ITS News

Sabtu, 20 Desember 2025
17 Juli 2013, 17:07

Pakar ITS Tanggapi Pembangunan Megaproyek JSS

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Menurut Prof Dr Daniel M Rosyid, Guru Besar Riset Operasi Teknik Kelautan, berdasarkan perencanaaan pertimbangan ruang dan waktu, megaproyek JSS ini dinilai kurang tepat. Daniel berfikir masih ada solusi lain yang lebih baik untuk memperbaiki aksesibilitas antara Jawa dan Sumatra.

Selain menghabiskan dana yang cukup besar, yaitu sekitar 200 triliun, megaproyek ini juga berisiko mengubah struktur ruang Indonesia. Dengan adanya JSS tersebut, posisi Selat Sunda akan menjadi semakin penting. Hal itu akan berdampak pada koridor bebas internasional yang berangsur meluas. ”Alur laut timur dan barat akan dibuka, akibatnya kapal-kapal asing akan dengan mudahnya masuk ke wilayah Indonesia,” jelas Daniel.

Tak hanya itu, kesenjangan ekonomi regional antara kedua wilayah yang terhubung, Banten dan Lampung, juga menjadi permasalahan. Meskipun salah satu rencana JSS dibangun adalah untuk mengembangkan industri di wilayah tersebut, namun Daniel mengkhawatirkan hanya akan ada satu wilayah yang berkembang. ”Yang lainnya akan menyusut, hampir pasti kesenjangan akan semakin signifikan,” tegasnya.

Lebih lanjut, Daniel juga menanggapi isu konsesi lahan yang diminta oleh investor JSS. Akan ada alih kepemilikan lahan sekitar proyek tersebut nantinya. ”Selain dari hasil tarif jembatan, investor juga meminta konsesi lahan untuk pengembalian modal,” tambahnya. Dengan begitu, industri asing akan semakin menguasai.

Padahal, lanjut Daniel, motivasi pembangunan proyek seharusnya untuk menjawab permasalahan transportasi dan logistik. ”Sayangnya proyek ini hanya lebih difokuskan pada keberadaan fisik jembatan penyeberangan,” ujar Dosen Jurusan Teknik Kelautan ini.

Sepakat dengan Daniel, Dr Amien Widodo juga mengutarakan pandangan serupa. Meninjau dari aspek geologi, Ketua Pusat Studi Kebumian, Bencana, dan Perubahan Iklim ITS ini menilai risiko rusak jembatan sangat besar. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh risiko gempa dan tsunami yang terjadi di wilayah tersebut.

Berdasarkan data yang ditunjukkan Amien, gempa terbesar yang terakhir kali terjadi di Selat Sunda berkekuatan 8.9 SR. Untuk mengantisipasi hal tersebut, jembatan pun dipersiapkan dapat menahan gempa hingga kekuatan 9.0 SR.  ”Namun jika melihat pemeliharaan infrastruktur di Indonesia yang masih kurang, kekuatan JSS pun akan berkurang seiring berjalannya waktu,” tegas Amien.

Menurut Daniel, urgensi pembangunan JSS ini untuk saat ini belum terlalu besar. Justru pembenahan infrastruktur di masing-masing pulau yang harus dibenahi. Selain itu perlu adanya konsolidasi pasar dan juga pengembangan pelabuhan yanga da di setiap pulau. Sehingga tidak hanya moda jalan saja yang diutamakan, tapi juga moda laut.

Alasan utama adanya megaproyek ini adalah tidak lancarnya alur transportasi laut di Selat Sunda. Karena sering terjadi bottleneck di wilayah tersebut. Sedangkan menurut Daniel, hal tersebut lantaran kurang didukungnya transportasi massal jalur laut. ”Dari segi kuantitas kapal feri kurang, kondisi dermaga pun kurang terawat akibat tidak dilakukan pengerukan sehingga kemampuan dermaga menampung kapal semakin kecil,” paparnya.

Permasalahan tersebut seharusnya dapat diatasi dengan penambahan jumlah kapal ferry yang beroperasi di sana dan juga memperbaiki kondisi dermaga-dermaga yang ada. Daniel memperkirakan, 40 kapal feri alternatif dapat disiapkan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di Selat Sunda. Dengan kapasitas muatan lebih besar dengan harga sekitar 250 miliar setiap buahnya, solusi tersebut dirasa lebih aman dan terjangkau. ”Selain simple juga tepat sasaran,” tandasnya. (oly/izz)

Berita Terkait