News

Dekolonisasi Nasionalisme dan Pengarusutamaan Nusantara

Fri, 14 Dec 2018
2:20 PM
Opini-Eng
Share :
Oleh : Admin-Teknik Kelautan   |

Dekolonisasi Nasionalisme dan Pengarusutamaan Nusantara”
Prof. Ir. Daniel M. Rosyid, Ph.D.

Nasionalisme yang kemudian melahirkan negara-negara bangsa -seperti Indonesia Malaysia, Singapura dan Filipina- adalah kreasi penjajah di paruh pertama Abad 20 menjelang keruntuhan kekhalifahan Islam Turki Ottoman. Namun harus segera dicatat bahwa kelahiran negara-negara bangsa itu terbukti tidak menghentikan penjajahan, hanya mengubah wajahnya saja yang oleh Soekarno disebut nekolim.

Penjajahan bentuk baru ini berlangsung hingga hari ini. Penjajahan baru tidak memerlukan kehadiran tentara beserta tank-tank mereka, tapi cukup dengan perjanjian-perjanjian tidak adil antara mantan tuan dengan mantan hamba dan pembentukan berbagai lembaga yang mengawal perjanjian-perjanjian itu seperti WTO, WB dan IMF. Disadari atau tidak ini adalah khilafah atau tata dunia baru pengganti khilafah Turki Ottoman itu.

Dalam lingkungan global seperti itu kita menyaksikan Republik Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan 17/8/1945 gagal mewujudkan cita-cita proklamasi yang dinyatakan dalam Pembukaan UUD45 karena gagal menyediakan syarat budaya untuk menjadi bangsa merdeka, yaitu jiwa merdeka. Pancasila ternyata secara tragis menemukan ekosistem nekolimik yang tandus bagi perwujudannya, bahkan secara legal disingkirkan dari UUD45 melalui serangkaian amandemen.

Pada saat ASEAN gagal mewujudkan tujuan regionalisasinya sebagai upaya membangun lingkungan yang lebih subur bagi Pancasila, Indonesia dan juga negara-negara bangsa lain di kawasan ini membutuhkan sebuah imajinasi bersama yang baru yang lebih otentik untuk tetap mampu lestari secara bermartabat. Hal ini penting untuk merespons kebangkitan China yang makin ambisius dan ekspansif serta dinamika global yang makin berbahaya oleh ancaman perang nuklir dan keruntuhan ekosistem global yang mengancam kemanusiaan sebagai _organized species_.

Nusantara adalah konsepsi _beyond nation-states_ yang bisa dijadikan imajinasi baru. Sebagai narasi, Nusantara bukanlah hal baru karena ia memiliki akar sejarah yang panjang hingga lebih dari dua milenia. Narasi Nusantara secara resmi dinarasikan oleh Mpu Prapanca dalam _Nagarakertagama_ yang mengisahkan Sumpah Palapa oleh Gajah Mada Sang Mahapatih Majapahit.
Pengaruh Majapahit sebagai kuasa maritim di abad 13-15 mencakup sebuah kawasan luas sejak Madagascar di Barat hingga Timur di Easter Island, di Selandia Baru di Selatan hingga Jepang di Utara.

Nilai-nilai Nusantara yang berkembang sebelum penjajahan itu paling tidak mencakup : ketuhanan, perikemanusiaan, _inclusiveness_ bukan _othering_, kekuasaan yang didasarkan pada _musyawarah bil hikmah_ dan keadilan sosial. Oleh para pendiri bangsa ini, nilai-Nusantara itu dijadikan pijakan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang disebut Pancasila. Nusantara ini merupakan imajinasi yang melampaui kesukuan, namun bersifat lebih luas dan luhur yang penting agar nasionalisme tidak menjadi paham yang sempit dan dangkal, bahkan menjadi semacam _glorified tribalism_ yang chauvinistik.

Adalah penjajahan selama 300 tahun terakhir ini yang telah secara sistematik memadamkan imajinasi Nusantara ini. Penjajah tidak saja merampas tanah dan sumberdaya alam kawasan yang luas namun juga memaksakan _mind set_, gaya hidup, aturan main, norma dan standard Barat atas Nusantara. Instrumen penjajahan yang paling canggih untuk melanggengkan penjajahan ini adalah *sistem persekolahan paksa massal* yang tidak pernah direncanakan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, tapi hanya untuk menyiapkan sebuah masyarakat industri yang konsumtif dan suka-hutang.

Namun perkembangan baru pasca islamophibia yg dibawa oleh peristiwa 9/11 di New York justru menunjukkan bahwa masyarakat global semakin haus dengan spiritualitas. Kinerja bisnis tidak lagi diukur dari labanya saja, tapi juga tanggung jawab sosialnya serta bagaimana bisnis tersebut menghargai _fair trade_ serta lingkungan, atau _green and social responsibility_. Manusia semakin mencari kebahagian di luar maksimasi produksi dan konsumsi material belaka, yang ternyata justru menjauhkan mereka dari kebahagiaan. Berbagai ekspresi keagamaan semakin mudah ditemukan di mana-mana dan puncaknya adalah *gerakan 212* di sekitar Monumen Nasional Jakarta pada awal Desember yang lalu.

Melalui imajinasi baru Nusantara inilah kita mungkin memiliki peluang lebih besar untuk memenuhi syarat-syarat budaya sebagai bangsa merdeka, terutama melalui pelembagaan nilai-nilai Nusantara dalam sebuah Sistem Pendidikan Nusantara yang kita bebaskan dari monopoli radikal persekolahan yang nekolimik. Dengan merumuskan pendidikan sebagai sebuah strategi kebudayaan ini, kita bentuk dan tumbuhkembangkan jati diri yang sesuai dengan nilai-nilai Nusantara.

Penang, 13 Des. 2018

Nusantara International Summit 1.0, Centre for Policy Research and International Studies, Universiti Sains Malaysia

Latest News

  • Raden Ajeng KARTINI (21 April 1879-21 April 2024) Keteladanan akan Kesalehan dan kepedulian Sosial dalam Pengurangan Risiko Bencana

    Raden Ajeng KARTINI (21 April 1879-21 April 2024) Keteladanan akan Kesalehan dan kepedulian Sosial dalam Pengurangan Risiko Bencana Oleh

    26 Apr 2024
  • Puasa Satu Teknologi Pertahanan

    Puasa Satu Teknologi Pertahanan Oleh Prof. Daniel Mohammad Rosyid, Ph.D Latar Belakang Shaum yang sering diterjemahkan sebagai puasa adalah

    05 Apr 2023
  • Maritiming Indonesia

    Maritiming Indonesia Oleh Prof. Ir. Daniel M. Rosyid, Ph.D @Rosyid College of Arts Dalam artikel opininya di Harian Kompas

    12 Jan 2023