ITS News

Jumat, 19 Desember 2025
29 Mei 2012, 05:05

Tiga Mahasiswa, Sepekan Jelajahi Jepang

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Tiga sosok ini adalah Lisana Shidqina, Sony Junianto, dan Stevanus Kristanto Nugroho. Mereka adalah mahasiswa angkatan 2009 dari berbagai jurusan. Pada 5 April silam mereka resmi dinyatakan sebagai peserta program tersebut. Bagi Stevanus, pengumuman tersebut merupakan sebuah kenangan tersendiri. ”Esoknya saya ulang tahun, kadonya ke Jepang,” selorohnya sambil tersenyum.

Semua kandidat dari ITS termasuk di antara 70 mahasiswa terpilih dari berbagai wilayah di Indonesia. Mereka terbagi dalam tiga kelompok bidang minat. Yaitu General Arts, Environmental/ Natural Science dan Technology/IT

Di awal aplikasi berkas, Sony, Lisana dan Stevanus telah masing-masing memilih bidang minat yang berbeda. Namun, seleksi dari pihak penyelenggara sendiri menentukan mereka masuk ke dalam kelompok yang sama. Yaitu Technology/IT.

Meski sempat kecewa, namun di akhir program mereka justru bersyukur ditempatkan di kelompok tersebut. ”Di antara semua kelompok, bidang kami termasuk yang paling banyak kegiatannya,” tutur Lisana.

Hari-hari pertama di Jepang mereka lalui dengan mendapatkan pengenalan umum mengenai budaya masyarakat Jepang. Kunjungan-kunjungan mereka meliputi ke patung anjing legendaris Hachiko di daerah Shibuya. Mereka pun sempat menyaksikan pernak-pernik sejarah arsitektur di Museum Edo Tokyo. Termasuk menyebrangi tiruan jembatan Nihonbashi yang merupakan jembatan utama lalu lintas Tokyo zaman dulu.

Pengolahan Sampah Hingga Universitas
Kunjungan-kunjungan yang lebih berkesan mereka rasakan saat menjelajahi kawasan Fukuoka. Di salah satu bagian pulau Kyushu ini mereka pertama kali mendatangi sebuah komunitas unik. Yaitu masyarakat kota Oki yang memiliki komitmen untuk menghasilkan zero waste. Alias ingin mengolah semua sampah mereka hingga tidak tersisa sama sekali.

Tidak tanggung-tanggung, seluruh sampah yang terdapat di kota kecil itu, dikumpulkan menjadi satu oleh mereka dan dimanfaatkan kembali. Sampah yang diolah bermacam-macam, dan dikelompokkan menjadi 25 kelompok berdasarkan karakteristiknya.

Yang cukup membuat ketiga mahasiswa ITS ini terkejut adalah penanganan limbah manusia yang dikumpulkan dalam satu septic tank komunal. Bersama dengan limbah rumah tangga, sampah ini kemudian diolah menjadi pupuk. ”Pupuk itu dibagikan secara gratis kepada masyarakat petani di Oki town (kota Oki, red),” jelas Sony.

Hasil penggunaan pupuk itu mereka rasakan secara langsung. Di areal pusat pengolahan limbah yang bernama Kururun itu terdapat restoran di mana mereka makan siang. Beberapa bahan makanan untuk restoran tersebut merupakan produk hasil penggunaan produk Kururun.

Mereka baru mengetahui hal tersebut sehabis makan. Stevanus sempat bercanda mengenainya. ”Kalau kami tahu sebelum, maka mungkin kami tidak akan menghabiskan sebanyak yang telah kami makan,” ujar mahasiswa Fisika ini sambil tertawa.

Kunjungan akademik tak ketinggalan. Ada dua perguruan tinggi yang menjadi tujuan mereka. Yang pertama yaitu Kyushu Institute of Technology (Kyutech). Salah satu fitur menarik yang ditemui di sana adalah ilmu antariksa. Mereka memiliki laboratorium aerospace sendiri di mana terdapat perangkat Advanced Land Observing Satellite (ALOS). ”Satelit sedang nge-trend disana,” tambah Stevanus yang juga sangat tertarik dalam bidang astronomi ini.

Selain Kyutech, terdapat satu perguruan tinggi swasta yang dikunjungi, yakni Fukuoka Institute of Technology (FIT). Di sana, delegasi Jenesys dari Indonesia turut berpartisipasi dalam cultural festival bersama dengan mahasiswa dari berbagai negara lain.

Namun yang sangat menyentuh adalah ketika mereka bertemu dengan rektor FIT, Teruo Shimamura. Sony bercerita bahwa sosok lanjut usia itu begitu sederhana. Ketika para mahasiswa dari Indonesia bertukar kartu nama, ternyata ia tidak membawa cukup banyak kartu. Ia meminta mereka untuk menunggunya. Dengan cepat ia kembali ke kantornya yang terletak di lantai atas untuk mengambil kartu nama. ”Sosok yang tidak biasa untuk seorang rektor,” ulas Sony.

Kehangatan Homestay Desa Tagomori

Hal lain yang tak akan dilupakan oleh para mahasiswa adalah ketika berkunjung ke desa Tagomori. Sejak pertama kali menjejakkan kaki di desa tersebut, sambutan dari warga desa begitu ramah. Setalah makan siang bersama, mereka diajak untuk menanam pohon sakura. Di antara pohon-pohon tersebut, tertancap sebuah patok kayu bertuliskan pernyataan persahabatan antara mahasiswa Indonesia dan penduduk Tagomori.

Masyarakat Tagomori mengatakan bahwa ketika suatu saat para mahasiswa kembali ke Tagomori, pohon itu akan menjadi simbol bahwa mereka akan selalu diterima di sana. ”Saat itu tidak sedikit dari kami yang menangis terharu dengan sambutan mereka,” kenang Lisana.

Malamnya, mereka merasakan kehidupan bersama para penduduk lokal. Mereka terbagi dalam enam kelompok homestay, masing-masing dengan keluarga yang berbeda. Menurut Sony, homestay adalah saat yang paling menyenangkan, lantaran
mereka dapat berbaur dalam kehidupan orang Jepang secara langsung.

Kendala bahasa sempat mereka rasakan. Pasalnya, memang sebagian besar warga tidak bisa berbahasa Inggris. ”Untungnya saat itu pihak Jenesys menyediakan buku saku berisi conversation umum bahasa Jepang,” jelas mahasiswa Teknik Kelautan ini.

Keesokan harinya, masih ada satu kejutan lagi dari warga desa Tagomori. Yakni makan mie somen bersama. Sesuai tradisi desa tersebut, mie somen dimasak di sebuah rumah di atas bukit. Dengan pipa bambu yang panjang dan berkelok-kelok, mie dialirkan menuju ke tempat yang lebih rendah. Disana, para mahasiswa berebutan mengambil dan memakan mie somen langsung dari pipa.

Toilet dan Karakter Masyarakat
Menurut ketiga mahasiswa tersebut, salah satu hal yang tidak bisa terlepas dari kesan menarik selama di Jepang adalah toilet. Di Indonesia, toilet cenderung merupakan tempat-tempat yang tidak terawat, kotor dan basah. Di Jepang, yang terdapat justru kebalikannya.

Masyarakat Jepang sangat menghargai higiene dan sanitasi. Mereka tidak menyukai keadaan toilet yang kotor dan basah. Pengalaman itu pernah dirasakan oleh Sony. Ketika keluar dari kamar mandi dalam keadaan rambut basah, keluarga homestay-nya dengan sigap mengulurkan hair dryer. 

Dalam sebagian besar kasus, keinginan masyarakat Jepang dipermudah dengan teknologi yang canggih. Toilet yang umum digunakan dilengkapi tombol penyiram otomatis. Tak jarang pula terdapat toilet canggih bersensor. Tutup toilet akan membuka sendiri ketika ada orang yang mendekatinya. Menariknya, teknologi tersebut tak hanya terdapat di daerah kota, melainkan juga di desa. Tak terkecuali Tagomori.

Stevanus menambahkan mengenai karakteristik orang Jepang yang menurutnya sangat ekspresif. Mereka suka sekali dengan pemberian hadiah, dan ungkapan terima kasih mereka selalu hampir tampak berlebihan. Terlebih, antusiasme mereka terhadap orang yang baru dikenal sangat tinggi. ”Aneh, serem, tapi seru,” ujarnya lugas.

Di akhir program, seluruh peserta mengulas ilmu dan pengetahuan yang mereka dapatkan. Muai dari karakterisktik orang Jepang yang selalu disiplin, bekerja cepat, selalu on-time dalam kegiatan apapun. Hingga penerapan teknologi yang merata baik di desa maupun di kota.

Program Jenesys memang tidak semata hanya mengenalkan kebudayaan Jepang kepada pemuda negara-negara Asia. Kegiatan yang dihelat oleh Japan International Cooperation Center (JICE) ini memiliki tujuan untuk membina persahabatan antar negara-negara exchange. Semacam saling investasi sumber daya manusia baik dari Indonesia maupun Jepang. ”Kami diharapkan dapat menerapkan ilmu yang kami dapatkan di Indonesia,” tutup Sony. (fin/lis)

Berita Terkait