ITS News

Jumat, 19 Desember 2025
31 Maret 2011, 11:03

Berbekal Nekat, Tiga Mahasiswa ITS Diundang ke Prancis

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Ketiganya adalah Abyad Adi Raja, Sun’anul Huda (keduanya dari Jurusan Teknik Elektro) dan Ahmad Mustof Hadi dari Jurusan Teknik Informatika. Tim yang bernama StudentPrenuership Network ini berhasil menduduki urutan ke-15 dalam kompetisi internasional bertajuk Citizen Act.

Ditemui di jurusannya, Abyad Adi Raja, ketua tim ini menceritakan bahwa Citizen Act merupakan sebuah kompetisi tingkat internasional yang diselenggarakan oleh Society Generally (SG), sebuah bank internasional yang berpusat di Prancis. Kompetisi ini diadakan SG untuk mencari ide yang akan digunakan bank tersebut dalam penerapan Corporate Social Responsibility (CSR) kepada masyarakat.

Dalam lomba ini, mereka mengajukan ide program CSR di bidang pendidikan. Secara spesifik mereka memberikan ide agar pihak SG memberikan pinjaman dana kepada para pelajar setingkat SMA di Prancis yang ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Mengapa berupa pinjaman? Mengapa bukan beasiswa yang tanpa pengembalian saja? "Dengan pinjaman, para pelajar tersebut memiliki kewajiban untuk mengembalikan pinjaman tersebut," ujar mahasiswa yang akrab disapa Abi ini.

Namun, selain berkewajiban untuk mengembalikan pinjaman tersebut, para pelajar tersebut juga memiliki kewajiban lain. "Mereka juga harus menyosialisasikan SG kepada masyarakat. Dengan demikian masyarakat juga mengenal SG," ungkap mahasiswa jurusan Teknik Elektro ini.

Selain itu, ide yang mereka tawarkan ini juga memberikan pendidikan formal dan nonformal. Lewat program yang ditawarkan, para pelajar tadi juga diberi materi tentang perbankan, keuangan, dan kepemimpinan. Setelah diberi pelatihan-pelatihan di atas, mereka dituntut untuk mengaplikasikan ilmu mereka. "Mereka kita suruh membuat sebuah usaha sendiri beserta organisasinya yang dapat melibatkan masyarakat di sekitarnya," jelas mahasiswa yang berasal dari Surabaya ini.

Harapannya, melalui program tersebut, baik pihak SG, pelajar, dan masyarakat sama-sama merasa untung. SG menjadi lebih dikenal masyarakat, pelajar mendapatkan dana dan pelatihan-pelatihan, sementara masyarakat mendapat layanan ataupun lapangan pekerjaan. Karena ide ini, SG memberi peluang kepada tim ini bersama 40 tim peserta terbaik dari 260 tim untuk mempresentasikan buah pikirannya di negara pusat mode ini.

Sebelumnya, Abi mengaku terkejut atas pengumuman lolosnya tim ini. Pada awalnya, dia sempat tidak percaya. Apalagi kelompoknya mengetahui lomba ini dua hari sebelum batas pengumpulan terakhir."Setelah itu langsung kami kebut dan alhamdulillah selesai beberapa jam sebelum deadline," ungkapnya.

"Sempat nggak percaya juga sih, karena banyak penipuan-penipuan melalui email," ceritanya mengenai reaksinya setelah tahu bahwa timnya lolos. Namun setelah dikonfirmasi dan kedua temannya juga mendapatkan e-mail yang sama dari pengirim yang sama, dia baru percaya.

Di sinilah serunya. Melalui e-mail tersebut, panitia Citizen Act meminta pada mereka untuk mengirimkan nomor paspor dan visa dalam waktu dekat karena satu bulan setelah pengumuman mereka harus berangkat ke Prancis. Namun sayangnya, mereka tidak memiliki keduanya. Akhirnya mereka harus melakukan perjalanan bolak-balik Surabaya-Jakarta untuk mengurus kedua surat ini. "Waktu itu hari Jumat paspor dan visa sudah jadi tapi masih di Jakarta. Bisa langsung dikirim ke Surabaya, tapi Senin belum tentu sudah sampai. Padahal Senin itu juga kami harus berangkat," ceritanya.

"Sempat juga dimarahi sama petugas yang mengurus visa. Karena waktu itu beliau sibuk dan kami minta dilayani cepat," kenangnya. Namun perjuangan mereka dapat mereka rasakan manisnya. Urusan paspor dan visa beres dan tentunya bisa jalan-jalan keluar negeri tanpa dipungut biaya sedikitpun. Mereka hanya merogoh kocek untuk mengurus paspor, visa, pesawat untuk perjalanan bolak-balik Jakarta-Surabaya, dan bekal untuk berangkat ke Prancis. Itupun mereka juga masih mendapat bantuan dari pihak kampus.

Setelah itu, mereka mendapat bimbingan dari pihak SG. Pembimbingnya adalah karyawan SG sendiri. Sebenarnya setiap tim mendapat pembimbing yang satu negara, tapi karena tidak ada pembimbing yang berasal dari Indonesia maka mereka mendapat pembimbing dari Prancis. "Bahasa Inggris kami sama-sama kurang bagus. Tapi lumayan bisa nyambung," akunya.

Tanggal 14 Maret, pengumuman peserta yang lolos ke final dipublikasikan. Sayang, nama mereka tidak tercantum di dalamnya. Nama mereka bertengger di peringkat ke-15. Namun mereka masih bangga karena berhasil mengungguli 245 tim lain dari berbagai penjuru dunia. "Kami juga senang. Karena ini perjalanan pertama kami ke luar negeri," pungkas Abi sambil setengah tertawa. (nir/hoe)

Berita Terkait