ITS News

Selasa, 23 April 2024
27 Maret 2020, 08:03

Sumber Masalah Sesungguhnya, Corona atau Media?

Oleh : itslut | | Source : -

Sumber: (https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/)

Sejak Presiden Indonesia, Joko Widodo, mengumumkan dua kasus pertama virus corona (COVID-19) di Indonesia, secara resmi Indonesia ‘panik’ corona. Sebagian masyarakat yang panik berlomba melindungi diri. Fenomena panic buying pun terjadi, masyarakat membeli barang-barang tertentu terutama kebutuhan pokok dengan jumlah yang tidak masuk akal.

Puluhan cairan antiseptik dibeli sekaligus. Masker hidung tiba-tiba raib dari pasaran. Tidak hanya itu, saat artikel ini ditulis, produk mie instan, gula pasir, serta beras sudah jadi barang langka di beberapa wilayah di Indonesia. Ketakutan masyarakat bukannya tanpa sebab. Tingkah laku serta pola pikir masyarakat tentunya didasari oleh pengetahuan mereka terhadap suatu hal.

Saat itu, mungkin kepala mereka dipenuhi bayang-bayang ngeri bagaimana organisme tak kasat mata tersebut berhasil melumpuhkan kota Wuhan di Tiongkok hanya dalam waktu yang relatif singkat. Mereka pun tentunya telah mendengar kabar betapa cepatnya sang virus menjangkit orang-orang di berbagai belahan bumi lain. Darimana masyarakat mendapat informasi demikian? Media jawabannya.

Dosa Media dalam Penyebaran Virus Corona

Maka mari kita telisik media massa sebagai penyedia informasi. Alih teknologi membuat media massa berubah. Untuk mempertahankan eksistensinya, media massa berbasis online harus bergulat dengan jumlah “klik dan views” pada laman berita. Keduanya tentu berimplikasi pada jumlah adsense guna menopang operasional dapur redaksi. Media massa berbasis online juga harus berlomba satu sama lain untuk menjadi yang tercepat dalam menghadirkan pemberitaan.

Tidak heran jika beberapa media meletakan kalimat-kalimat yang memancing rasa ingin tahu pembaca pada judul berita (clickbait). Tidak jarang, judul yang diberikan justru memuat substansi yang sedikit berbeda dengan isinya. Sayangnya, dalam situasi serangan virus yang telah ditetapkan World Health Organization (WHO) sebagai pandemi ini, beberapa media nampaknya masih mempertahankan budaya tersebut.

Dalam pemberitaan korban COVID-19 misalnya, media cenderung menjual embel-embel gelar dan instansi korban dalam judulnya. Contohnya pada judul berita “Pegawai Bank BNI Terindikasi Corona”. Alih-alih memperingati masyarakat yang mungkin pernah berinteraksi dengan korban, ketakutan dan spekulasi negatif masyarakat akan instansi tersebut justru yang terjadi.

Perihal substansi, nampaknya berita-berita yang disajikan oleh media massa juga cenderung bicara tentang angka dan laporan kasus dalam pemberitaan ini. Entah dipengaruhi atas psikologi sang jurnalis yang juga ketakutan, beberapa berita justru melupakan nilai cover both side-nya. Perpaduan antara judul yang heboh, isi berita yang kurang edukatif, serta minimnya budaya literasi masyarakat Indonesia berakibat pada menularnya kepanikan di tengah masyarakat.

Meskipun demikian, fenomena clickbait pada berita tidak sepenuhnya salah. Terkadang butuh sedikit tekanan dalam judul untuk mengingatkan masyarakat akan pentingnya suatu masalah. Lagi-lagi, clickbait nampaknya juga diperlukan guna menekan sisi psikologis masyarakat Indonesia yang minim literasi.

Belum lagi media-media yang kerap mengaitkan wabah ini dengan isu politik dan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang hangat di Indonesia. Dalam situasi seperti ini, beberapa media justru memanfaatkan wabah ini untuk menggoreng isu-isu yang saling menjatuhkan atau mendiskriminasi pihak-pihak tertentu.

Sadar atau tidak, stigma buruk terhadap salah satu ras manusia semakin bertambah saat media menamai COVID-19 dengan virus Wuhan atau virus China. Bahkan Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus sangat berhati-hati dalam memilih nama COVID-19. Hal itu tentunya untuk menghindari referensi ke lokasi geografis tertentu, spesies hewan, atau sekelompok orang.

Selain itu, sarana bertukar informasi yang semakin berkembang juga mendorong individu-individu untuk ambil bagian dari penyebaran informasi. Meski memiliki dampak positif, fenomena ini justru mempercepat munculnya informasi-informasi yang tidak bertanggung jawab. Berbagai hoaks yang terlalu sering beredar seringkali meningkatkan ketakutan atau bahkan menimbulkan rasa acuh tak acuh masyarakat akan bahayanya virus ini.

Bagaimana Media Harus Bertindak

Sebagai sumber informasi, yang pertama tentunya media massa tidak boleh melupakan kewajiban utamanya untuk mengedukasi masyarakat. Tidak hanya dengan memberikan data statistik korban COVID-19, edukasi yang dimaksud juga termasuk mengkomunikasikan penelitian dan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

Media juga berperan penting dalam membentuk persepsi dan keputusan publik tentang kesehatan. Berkaca pada kasus flu babi (swine flu) yang lebih dikenal dengan nama virus H1N1, sebuah jurnal yang diterbitkan Eurosurveillance menjelaskan bahwa respon negatif dari para  pekerja pelayanan kesehatan di Yunani pada tahun 2009 terhadap vaksinasi H1N1 justru terjadi saat mereka menambang informasi terkait vaksin lewat televisi atau radio.

Sedangkan respon berbeda justru terjadi saat mereka mendapat informasi terkait vaksin lewat jurnal-jurnal kesehatan atau rumah sakit. Maka kepiawaian media dalam menyampaikan informasi yang mencerdaskan masyarakat terkait COVID-19 akan mempengaruhi keputusan publik terkait peningkatan kesehatan.

Optimisme publik juga harus dibangun lewat media. Informasi terkini memang harus disampaikan. Namun mari tetap berimbang dalam pemberitaan. Misalnya berita kenaikan jumlah pasien teridentifikasi positif dapat diimbangi dengan kabar naiknya jumlah pasien yang sembuh.

Kedua, media harus mampu meredam stigma negatif dan diskriminasi lewat pemberitaannya. Poin ini nampaknya harus diperhatikan bukan hanya oleh media nasional, tetapi juga media internasional. Misalnya pada Der Spiegel, majalah mingguan populer di Jerman ini menerbitkan sampul yang menampilkan seorang pria Asia mengenakan pakaian pelindung dan topeng sambil melihat teleponnya. Judulnya berbunyi “Dibuat di Tiongkok: Ketika Globalisasi Menjadi Bahaya Tenggat Waktu”.

Sumber: (https://engnews24h.com/german-spiegel-covers-made-in-china-news-chinas-sluggish-controversy/)

Tidak hanya terkait ras, menghormati privasi pasien dalam pemberitaan nampaknya jadi cara yang dapat ditempuh guna meredam diskriminasi. Di tengah kekalutan seperti ini, identitas privasi pasien menjadi buruan kepala-kepala penasaran masyarakat. Rasanya media tidak perlu memanfaatkan situasi sekedar untuk menaikan rating pemberitaan namun berimbas pada kekhawatiran berlebih masyarakat.

Yang ketiga, media tidak boleh lupa untuk memposisikan diri sebagai sarana kontrol masyarakat terhadap kebijakan publik, dalam hal ini terkait COVID-19. Sudah selayaknya media massa bersatu dalam keberpihakan pada kepentingan publik. Dengan kekuatan yang sedemikian besar, media mampu menjadi jembatan untuk mendorong pemerintah agar mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berdampak positif sekaligus mengedukasi masyarakat sendiri.

Media Tidak Bisa Berjalan Sendiri

Sinergi maupun kolaborasi bisa menjadi kata yang tepat untuk menjawab kompleksitas permasalahan di Indonesia. Dalam kasus ini, alangkah beratnya langkah media jika tanpa dukungan pemerintah maupun masyarakat Indonesia sendiri. Dalam kasus merebaknya ketakutan berlebih terkait COVID-19 di masyarakat, setidaknya pemerintah harus menempuh solusi jangka pendek dan jangka panjang.

Mengenai solusi jangka pendek, sebagai pemegang informasi tertinggi, pemerintah khususnya lewat Kementerian Komunikasi dan Informatika (KOMINFO) harus jadi garda terdepan dalam pemberitaan COVID-19. Pemerintah perlu memberikan informasi lewat portal resmi tersendiri. Dengan demikian masyarakat setidaknya memiliki satu sumber informasi yang terpercaya. Selain itu, keresahan masyarakat akibat berita-berita palsu juga dapat berkurang. Dengan catatan, pemerintah juga harus terbuka dalam melakukan pemberitaan.

Sedangkan terkait solusi jangka panjang, pemerintah harus membentuk kesadaran literasi media masyarakat. Misalnya dengan menyusun kurikulum literasi media. Hal ini tentunya berlaku tidak hanya ketika menghadapi wabah COVID-19, tetapi juga dalam berbagai situasi serupa. Kemajuan teknologi informasi yang pesat nampaknya belum siap disambut masyarakat Indonesia. Berbekal pengetahuan yang minim, masyarakat Indonesia cenderung mudah menerima informasi apapun yang datang padanya.

Tidak hanya lewat kurikulum, kesadaran ini juga dapat dibentuk lewat kampanye-kampanye kreatif melalui media sosial ke berbagai segmen masyarakat. Selain itu, seminar dan lokakarya terkait hal tersebut bisa semakin digalakkan di berbagai perguruan tinggi. Jangan ragu untuk menggandeng media massa lain agar turut bersama memperhatikan hal tersebut.

Lalu apa yang harus kita lakukan sebagai masyarakat? Satu hal yang pasti, di tengah kalut pandemi COVID-19, mari bersama untuk tidak memperburuk keadaan. Alih-alih menerima informasi bulat-bulat, mengapa kita tidak menganalisa dan mencari tahu kebenarannya terlebih dahulu. Sama halnya saat kita hendak menyampaikan informasi kepada orang lain, pastikan kebenaran informasi tersebut.

Ingatkan teman, saudara, atau orang tua kita jika kita tahu mereka menyebarkan informasi yang tidak jelas kebenarannya. Mari gunakan media sosial untuk saling berbagi informasi yang mencerdaskan, bukan saling menjatuhkan. Dan ya, mari satukan kekuatan karena kita sedang menghadapi musuh kecil yang tidak tampak.

 

Ditulis oleh:

Tim Redaksi ITS Online

 

Referensi:

  1. Jurnal tentang Rendahnya Penerimaan Vaksinasi Terhadap Pandemi Influenza A (H1N1) 2009 di antara Petugas Kesehatan di Yunani (https://www.eurosurveillance.org/content/10.2807/ese.15.06.19486-en)
  2. https://www.remotivi.or.id/amatan/575/menimbang-peran-media-dalam-menghadapi-epidemi
  3. Berita karyawan BNI positif COVID-19 (https://jaringanmedia.co.id/satu-orang-karyawan-bank-negara-indonesia-bni-positif-virus-corona/)
  4. https://www.google.co.id/amp/s/amp.cnn.com/cnn/2020/03/22/us/ohio-abortion-coronavirus/index.html

Berita Terkait