Oleh:
Dr. Eng. Ir. Rudi W. Prastianto, S.T., M.T, IPU.
Kepala Program Studi Sarjana Teknik Lepas Pantai
Departemen Teknik Kelautan,
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) – Surabaya
Di akhir bulan Agustus 2025 lalu, terjadi peristiwa yang memilukan bagi kita sebagai sebuah bangsa yang baru merayakan HUT kemerdekaanya yang ke-80 tahun. Nampaknya ibu pertiwi sedang berduka. Demonstrasi unjuk aspirasi berubah menjadi amuk massa. Efeknya berantai, meluas, menasional sifatnya, makin menambah keprihatinan. Soal nasib negara, pemerintahan, dan rakyatnya. Melihat kondisi seperti itu langsung saya teringat dengan Reformasi Indonesia di tahun 1998. Mari kita tengok sejenak.
Reformasi Indonesia (1998)
Istilah “Reformasi” di Indonesia merujuk pada periode perubahan besar yang dimulai tahun 1998, ketika rezim Presiden Soeharto yang sudah berkuasa lebih dari 32 tahun (Orde Baru, 1966–1998) runtuh akibat krisis multidimensi. Berbagai pihak telah mengkaji dan memahami betul bahwa sebab krisis tersebut yang paling kentara diantara adalah: karena Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN). Rezim Orde Baru dikenal dengan praktik KKN yang meluas. Monopoli ekonomi dikuasai kroni-kroni Soeharto. Kemudian juga adanya otoritarianisme politik yang mana kebebasan berpendapat ditekan, media diawasi. Waktu itu partai politik hanya tiga (Golkar, PDI, PPP) dan di bawah kendali rezim. Faktor lainnya adalah terjadinya kesenjangan sosial & ketidakadilan. Pertumbuhan ekonomi tinggi di era Orde Baru, tapi distribusi tidak merata. Kemiskinan dan ketimpangan makin nyata ketika krisis melanda.
Reformasi Indonesia ada yang menyebut sebagai “revolusi damai” karena berhasil mengganti sistem politik otoriter menjadi lebih demokratis tanpa perang saudara. Namun, hingga kini (lebih 25 tahun kemudian), masih banyak agenda reformasi yang dinilai belum tuntas. Korupsi masih meluas dan bahkan eskalasinya makin menggila. Kesenjangan sosial-ekonomi tetap besar. Juga, demokrasi terasa mundur dan tidak konsekuen. Reformasi 1998 adalah gerakan rakyat (dipelopori mahasiswa) yang menggulingkan rezim Orde Baru, yang sebenarnya membuka jalan bagi demokratisasi Indonesia, meskipun faktanya masih menyisakan pekerjaan rumah besar dalam penegakan hukum, keadilan sosial, dan pemberantasan korupsi.
Cerita Dunia Masa Lalu
Untuk urusan pergerakan/revolusi rakyat terhadap pemerintah/penguasanya, sejarah telah menulisnya untuk kita semua. Terjadi di seantero penjuru dunia. Sebut saja beberapa yang fenomenal, seperti Revolusi Perancis (1789), Revolusi Rusia (1917), dan Revolusi Iran (1979). Ini hanya sedikit saja peristiwa di antara banyak peristiwa yang telah terjadi di belahan bumi lainnya. Apa kita sudi belajar darinya? Dari berbagai sumber, mari coba kita lihat rangkuman singkatnya yang mengandung beberapa aspek penting yang menandai tiap peristiwa tersebut.
Revolusi Perancis (1789): Revolusi ini sangat legendaris yang terjadi di abad ke-18. Penyebab utamanya adalah pajak yang tidak adil, krisis ekonomi, adanya kelaparan, ide Pencerahan, dan faktor absolutisme raja. Kekuatan pendorong aksi ini adalah dari elemen masyarakat rakyat jelata (Third Estate), intelektual, dan kaum borjuis. Hasil langsung revolusi ini hingga bisa meruntuhkan sistem monarki dan melahirkan Republik Perancis. Eskalasi kekerasan dalam aksi ini tergolong tinggi dengan ribuan orang mati dipenggal (Reign of Terror). Sifat perubahannya berupa revolusi sosial-politik total.
Revolusi Rusia (1917): Aksi ini terkenal dengan sebutan Revolusi Februari & Oktober 1917, masih di sekitar awal abad ke-20. Mirip dengan revolusi Perancis, kekuatan penggerak utamanya berasal dari kaum kelas bawah yaitu buruh, petani, tentara, dan Partai Bolshevik dengan tokoh sentral Lenin, Trotsky, dan Stalin. Faktor penyebab utamanya karena ketidakadilan sosial, dan otoritarianisme Tsar. Selain itu ditunjang efek dari kekalahan perang dan krisis ekonomi. Revolusi ini menyebabkan terjadi kekerasan tingkat tinggi hingga terjadi perang saudara yang menyebabkan jutaan korban jiwa. Revolusi ini membawa perubahan total dalam aspek sosial-politik-ekonomi sehingga akhirnya pemerintahan monarki Tsar dapat diruntuhkan dan diganti dengan berdirinya negara Uni Soviet.
Revolusi Iran (1979): Meskipun sifat revolusi ini cenderung bermotif agama-politik, namun penyebab utamanya tidak terlepas dari adanya ketidakpuasan pada kepemimpinan Shah, ketimpangan sosial, represi politik, serta aspek dominasi Barat pada gaya pemerintahan Shah Iran. Dengan dimotori oleh kaum Ulama (Khomeini), mahasiswa, dan rakyat urban, aksi ini akhirnya juga berhasil meruntuhkan sistem kerajaan/monarki Iran, hingga lahir Republik Islam Iran. Taruhannya adalah banyak demonstran tewas, akibat eskalasi kekerasan yang tinggi dan represi yang brutal.
Tiba-tiba Nepal (September 2025)
Belum hilang rasa sedih akibat kerusuhan di NKRI di akhir Agustus lalu, tiba-tiba dunia dikejutkan oleh aksi demonstrasi massa di negara Nepal yang berujung kekerasan yang lebih parah. Menurut berita di situs cnbcindonesia.com (diakses pada 11 September 2025), sejak Senin 8 September 2025, negara itu mengalami kerusuhan terburuk dalam dua dekade terakhir. Perdana menteri (PM) berhasil digulingkan dan gedung-gedung parlemen hingga rumah pejabat dibakar. Demonstrasi diawali di ibu kota Kathmandu yang dipicu larangan pemerintah terhadap beberapa situs media sosial dan maraknya korupsi. Para pemuda yang menyebut diri mereka sebagai “Gen Z” akhirnya marah dan mendorong terjadinya demonstrasi. Ditambah viralnya di medsos video yang membandingkan perjuangan rakyat Nepal dengan anak-anak politisi yang memamerkan barang-barang mewah (flexing) dan liburan mahal, dan membuat banyak warga sakit hati.
Waspadalah
Kalau kita cermati, nampak suatu benang merah sebagai pola umum atau trend utama yang mendasari gerakan masyarakat tersebut. Contohnya pada Reformasi Indonesia 1998 dan Revolusi Prancis, pencetus utamanya adalah kombinasi kuat antara faktor ekonomi dan politik. Sementara untuk kasus revolusi Iran (1979) dan Rusia (1917) sebab utamanya lebih didominasi oleh efek represi politik oleh penguasa. Kebencian rakyat terakumulasi sekian lama, memuncak dan akhirnya meledak menjadi demonstrasi.
Jadi dapat dipelajari, gerakan demo rakyat biasanya lahir dari akumulasi krisis ekonomi, otoritarianisme politik, ketidakadilan sosial, dan apalagi bila ditambah dorongan inspirasi global. Jika kebutuhan dasar (makan, kerja, dan stabilitas harga) gagal dipenuhi, maka rakyat akan cepat marah. Contohnya kondisi Nepal, menurut Bank Dunia (seperti dalam cnbcindonesia.com) lebih dari seperlima penduduk berusia 15-24 tahun menganggur di Nepal, dengan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) per kapita hanya US$1.447 (sekitar Rp 23,8 juta). Ini menunjukkan tingkat kesejahteraan hidup yang rendah. Sementara itu PDB per kapita di Indonesia tercatat masih lebih tinggi yaitu sebesar US$4.367,86 pada tahun 2024 (data dari tradingeconomics.com, diakses pada 11 September 2025). Semakin lama rezim menutup ruang demokrasi dan bersikap represif, maka potensial untuk semakin besarnya tekanan ledakan rakyat. Dalam konteks saat ini, teknologi media sosial dan globalisasi bisa mempercepat penyebaran semangat demo rakyat lintas negara. Sehingga timbul efek domino, demonstrasi di satu negara dengan cepat bisa menginspirasi negara lain. Pada akhirnya generasi muda dan mahasiswa yang hampir selalu jadi motor utama gerakan karena sifat idealis dan kritisnya yang masih membara.
Bagaimana kita melihat potret NKRI tercinta saat ini ? Apa yang bisa kita pelajari dan perbaiki ? Kita sebagai warga negara yang sangat mencintai NKRI harus memegang prinsip senantiasa berperan kondusif, mendorong persatuan, keamanan, dan keadilan. Mari kita terus belajar. Semoga Allah SWT selalu menolong serta meridhoi niat dan upaya baik kita semua. [@RWP, Surabaya, 12 September 2025].
Forum Pendidikan Tinggi Maritim Indonesia Oleh Prof. Daniel Mohammad Rosyid Staf Pengajar Dept. Teknik Kelautan ITS Alhamdulillah, Rabu
Peran Strategis Indonesia dalam ASEAN SUMMIT 2025 Oleh Daniel Mohammad Rosyid @Rosyid College of Arts Latar Belakang KTT
Siapkah Bertransformasi Diri ? (Menjadi Lebih Baik Lewat Fase yang Terlihat Buruk) Oleh Dr. Eng. Ir. Rudi W.