Oleh:
Dr. Eng. Ir. Rudi W. Prastianto, S.T., M.T, IPU.
Kepala Program Studi Sarjana Teknik Lepas Pantai, Departemen Teknik Kelautan,
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) – Surabaya
Tiap bulan Agustus, suasana di berbagai pelosok negeri mulai terasa berbeda, aroma khas HUT kemerdekaan Republik Indonesia menyeruak serempak. Bendera merah putih berkibar di halaman rumah-rumah, gapura-gapura berhias warna-warni, dan lampu-lampu hias mulai menerangi jalan-jalan kampung. Di tengah gegap gempita menyambut hari perayaan, ada satu tradisi yang tak dilupakan warga, yaitu tirakatan malam 17 Agustus. Nanti malam, di banyak tempat di Indonesia, warga akan berkumpul, (bahkan mungkin ada yang menyalakan obor), doa bersama terlantun, dan rangkaian cerita perjuangan kembali dihidupkan. Inilah berbagai bentuk tirakatan malam kemerdekaan. Tentu masih banyak lagi variasi kegiatannya. Ini sebuah momen yang tidak hanya penting bagi warga secara umum, tetapi juga memiliki makna khusus bagi insan terpelajar (educated people).
Tirakatan Itu Apa?
Tradisi ini sejatinya berakar pada budaya Jawa yang mengenal amalan yang sering disebut “laku prihatin” yaitu arti singkatnya adalah mengurangi/mengendalikan kenikmatan duniawi untuk tujuan batin (atau cita-cita) tertentu. Ketika diterapkan pada malam kemerdekaan, laku tirakat menjadi simbol penghormatan kepada para pejuang yang telah rela “mengurangi” bahkan melepaskan segalanya (berkorban harta-benda, jiwa dan raga), demi kemerdekaan tanah air.
Dalam konteks perayaan dewasa ini, maka secara sederhana, “tirakatan” adalah kegiatan berdiam diri, merenung, berdoa, atau mengadakan acara bersama untuk mengenang perjuangan para pahlawan. Di banyak daerah, tirakatan dilakukan pada malam sebelum tanggal 17 Agustus, biasanya selepas Isya hingga tengah malam. Bentuknya beragam: mulai dari doa bersama di balai desa, pengajian, tahlilan, pembacaan riwayat perjuangan, hingga sekadar berkumpul sambil berbagi cerita Sejarah dan selepasnya makan bersama. Seiring berjalnnya waktu, tradisi ini menyebar ke berbagai daerah di Indonesia, meski bentuknya beradaptasi dengan kearifan lokal masing-masing. Ada yang mengisinya dengan pertunjukan seni tradisional, ada yang menggelar lomba kecil sebelum doa bersama, dan ada pula yang mengadakan pawai obor sebelum berkumpul.
Tirakatan: Bukan Sekadar Ritual Tahunan
Tirakatan bukan sekadar agenda seremonial. Di baliknya, terkandung makna mendalam: menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan bangsa dalam satu momen renungan.
Bagi insan terpelajar, tirakatan seharusnya bukan hanya kegiatan hadir, duduk, makan-makan, atau hingar-bingar kesibukan lalu pulang. Di dalamnya adalah ruang refleksi intelektual yang amat luas: menghubungkan sejarah perjuangan bangsa dengan tantangan masa kini dan masa depan. Jika bagi masyarakat umum tirakatan menjadi bentuk syukur dan penghormatan, maka bagi insan terpelajar tirakatan adalah forum batin untuk bertanya: “Apa arti kemerdekaan ini dalam bahasa ilmu pengetahuan, etika, dan kontribusi nyata yang bisa aku berikan?”
Tiga Dimensi Makna Tirakatan bagi Insan Terpelajar
Sebagai ruang refleksi intelektual, tirakatan menghamparkan tempat artikulasi, dan eksplorasi nilai serta pembelajaran luas, yang setidaknya bisa ditilik dari sudut pandang berikut.
Tirakatan dan Revolusi Pengetahuan
Pada masa perjuangan fisik, bambu runcing dan tekad menjadi senjata. Kini, di era modern-global, pengetahuan dan teknologi adalah bambu runcing generasi kita. Tirakatan bagi insan terpelajar adalah kesempatan untuk menyadari bahwa “medan perang” hari ini adalah:
Tirakatan seharusnya bukan titik akhir, melainkan titik berangkat (starting point). Malam itu hanyalah pemicu, pengingat bahwa kemerdekaan adalah amanat yang harus dihidupi setiap hari. Insan terpelajar punya peran vital; menjadi penjaga akal sehat bangsa, penggerak perubahan berbasis pengetahuan, dan teladan moral di tengah masyarakat. Ibarat sholat Jumat sebagai evaluasi ketaqwaan mingguan, maka tirakatan adalah renungan penginat tahunan, yang menyala sepanjang tahun.
Penutup
Bagi insan terpelajar, tirakatan malam 17 Agustus bukan sekadar mengenang masa lalu, tetapi menyusun peta masa depan. Ia adalah janji batin bahwa ilmu dan pikiran yang dimiliki akan digunakan untuk menjaga kemerdekaan, mengisinya, dan memajukan negeri. Karena sejatinya, kemerdekaan adalah karya kolektif yang harus diperbarui setiap generasi, dan generasi terpelajarlah yang memegang peran kuncinya. [@RWP, Surabaya 16 Agustus 2025].
Forum Pendidikan Tinggi Maritim Indonesia Oleh Prof. Daniel Mohammad Rosyid Staf Pengajar Dept. Teknik Kelautan ITS Alhamdulillah, Rabu
Peran Strategis Indonesia dalam ASEAN SUMMIT 2025 Oleh Daniel Mohammad Rosyid @Rosyid College of Arts Latar Belakang KTT
Siapkah Bertransformasi Diri ? (Menjadi Lebih Baik Lewat Fase yang Terlihat Buruk) Oleh Dr. Eng. Ir. Rudi W.