ITS News

Senin, 06 Mei 2024
07 Januari 2006, 06:01

Mahasiswa Bukan Preman

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Ironis sekali memang, dimana mahasiswa yang diberi kesempatan menduduki hierarki tertinggi dalam dunia pendidikan ternyata tingkah lakunya tak ubahnya seperti preman. Kasus seperti ini tak terjadi satu atau dua kali saja dalam dunia kemahasiswaan. Dan masalah yang menjadi penyebabnya-pun juga sangat sepele. Entah apa yang ada dalam benak mahasiswa yang demikian.

Apakah terjadi kemunduran dalam sistem pendidikan di Indonesia? Ratusan tahun silam, Aristoteles mendefinisikan universitas adalah suatu institusi yang skolastik, yang berorientasi pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Universitas adalah gerbang bagi para mahasiswa untuk menuntut ilmu guna mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan Cicero mendefinisikan universitas adalah sebagai institusi humanistik, sesuatu yang banyak berkiprah dalam bidang sosial kemasyarakatan. Warga masyarakat selalu menunggu hasil cipta karya dari mahasiswa di universitas.

Karena itu, perguruan tinggi sebagai generator ilmu dan budaya sudah seharusnya bisa menciptakan iklim ilmiah dalam kehidupan kampusnya. Memang tak jarang pola pikir mahasiswa berseberangan dengan pemikiran para akademisi. Perlu seni dalam menghadapi mahasiswa. Dengan karakter mereka yang bermacam-macam, mahasiswa memiliki potensi dan kemampuan masing-masing yang harus digali. Sebagai kaum intelektual, sudah menjadi keharusan mahasiswa dapat mengembangkan potensi, bakat, dan kemampuannya untuk dapat diaplikasikan dalam masyarakat. Sehingga mahasiswa dapat menempati peran dan fungsinya dalam masyarakat dengan benar.

Sebagai Agent of Change, mahasiswa mempunyai peran yang besar dalam membentuk budaya masyarakat. Peran dan kedudukan mahasiswa dalam lingkungan tentu mendapat tempat tersendiri di mata masyarakat. Namun bila yang terjadi seperti kejadian di Makassar, bukan tidak mungkin masyarakat akan berpandangan lain terhadap mahasiswa. Dari pandangan bahwa mahasiswa itu kaum intelektual, menjadi orang-orang yang beringas dan berkedudukan rendah. Karena mereka lebih mementingkan emosi sesaat daripada akibat yang ditimbulkan.

Ada semacam semboyan dalam dunia preman bahwa nama baik sekelompok preman akan mendapat suatu kewibawaan bila sudah pernah bertempur. Mereka akan sangat ditakuti oleh kelompok lain sehingga tidak akan ada orang yang mencela. Kesalahan sedikit saja yang dilakukan orang lain terhadapnya, dianggap suatu penghinaan yang harus dibayar mahal. Mungkin semboyan inilah yang dipakai oleh kebanyakan mahasiswa yang melakukan tawuran. Dengan berdalih membela harga diri dan kebenaran, maka mereka melakukan pembenaran terhadap tindak anarkhis yang dilakukan.

Hal ini bukanlah suatu kejadian yang tanpa sebab. Banyak faktor yang menjadikan mahasiswa bertindak menjadi sangat beringas, dan lepas kontrol. Salah satunya adalah budaya-budaya luar yang masuk secara kontinyu ke Indonesia yang banyak menyuguhkan tayangan-tayangan berbau kekerasan. Mungkin saja beberapa mahasiswa yang saling adu jotos tersebut sedikit banyak mengadopsi dari apa yang terjadi dalam tayangan-tayangan dari luar negeri tersebut.

Peran Pemuka Agama Sangatlah Perlu
Mungkin ini adalah jalan yang terbaik untuk memperbaiki moral mahasiswa. Selain menyerap berbagai ilmu pengetahuan, mahasiswa hendaknya dibekali dengan ilmu ruhiyah yang memadai. Perbanyak kegiatan ruhaniyah di kampus. Sehingga akan tercipta suasana religius, aman, dan tentram dalam kampus.

Bagi mahasiswa yang dikategorikan awam dalam dunia keruhaniyan, tentunya tak gampang dalam menerima doktrin-doktrin ajaran agama. Banyak pertanyaan-pertanyaan terhadap aturan-aturan agama yang diajarkan. Logika-logika manusia tak semuanya dapat menerima ajaran agama. Sehingga dibutuhkan orang-orang yang mumpuni(lebih) dalam ilmu agama, karena memang segmen yang dibidik juga orang-orang yang memiliki kemampuan lebih dalam berpikir. Strategi-strategi perlu disusun guna mencapai hasil yang maksimal. Karena dengan segala kelebihannya, tentunya ada pihak-pihak yang juga mencoba mencari keuntungan dari para mahasiswa.

Kita boleh berbangga hati, di ITS saat ini gesekan antar mahasiswa sudah menurun. Sebagai kampus teknik yang banyak mendapat cap dari masyarakat sebagai tempatnya anak-anak berperangai keras, ternyata suasana ITS aman terkendali. Namun bukan tidak mungkin suasana yang terkontrol ini bisa lepas jika proses pendewasaan terhadap generasi selanjutnya tidak dilakukan secara kontinyu. Perlu proses pendampingan yang terus menerus terhadap adik-adik kita.

Penulis :
Marji Wegoyono
Mahasiswa D3 Teknik Elektro Bid. Study Computer Control
ITS Surabaya

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Mahasiswa Bukan Preman