Mereka adalah Stevanus Kristanto Nugroho, Gabriela Amanda Gitasari, dan Yusuf Hakim. Ketiganya tak lain merupakan mahasiswa yang tengah menjalani studi di jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA). Secara khusus, undangan tersebut datang dari International Astronomical Union (IAU)-Vietnam Workshop on Astronomy and Astrophysics di kota Ho Chi Minh City, tepatnya di kampus University of Pedagogy (28/11-5/12).
Pada awalnya, undangan ini ditujukan kepada salah seorang mahasiswa S2 Fisika bernama Intan, yang sebelumnya pernah mengikuti seminar serupa di Vietnam. Namun sayangnya, tema undangan kali ini adalah astronomi dan astrofisika. Berbeda dengan bidang yang tengah digeluti Intan, yakni fisika partikel.
Untuk diketahui, astronomi ialah cabang ilmu alam yang melibatkan pengamatan benda-benda langit. Seperti bintang, planet, komet, nebula, gugus bintang, galaksi, serta fenomena-fenomena alam yang terjadi di luar atmosfer Bumi. Sedangkan, astrofisika adalah cabang astronomi yang berhubungan dengan fisika jagad raya, termasuk sifat fisik (luminositas, kepadatan, suhu, dan komposisi kimia) dari objek astronomi.
Karena ketidaksesuaian itu, undangan tersebut pun ditawarkan pada Kris, sapaan akrab Stevanus Kristanto Nugroho. ”Ini sejenis summer school, tapi dalam jangka waktu yang pendek,” jelas Kris.
Dengan penuh semangat, mahasiswa angkatan 2009 tersebut menceritakan pengalaman perjalanan mereka. Mulai dari berkeliling Vietnam, mendapat materi tentang astronomi dan astrofisika, hingga berkenalan dengan mahasiswa Vietnam. Berkunjung laboratorium pun tak luput dari perjalanan singkat tersebut. Bahkan, yang masih melekat hangat dalam benak Kris adalah proses berkenalan dengan salah seorang profesor luar negeri.
Dia adalah M B N (Thjis) Kouwenhoven, dosen Peking University, China. Menurutnya, pria yang kerap disapa Thjis ini merupakan sosok yang mudah bertukar cerita dengan mereka. Mungkin, karena Thjis berasal dari Belanda. ”Faktor historis membuat beliau akrab dengan kami,” ujar Kris diiringi dengan senyum.
Saat sharing bersama, dikatakan Kris, Thjis acapkali menjelaskan tentang kelebihan para astronom. Bagi Thjis, para astronom justru dibayar karena melakukan hobinya. Tidak seperti pekerjaan yang lain. Hal ini pun semakin memantapkan niat Kris untuk melanjutkan studi magister tentang astronomi.
Ditanya mengenai perasaannya, Gabriela juga mengatakan perasaan senang dan sedih telah bercampur jadi satu. ”Senang karena bisa jalan-jalan dan dapat ilmu baru. Tapi juga sedih karena meninggalkan aktivitas kampus,” ungkap mahasiswi yang juga angkatan 2009 tersebut.
Tidak Sekedar Menerima Materi
Di kota terbesar di Vietnam tersebut, Kris dkk tidak datang hanya sebagai peserta pasif. Mereka dipersilakan untuk melakukan presentasi yang berjudul Astronomy in Indonesia: a Struggle to be an Astronomer.
Salah satu poin yang diulas Kris adalah terkait nilai astronomi yang terkandung dalam Candi Borobudur. Jika diamati dari puncak tertinggi candi tersebut, baik arah utara, selatan, barat, maupun timur, akan menunjukkan Candi Borobudur sebagai pusat rotasi Bumi. ”Candi tersebut bukan hanya situs religi, melainkan juga astronomi,” ungkap mahasiswa yang pernah mengikuti olimpiade astronomi tingkat internasional di Iran tersebut.
Tak hanya itu, dalam kesempatan itu, Kris juga sedikit melayangkan ”protes”. Menurutnya, Surabaya adalah kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta. Tapi, selama ini, kota pahlawan tersebut jarang menggelar seminar bertajuk astronomi. Padahal, kota Jakarta, Bandung, Yogjakarta, dan Makasar acapkali mengadakan seminar serupa. Disisi lain, ia juga menyayangkan tak adanya Planetarium Boscha di Surabaya.
Tidak disangka, ”protes” yang dilakukan Kris dkk berbuah hasil. Pihak IAU sebagai penyelenggara seminar-seminar astronomi internasional akan membawa usulan Kris ke rapat untuk dijadikan bahan pertimbangan. ”Kita masih punya kesempatan,” ujar pria yang gemar bermain baket terssebut.
Mulai dari Hal Kecil
Saat ini, Kris dkk tidak hanya tinggal diam untuk mewujudkan harapan astronomi Indonesia menjadi lebih baik. Mereka mendirikan Ascladent (Astronomy Club for Student). Sebuah komunitas yang pernah mereka gagas dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) tahun lalu.
Saat itu, target sasarannya adalah anak-anak Sekolah Menengah Pertama (SMP). Rencananya, dalam waktu dekat ini, mereka juga ingin menjadikan mahasiswa ITS sebagai sasaran. Ini menjadi bukti keseriusannya memajukan dunia astronomi Indonesia. (nir/esy)
Jakarta, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali menorehkan prestasi nasional dengan memborong empat penghargaan pada ajang Anugerah
Kampus ITS, ITS News — Sebagai bentuk dukungan terhadap riset energi bersih, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menerima kunjungan
Kampus ITS, ITS News — Perpustakaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali menegaskan perannya dalam memperkuat ekosistem riset kampus
Kampus ITS, ITS News – Ikatan Orang Tua Mahasiswa (Ikoma) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menunjukkan komitmennya dalam mendukung