ITS News

Selasa, 30 April 2024
15 Maret 2005, 12:03

Dua Hari Berhasil Kumpulkan 1,8 Juta Yen, Kisah Mahasiswa ITS Menggalang Dana Musibah Tsunami di Jepang

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Mereka ikut menggalang dana untuk korban gelombang tsunami bersama dengan mahasiswa Indonesia lainnya di kota Kobe, Jepang, di tengah kesibukannya mengikuti program pertukaran mahasiswa antara ITS dengan Kobe University. "Melihat dari berbagai tayangan televisi yang ada di Jepang tentang musibah di Aceh, kami merasa terpanggil untuk melakukan penggalangan dana. Karena itu meski di tengah musim dingin dan turunnya salju, kami tetap bersemangat mencari bantuan dari masyarakat Jepang, dari satu mal ke mal lain," kata Rizki, Selasa (25/1) siang.

Rizki dan Istikomah memang baru pulang pada 19 Januari lalu setelah hampir setahun mengikuti program pertukaran mahasiswa di sana. Diceritakannya, ia dan teman-temannya di Kobe merasakan betapa besar penderitaan masyarakat Aceh akibat gelombang tsunami itu, karena itu pulalah mahasiswa Indonesia yang berada di sana tergerak untuk menghimpun dana dengan cara turun ke jalan dan beberapa pertokoan serta mal. "Di luar dugaan, masyarakat Jepang begitu peduli dan ikut merasakan betapa sulitnya terkena musibah gelombang tsunami. Ini dibuktikan dari hasil pengumpulan dana yang bisa mencapai 1,8 juta Yen hanya dalam waktu dua hari," kata Rizki, mahasiswi kelahiran Surabaya, 1 Februari 1981 ini, bangga.

Istikomah, teman Rizki dalam program pertukaran mahasiswa yang sama menambahkan, kalau para mahasiswa Indonesia di Kobe, yang turun ke jalan untuk menghimpun dana itu, tidak lagi menghiraukan cuaca yang menyertai upaya pengumpulan dana tersebut. "Kami hampir seharian penuh dalam dua hari di tengah cuaca musim dingin dan turunnya salju berdiri di depan supermarket untuk mengumpulkan dana. Tidak ada satu pun perasaan takut sakit atau lainnya, karena yang ada dalam pikiran kami bagaimana dapat membantu saudara-saudara kami di Aceh," kata Istikomah.

Dikatakannya, ia bersama para mahasiswa Indonesia di Kobe, merasa bangga dapat memberikan sesuatu untuk masyarakat Aceh meski berada jauh dari Indonesia. "Dana yang berhasil kami himpun sudah diserahkan melalui perwakilan negara Indonesia di sana dan diteruskan ke PMI Pusat. Inilah bukti kalau kami juga ikut peduli menyuarakan kepedihan masyarakat Aceh," katanya.

Pertukaran Mahasiswa
Tentang kepergian Rizki dan Istikomah ke Jepang, Dr Ir Agoes A. Masroeri MEng menjelaskan, merupakan bagian dari program pertukaran mahasiswa antara ITS dengan Kobe Univesity. "Kebetulan dua mahasiswi kami, masing-masing Rizki dan Istikomah merupakan mahasiswa berprestasi di tingkat fakultas, dan karena ada program itu, sebagai penghargaannya mereka mendapat kesempatan ke Jepang untuk pertukaran mahasiswa tadi," katanya.

Dikatakannya, program ini merupakan program untuk yang keempat kalinya diterima ITS. "Menurut rencana pada tahun kelima, jumlah mahasiswa yang dikirim akan ditambah satu lagi, menjadi tiga, dan dari Kobe Univesity juga akan mengirim mahasiswanya untuk belajar di ITS. Cuma bedanya mahasiswa yang kami kirim ke Jepang mendapatkan uang saku dari universitas di sana, sedang mahasiswa yang dikirim dari Kobe University pihak perguruan tinggi itu yang menyediakan uang saku bagi mahasiswanya," katanya.
Bagi kami, kata Masroeri menambahkan, program itu sangat menguntungkan, bukan hanya bisa menambah wawasan para mahasiswa kami yang dikirim, tetapi kami juga bisa mendapatkan masukan terhadap proses belajar-mengajar yang kami lakukan dengan apa yang dilakukan di sana. "Ini kami peroleh dari pengalaman mahasiswa kami yang dikirim, dimana mereka selama setahun di sana memang wajib untuk mengambil sedikitnya 8 mata kuliah untuk 24 SKS," katanya.

Bagaimana kesan Rizki dan Istikomah menjalani program pertukaran mahasiswa itu? Dua mahasiswa angkatan tahun 2000 ini mengatakan, ada banyak perbedaan yang diperoleh mereka selama menempuh kuliah di sana. "Yang paling mencolok soal fasilitas laboratorium yang serba lengkap, juga jaringan internet yang disiapkan universitas. Tiap kali dosen memberikan tugas, kita tinggal membuka intrenet semua bahan yang diminta akan dengan mudah diakses," kata Rizki.

Karena itulah, tambah Istikomah, ia bisa berlama-lama dan betah berada di kampus hingga pukul 03.00 dini hari. "Kami merasa nyaman karena berbagai kebutuhan untuk belajar tersedia, juga aman, karena mahasiswa di sana sopan-sopan. Tidak sepertri di sini, tiap kali ada mahasiswi lewat, selalu ramai dan jadi gunjingan. Di sana meski kami minoritas, karena memang berada di Fakultas Teknik Kelautan, yang juga perempuannya sangat minim, kami tidak mendapatkan perlakuan aneh-aneh," kata Istikomah, mahasiswi angkatan tahun 2000, kelahiran Tuluangagung, 30 Juni 1982 ini.

Dikatakan Rizki dan Istikomah, selama mereka berada di Jepang, ia telah berhasil menyelesaikan Tugas Akhir atau Skripsi. "Kami bersyukur di tengah kesibukan kami harus mengikuti kuliah wajib di sana serta menikmati jalan-jalan ke beberapa kota di Jepang, kami sekaligus dapat menyelesaikan TA. Kepulangan kami sesungguhnya lebih karena harus mengikuti ujian skripsi, jika tidak kami sudah ditawari untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi lagi," kata Istikomah.

Tapi, sambung Rizki menambahkan, karena untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi seperti yang ditawarkan dosennya di Jepang itu diperlukan ijazah S1, maka mereka pun kembali. "Kami berharap setelah menyelesaikan S1 di sini punya kesempatan untuk mendapatkan beasiswa di sana dan melanjutkan penelitian yang sudah diawali saat penyusunan tugas akhir," kata Rizki dan Istikomah. (Humas/bch)

Berita Terkait