ITS News

Selasa, 14 Mei 2024
19 Juni 2006, 11:06

Belajar dari Budaya Baca-Tulis Jepang

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Penguasaan dan ketrampilan (skill) masyarakat jepang dalam mendayagunakan teknologi tinggi ini juga tidak lepas dari keunggulan budaya baca tulis (literacy) yang dibangun sejak masa Restorasi Meiji berlangsung. Pada massa itu, dibawah kebijakan sang kaisar, dimulailah penerbitan buku-buku secara massal, juga usaha melakukan penerjemahan (translation) berbagai macam buku dari barat mulai buku tentang sastra, ekonomi, politik, teknik,ilmu dasar, aplikasi teknologi maupun filsafat. Usaha didukung dengan pengiriman sejumlah pemuda terpilih untuk dikirim belajar ke luar negeri (Eropa dan Amerika) sesuai dengan bidang minatnya. Setelah tamat mereka wajib kembali ke tanah air untuk mengabdikan hasil pendidikannya. Jadilah, Jepang menjadi bangsa yang pembaca yang siap melahap berbagai literatur belahan dunia.

Tulisan ini hendak menyajikan secara sekilas bagaimana budaya baca tulis di Jepang dan korelasinya terhadap kemajuan masyarakatnya. Dengan harapan, semoga membawa inspirasi bagi semua pihak, utamanya warga kampus dan masyarakat Surabaya untuk lebih peduli dengan dunia pendidikan, khususnya dengan tradisi membaca dan menulis.

KAYA SUMBER BACAAN
Seorang teman korespondensi saya, yang sekarang masih tinggal di Jepang pernah mengatakan bahwa ia sangat menikmati ketika mengunjungi toko buku di negeri sakura tersebut. Apa pasal? ternyata ia bisa membaca sepuasnya, tanpa harus membeli buku dan yang lebih penting: ia tidak ditegur, apalagi ‘dipelototi’ oleh satpam, sebagaimana lazimnya di sejumlah toko buku di Surabaya.

Darinya saya tahu, jika kegiatan ini biasa disebut dengan Tachiyomi. Istilah ini berarti membaca sambil berdiri meski tidak membeli. Aksi Tachiyomi ini menjadi pemandangan yang lumrah disetiap toko buku, baik yang menyediakan buku baru maupun bekas. Para owner (pemilik toko) juga mendukung sepenuhnya, karena mereka sudah membuktikan sendiri bahwa Tachiyomi ternyata berkorelasi positif dengan angka penjualan. Makin banyak yang melakukan Tachiyomi, makin banyak buku yang terjual.

Perpustakaan umum (yang umumnya dikelola oleh pemerintah daerah/pusat) juga sangat memanjakan pengunjungnya. Keberadaanya bukan hanya terletak di pusat kota, namun juga menjangkau hingga ke pelosok. Jika buku yang hendak dipinjam tidak ada pada perpustakaan dekat tempat tinggal, pengguna bisa memesan ke perpustakaan lain lewat pustaka lokalnya. Inilah yang menyebabkan, akses buku masyarakat di desa tidak kalah dengan masyarakat kota.

Jejaring perpustakaan publik disinergikan dengan pengembangan bentuk-bentuk aplikasi model perpustakaan modern yang berbasis digital, seperti pembentukan e-library yang menyediakan bacaan, artikel populer, buku hingga jurnal dalam bentuk online yang bisa diakses kapan saja dan dimana saja. Menggandeng University of Tokyo, pemerintah Jepang pada tahun 2002 telah sukses meluncurkan e-library for community, ini adalah sebuah program pemberdayaan perpustakaan digital dengan basis pengembangan masyarakat, dimana selain pengguna bisa mengakses, mereka juga dilibatkan sebagai kontributor untuk mengisi naskah/tulisan dalam program tersebut. Yang perlu dicatat, semua bentuk layanan baca tulis ini disedikan secara gratis, jikalaupun ada beberapa item yang harus dibayar, umumnya dengan harga yang terjangkau oleh pengguna kelas bawah sekalipun.

Dengan pola seperti ini, masyarakat Jepang  tumbuh menjadi bangsa yang "gila baca". Adalah umum dijumpai penumpang kereta api yang membaca buku bersampul rapi, kepala tertunduk dan khusyuk membaca. Begitu juga di bis-bis, taman dan berbagai tempat umum, banyak orang yang asyik dengan buku bacaan ditangan.

Jangan heran, jika produksi buku di Jepang tergolong tinggi. Berdasarkan catatan dari Japan Economic Monthly Vol. 4 tahun 2004 disebutkan bahwa tahun 2003 terdapat sekitar 72.608 judul buku yang dihasilkan dengan dukungan sekitar 4.300 penerbit aktif. Jumlah toko bukunya mencapai 23.000 buah dengan standar harga yang hampir seragam.

TRADISI MENULIS
Mengapa minat baca masyarakat Jepang begitu tinggi? Salah satunya disebabkan tradisi menulis yang sudah mengakar sejak lama. Budaya menulis sudah dikenalkan sejak usia dini. Di sekolah dasar, siswa-siswinya kerap mendapatkan tugas mengarang ketika masa liburan tiba. Mereka diberikan tugas mengerjakan writing project yang berisi rekaman kegiatan selama liburan. Isinya bebas. Tergantung kemana dan dimana anak-anak (bersama keluarga tentunya) menghabiskan masa liburan itu.

Hasilnya kemudian dibacakan didepan teman-temannya. Seringkali kumpulan tugas  mengarang ini dijadikan satu untuk didokumentansikan. Sehingga, kelak jika mereka lulus dapat melakukan nostalgia mengenai kenangan masa kecil. Tak heran jika rata-rata remaja Jepang memiliki kecapakan menulis yang lebih baik dibandingkan dengan negara-negara lain. Penegasan ini bisa dilihat dari hasil studi Center for Japan Development pada tahun 2002 yang menyebutkan bahwa 8 dari 10 pemuda Jepang memiliki skill menulis. Ini lebih baik jika dibandingkan dengan Amerika yang hanya 5:10 atau Jerman 6:10.

Yang patut kita catat (utamanya bagi pelaku pendidikan), Jepang menghasilkan buku-buku ilmu pengetahuan dan teknologi yang ditulis dalam bahasa Jepang sendiri. Literatur karya ilmuwan dan praktisi lokal tentu lebih mudah dicerna jika dibandingkan dengan buku-buku impor yang umumnya berbahasa asing, belum lagi harganya cukup mahal.

KONTEKS KE-SURABAYA-AN
Rasanya memang tidak fair, jika kita membanding-bandingkan kondisi riil kita, utamanya di kota Surabaya dengan apa yang terjadi di Jepang. Tetapi, lebih tidak bijak lagi jika kita lamban belajar dari keberhasilan orang lain. Jika di Jepang bisa, mengapa disini tidak?

Kita punya potensi untuk itu. Secara formal, kita memiliki Perpustakaan Daerah Jatim dan Perpustakaan Kota Surabaya sebagai ujung tombak memberikan layanan baca tulis secara publik. Perguruan Tinggi juga membuka akses yang luas kepada warga sekitar untuk memanfaatkan fasilitas yang ada.

Yang mungkin kurang hanya soal pembiayaan dan pemberdayaan. Koleksi buku yang minim harus segera dilengkapi. Pelayanan yang belum nyaman harus dibenahi. Perpustakaan harus didesain sedemikian rupa sehingga bisa menjadi rumah kedua bagi warga kota. Untuk melepas lelah di hari sabtu, mereka harusnya tak perlu keluar kota. Cukup mengunjungi perpustakaan bersama seluruh anggota keluarga.

Di Depok ada sebuah rumah yang disebut Rumah Cahaya (http://rumahcahaya.multiply.com), ini adalah tempat dimana warga bisa membaca koleksi buku dengan sepuasnya. Konsepnya memang dari warga dan untuk warga. Saya membayangkan jika disetiap RT atau kelurahan di Surabaya bisa didirikan masing-masing rumah seperti ini tentunya warga kota tidak perlu jauh-jauh untuk sekedar membaca-baca. Untuk merealisasikannya tidak perlu dengan biaya mahal, bisa secara swadaya. Lokasinya bisa di Balai RT/RW atau “ndompleng” di kantor kelurahan. Buku-bukunya pun bisa dari sumbangan warga setempat.

Kalau kecintaan membaca sudah terpupuk, menulis tinggal menunggu waktu saja. Yang jelas, meningkatkan minat membaca dan menulis merupakan sebuah investasi jangka panjang. Layaknya sebuah investasi, hasilnya mungkin baru bisa kita nikmati lima, sepuluh atau duapuluh tahun kedepan, namun dengan jaminan akan generasi yang tanggap, cerdas dan cekatan.

Semoga makin banyak warga kampus yang mencintai dunia membaca dan menulis.

Surabaya, 12 Juni  2006.

Opini ini juga tersedia di blog penulis : http://thecafe.blogsome.com/2006/06/18/belajar-dari-budaya-baca-tulis-jepang/

Nurhadi
nurhadi@ep.its.ac.id

Berita Terkait