Oleh:
Dr. Eng. Ir. Rudi W. Prastianto, S.T., M.T, IPU.
Kepala Program Studi Sarjana Teknik Lepas Pantai
Departemen Teknik Kelautan,
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) – Surabaya
Mengapa Tiongkok kini menjelma menjadi produsen teknologi, padahal awalnya “hanya” menerjemahkan, tapi lalu mampu menyerap ilmu dari luar dengan cepat lewat buku, jurnal, dan kerja sama riset. Padahal itu baru dilakukan hampir mendekati akhir abad 20, pada masa Deng Xiaoping (1978), setelah reformasi ekonomi. Bukan masa yang terlalu lama, namun perubahannya sungguhlah dahsyat. Kuncinya ternyata ada pada program penerjemahan ilmu pengetahuan dan teknologi yang masif.
Memang beberapa contoh nyata sudah tertulis dengan tinta emas dalam sejarah, bagaimana negara-negara berupaya maju dengan cara menerjemahkan buku-buku dan ilmu dari bangsa lain yang lebih maju. Ternyata upaya penerjemahan buku bukan sekadar “alih bahasa” semata, tetapi sebuah strategi transfer ilmu pengetahuan dari bangsa yang lebih maju ke bangsa yang sedang berkembang yang ingin maju. Sekali lagi, yang sungguh ingin maju, mandiri. Hampir semua peradaban yang maju pernah melewati fase penerjemahan sebelum akhirnya mampu menciptakan ilmu sendiri. Mau tahu buktinya, mari kita tengok sejenak.
Pada masa Kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad, terutama era Khalifah Al-Ma’mun, telah didirikan Bayt al-Hikmah (House of Wisdom). Di sana dilakukan penerjemahan besar-besaran buku-buku dari bahasa Yunani, Persia, dan India ke bahasa Arab. Buku-buku filsafat, matematika, astronomi, kedokteran, dan teknik diterjemahkan, misalnya karya Aristoteles, Euclid, Galen, dan Ptolemy. Hasilnya, dunia Islam maju pesat dalam sains dan teknologi, bahkan kemudian memengaruhi Eropa melalui terjemahan Latin.
Setelah Eropa Barat mulai bangkit, para cendekiawan menerjemahkan kembali karya-karya Arab (yang sebelumnya dari Yunani) ke bahasa Latin. Contohnya Gerard dari Cremona menerjemahkan lebih dari 70 karya ilmiah dari bahasa Arab ke Latin. Hal ini melahirkan fondasi bagi Renaisans dan Revolusi Ilmiah di Eropa.
Sementara itu di belahan timur, Jepang yang tadinya tertutup, pada era Restorasi Meiji (1868) mulai membuka diri terhadap Barat. Pemerintah Jepang mendorong penerjemahan besar-besaran buku-buku ilmu pengetahuan, hukum, militer, dan teknologi dari Barat ke bahasa Jepang. Misalnya: buku teknik mesin, kedokteran, ilmu militer, hukum Barat diterjemahkan dan diajarkan di universitas. Hasilnya, Jepang sangat cepat mengejar ketertinggalan, bahkan menjadi kekuatan industri dan militer modern di Asia pada akhir abad ke-19.
Sejak awal abad ke-20, terutama masa Gerakan 4 Mei 1919, banyak karya sains dan filsafat Barat diterjemahkan ke bahasa Mandarin. Setelah reformasi ekonomi Deng Xiaoping (1978), program penerjemahan ilmu pengetahuan dan teknologi makin masif. Tidak butuh waktu terlalu lama, kini China/Tiongkok bukan hanya penerjemah, tetapi juga produsen teknologi, karena awalnya mereka menyerap ilmu dari luar dengan cepat dengan cara melalui buku, jurnal, dan kerja sama riset.
Lalu bagaimana dengan riwayat di NKRI sendiri? Ternyata pada masa kolonial (Penjajahan Belanda) telah ada upaya penerjemahan. Beberapa buku ilmu teknik, hukum, dan kedokteran dari Belanda diterjemahkan untuk pendidikan pribumi. Setelah merdeka, Indonesia juga banyak menerjemahkan buku pelajaran teknik, pertanian, dan kedokteran dari Inggris, Belanda, dan Amerika Serikat untuk kebutuhan universitas. Misalnya, penerbit seperti Erlangga, ITB Press, UI Press menerbitkan banyak buku terjemahan bidang sains dan teknik. Walau belum seintens Jepang atau China, upaya ini tetap berperan dalam pembangunan ilmu pengetahuan. Namun mengapa hingga saat ini masih terasa mandeg, apa yang sudah dilakukan saat Orde Baru, Orde Reformasi dan hingga saat ini ?
Penutup
Ternyata terlihat benang merah yang sangat jelas, bahwa alur perkembangan sebuah negara dalam membangun literatur teknologinya harus melewati beberapa tahap. Umumnya melalui fase terjemahan, kemudian disusul penulisan lokal (lebih baik dalam bahasa nasional), baru akhirnya mampu untuk menghasilkan penciptaan teori baru. Bagaimana menurut Anda? Apakah Anda punya resep lainnya ? [#RWP, Surabaya 19 September 2025].
Forum Pendidikan Tinggi Maritim Indonesia Oleh Prof. Daniel Mohammad Rosyid Staf Pengajar Dept. Teknik Kelautan ITS Alhamdulillah, Rabu
Peran Strategis Indonesia dalam ASEAN SUMMIT 2025 Oleh Daniel Mohammad Rosyid @Rosyid College of Arts Latar Belakang KTT
Siapkah Bertransformasi Diri ? (Menjadi Lebih Baik Lewat Fase yang Terlihat Buruk) Oleh Dr. Eng. Ir. Rudi W.