ITS News

Senin, 13 Mei 2024
28 Februari 2006, 17:02

Alisjahbana, Pembela PKL Surabaya

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Gagal mendapatkan kursi walikota Surabaya pada Pilkada 2005 tidak menghilangkan keinginan Alisjahbana berkontribusi untuk pembangunan kota. Kesibukannya sebagai Wakil Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) juga tidak memberhentikan keinginannya. Salah satu wawasan yang beliau sumbangkan adalah bagaimana memahami kaum Pedagang Kaki Lima (PKL).

"Bertemu para pedangang, mengajaknya ngobrol di Lokasi-lokasi PKL, bisa membuka hati kita yang selama ini umumnya memandang mereka sebagai biang kekumuhan dan semerawutnya kota," kata beliau ketika berdiskusi mengenai buku terbarunya, Sisi Gelap Perkembangan Kota di Rektorat ITS Lantai III.

Alisjahbana, Kelahiran Medan, Sumatra Utara, 12 Mei 1949, sebenarnya hanyalah salah satu Dosen di Surabaya, termasuk Jurusan Perencanaan Kota Pasca Sarjana ITS. Pendidikan terakhirnya saja diselesaikan tahun 2005 kemarin di Bidang Ilmu Sosial Pasca Sarjana UNAIR. Suatu hal biasa karena banyak Dosen ITS lulusan Luar Negri yang notabenenya memiliki kualitas pendidikan lebih baik dari Indonesia.

Namun, usahanya meneliti PKL hingga ke lapangan bahkan menyamar menjadi salah satu dari mereka menjadikannya eksis di mata masyarakat Surabaya. Karena dengan penelitian tersebut, dia berhasil membuat disertasi S3-nya. Disertasi ini menjadi dasar penulisan keempat bukunya yang berkaitan dengan sektor informal perkotaan.

Sejak 2003, dia selalu menulis, setiap tahun satu buku. Keempat bukunya, Urban Hidden Economy (2003, LPPM ITS), Kebijakan Publik Sektor Informal (2004, ITS Press), Sisi Gelap Perkembangan Kota (2005, LaskBang PRESSindo), dan Buku terakhirnya diterbitkan ITS Press tahun 2006, berjudul Marginalisasi Sektor Informal Perkotaan.

"Sebenarnya buku yang saya buat ini, merupakan potong-potongan dari disertasi saya. Tentunya buku ini telah disempurnakan agar mudah dipahami," ucap mantan Sekkota Surabaya ini saat Diskusi dan bedah buku, Rabu (22/2) di ITS.

Diskusi mengenai dua bukunya terbaru memastikan dia kembali produktif. Saat itu (22/2) karyanya dikritisi karena bukan sebagai solusi dari masalah PKL atau sektor informal lainnya.

Ali mengakui hal itu. "Orang akan terus bertanya apa solusinya. terus terang buku ini bukan bicara tentang solusi namun membahas bagaimana PKL itu ada. karena untuk mencari solusi dari keberadaan PKL harus tahu dahulu akar masalahnya," tutur beliau.

Karena itu Audiense minta agar segera menulis buku lagi sebagai pelanjut potongan-potongan disertasinya sebagai kontribusi real pada pembangunan kota.

Akar dan Solusi Masalah PKL

Menurutnya, solusi yang paling tepat adalah yang berpijak pada faktor-faktor pendorong adanya PKL sebagai salah satu sektor informal perkotaan. " Pembangunan yang tidak merata, hanya terpusat di Kota menyebabkan Sektor ini menjadi tidak terhindarkan," paparnya.

Beliau Menyimpulkan tujuh alasan yang melatarbelakangi kemunculan mereka. Sebagaimana dilansir oleh JawaPos (25/1), di kolom Opini berjudul Mencari Akar Masalah dan Solusi PKL, Mereka ada karena terpakasa karena tiada Pekerjaan lain, ter-PHK, Rezeki yang halal, upaya mandiri, menghidupi keluarga, pendidikan rendah dan modal kecil, dan kesulitan kerja di tempat asal.

Walapun demikian peran mereka sangat besar, bisa memecahkan 10% kemiskinan Kota. Sehingga, menurut beliau, perlu disusun konsep yang mampu mengakomodasi PKL sebagai salah satu aktor ekonomi kota. " Selain itu, Kerjasama dengan daerah-daerah sekitar dan pemerataan pembangunan juga perlu. Adapun dengan program penataan PKL, perlu pendekatan society participatory development yang ditunjang relasi yang egaliter. Pemerintah dan PKL adalah mitara yang sejajar dalam menggali potensi mereka" ungkap Alisjahbana.(mac/ftr)

Berita Terkait