Beberapa waktu yang lalu saya bertandang ke kantor Kompas Surabaya, bertemu dengan beberapa rekan wartawan. Kebetulan sekali saat itu bertepatan dengan hadirnya seorang pimpinan biro pelatihan dari Kompas Jakarta. Setelah ngobrol panjang lebar, bapak dengan rambut yang sudah memutih itu mengatakan; Dik, setahu saya dari beberapa perguruan tinggi top di Indonesia hanya ITS yang tidak memiliki pers kampus, mengapa? Apa mungkin mahasiswa ITS sudah sebegitu sibuknya dengan diri masing-masing? Hwarakadah! Terkejut saya dibuatnya. Sembari tersenyum kecut saya pun melengos. Secepatnya pamit pulang, meski di luar malam masih basah.
***
Jurnalistik memang tidak populer di kalangan mahasiswa ITS. Ia masih kalah populer dibandingkan dengan saudara jauhnya, karya tulis ilmiah. Bisa jadi karya tulis ilmiah lebih populer karena ia bisa menjanjikan anda –katakanlah— sebuah kemenangan dan prestige tersendiri, bahkan jika cukup beruntung bisa kecipratan sedikit dana Dikti yang jutaan itu. Jurnalistik kebalikannya, ia tidak menjanjikan apa-apa memang, bahkan konon tulisannya yang sak iprit dan punch-nya yang bersifat straight hanya menjadi pekerjaan orang-orang kere. Bisa jadi.
Tetapi daripada urusan duit yang memang sangat subjektif itu, jurnalistik menawarkan kemungkinan-kemungkinan lain, aspek nurani salah satunya. Jurnalistik mendidik kita untuk lebih peka sosial, mengasah nurani kita untuk selalu getap terhadap perubahan yang terjadi. Terlebih lagi –menurut saya— iklim jurnalistik yang sehat di lingkungan kampus menjadi penanda sebuah kehidupan wacana kampus yang dinamis. Seandainya pers di sebuah kampus mati, jelaslah ia menjadi penanda betapa stagnan wacana yang ada di kampus tersebut. Mungkin karena itu pula mengapa pers kampus sempat dituding sebagai urat nadi pergerakan mahasiswa.
Dari alasan-alasan diatas, maka keberadaan pers dalam sebuah kehidupan kemahasiswaan menjadi penting. Selain menjadi pengembang wacana mahasiswa yang efektif keberadaan pers juga bertujuan sebagai media penampung aspirasi bagi mahasiswa. Pada level ini maka keberadaan pers kampus juga menjadi tolok ukur bagi budaya menulis yang berkembang di kalangan civitas kampus.
Menyedihkan jika kita dituding sebagai kampus yang miskin wacana, sebagai kampus yang mahasiswanya tidak memiliki kemampuan peka sosial. Pantas saja mahasiswa kita selalu kalah –atau mungkin budaya kita adalah budaya mengalah.
***
Percayalah bahwa jurnalistik dan menulis adalah sebuah pekerjaan hebat. Jurnalistik adalah pekerjaan para superhero, itu mengapa Clark Kent dan Peter Parker memilih berkerja sebagai kuli tinta. Saking hebatnya jurnalistik, saya jadi ingat sebuah kutipan terkenal dari seorang pakar literary journalism ternama, Bill Kovach bahwa: Journalism is the closest thing I have to a religion. Setuju.
Ayos Purwoaji
Pemerhati media dan jurnalistik
Jakarta, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali menorehkan prestasi nasional dengan memborong empat penghargaan pada ajang Anugerah
Kampus ITS, ITS News — Sebagai bentuk dukungan terhadap riset energi bersih, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menerima kunjungan
Kampus ITS, ITS News — Perpustakaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali menegaskan perannya dalam memperkuat ekosistem riset kampus
Kampus ITS, ITS News – Ikatan Orang Tua Mahasiswa (Ikoma) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menunjukkan komitmennya dalam mendukung