih repot dibanding rekan wanitanya. "Kalau mereka (mahasiswa pria, Red.) sampai pesan ke salon, saya cukup pakai kebaya wisuda D3. Jadi, tak repot pinjam atau beli," kata Nurul Hikmah.

Sebetulnya, lanjut mahasiswa asal Kudus, Jateng itu, memakai kebaya ribet juga. "Sebab, bahannya panas dan kainnya ketat. Untuk jalan saja susah, apalagi naik motor," katanya. "Tapi, seru juga. Dosen-dosen kami memang unik peraturannya," lanjut gadis yang hobi nyanyi itu. Nurul memang tampil anggun dan feminin mengenakan kostum Ning.

Mercy Christine Pattiwael asal Papua juga tak sulit mendapatkan kostum Ning. "Beruntung saya dapat pinjaman dari teman yang punya kebaya lengkap dengan kainnya sehingga tidak perlu repot-repot ke salon," katanya.

Dia bahkan tidak ribet menyiapkan kebaya karena pikiranya lebih fokus pada ujian. "Mata kuliah PKM memang paling sulit," kata mahasiswi angkatan 2002 itu.

Penentuan kostum ujian datang dari koordinator PKM. Sejak sebulan sebelum ujian, mahasiswa sudah diberitahu tentang kostum yang bakal dipakai. Untuk Ujian Tengah Semester (UTS) mahasiswa diwajibkan mengenakan kaus putih santai dan jins. Sedangkan untuk UAS PKM ini wajib mengenakan pakaiaan adat Surabaya.

Ide dress code itu muncul dari Koordinator PKM, Dwi Priyanta, dua tahun lalu. Kali pertama menjadi koordinator, menurut Dwi, tingkat kegagalan mahasiwa dalam ujian mata kuliah itu sangat tinggi, sekitar 70 persen.

Maka, dia pun mencari cara untuk menurunkan tingkat kegagalan yang lebih dari dua kali itu. Salah satunya dengan memberi sanksi, mengenakan kostum Cak&Ning ketika ujian ulangan. "Awalnya mereka protes. Tapi, akhirnya tetap ikut dan ternyata enjoy," kata Dwi. "Bahkan, yang tidak dihukum pun, minta pakai kostum Cak&Ning juga," lanjut pria asli Kediri itu.

Sejak itu, semua peserta ujian akhir PKM wajib pakai kostum Cak&Ning. Kostum itu dipilih agar mereka -utamanya mahasiswa luar daerah– bisa beradaptasi dan makin mengenali budaya Surabaya melalui busana. "Sudah tiga semester kita memberlakukan peraturan ini," kata Dwi yang ditemui di sela-sela waktunya menguji.

Sejak sanksi itu berubah jadi tradisi, tingkat kegagalan ujian PKM turun drastis. Hanya sepuluh persen. Kok bisa? "Ya bisa dong. Siapa dulu bapaknya?" kelakar Dwi.

Dia berharap tradisi itu tetap dipertahankan karena sudah menjadi ciri khas jurusan Sistem Perkapalan. "Saat ini PKM bukan merupakan tugas akhir. Tapi, diproyeksikan menjadi tugas akhir pada 2009," kata dosen yang juga sekretaris jurusan Sistem Perkapalan itu.

Di ruang ujian, suasana tidak selalu tegang. Sebab, pertanyaan yang dilontarkan dosen kadang diselingi canda. "Hayooo…jelaskan, katanya pada mau lulus," goda Beny Cahyono pada Priya Kusuma dan Victoria Bernadetha Febry.

Kedua mahasiswa itu sama-sama menggambar kapal cargo, hanya berbeda ukuran. Dosen penguji menanyakan berbagai hal, mulai ukuran skala sampai penebalan gambar.

Kostum khas yang dikenakan mahasiswa, kata Tjoek Soeprajitno, salah satu penguji, sama sekali tidak mengganggu proses ujian yang berlangsung satu jam.

Mata kuliah PKM punya bobot 6 SKS (satuan kredit semester). Tugas menggambar dan membuat laporan itu ditempuh dalam satu semester, termasuk konsultasi dengan pembimbing.

Mahasiswa menggambar dengan sistem autocad yang dicetak usuran poster. Gambar rancang kamar mesin kapal itu harus memenuhi syarat, general service system, fuel system, lub oil system, cooling water, start compossed air system, sanitary sewage system, general cargo loading and unloading, sistem kelistrikan, dan penampang kapal.

Sebelum masuk ruang ujian, Dwi memberi pengarahan kepada peserta ujian. Selain mengecek nilai pra ujian, Dwi juga memberi semangat pada mahasiswanya dengan memberikan reward berupa stiker eksklusif bagi yang lulus. (cfu)

Berita Terkait