ITS News

Jumat, 26 April 2024
05 November 2022, 20:11

Menilik Femisida, Fenomena Pembunuhan terhadap Perempuan

Oleh : itsojt | | Source : ITS Online

Sumber: kumparan.com

Kampus ITS, Opini – Dewasa ini, aturan tertulis yang memuat Hak Asasi Perempuan dan Anak belum sepenuhnya diadopsi secara maksimal. Berbagai pelanggaran terjadi, mulai dari pelecehan seksual, kekerasan, hingga pembunuhan terhadap perempuan atau yang kerap disebut dengan fenomena femisida.

Menurut World Health Organization (WHO), pembunuhan ataupun kekerasan pada perempuan akibat kebenciannya terhadap perempuan dinamakan femisida. Menjadi bentuk paling ekstrem dari diskriminasi terhadap kesetaraan gender, epidemi femisida memang perlu menjadi perhatian seluruh kalangan. Bagaimana tidak, fakta di lapangan membuktikan bahwa fenomena ini terus berkembang setiap harinya.

Bukan sekadar isapan jempol belaka, maraknya femisida terbukti melalui beberapa kasus yang terjadi di Indonesia baru-baru ini. Masih lekat di ingatan, seorang pendeta muda yang tega menghabisi nyawa rekannya lantaran sakit hati. Tak hanya itu, beberapa waktu lalu, warganet sempat dihebohkan dengan kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yang menimpa seorang selebriti kondang, Lesti Kejora.

Adanya kasus tersebut mengindikasikan secara jelas bahwa Indonesia telah gagal melindungi keselamatan dan keamanan perempuan. Dilansir dari laman Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), motif yang kerap diterapkan oleh pelaku femisida menunjukkan kemiripan di setiap kasusnya. Pola yang mereka gunakan biasanya sangat kental dan sarat akan sadisme berlapis terhadap perempuan, seperti penganiayaan, pemerkosaan, penelanjangan, hingga pembunuhan.

Femisida berbeda dengan pembunuhan pada umumnya karena mengandung aspek ketidaksetaraan gender, dominasi, agresi, dan opresi. Femisida juga merupakan buah dari misoginis dan budaya patriarki yang mengakar kuat. Berdasarkan data yang dihimpun dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), 80 persen pelaku femisida lahir dari orang terdekat korban dan umumnya laki-laki.

Infografis kekerasan terhadap perempuan tahun 2018 (sumber: tempo.co)

Terdapat 11 bentuk kejahatan dan kekerasan yang dapat digolongkan sebagai femisida berdasarkan Deklarasi Wina di tahun 2012. Bentuk-bentuk tersebut diantaranya adalah kekerasan rumah tangga atau pasangan intim, penyiksaan dan pembunuhan misoginis, pembunuhan terhadap perempuan dan anak perempuan karena kehormatan ataupun konflik bersenjata, pembunuhan terkait mahar, pembunuhan karena orientasi seksual dan identitas gender, serta pembunuhan terhadap perempuan aborigin.

Kemudian, bentuk lainnya adalah pembunuhan kepada bayi perempuan dan janin berdasarkan seleksi kelamin, kematian terkait pelukaan dan pemotongan genital perempuan (female genital mutilation), tuduhan sihir, serta femisida yang berkaitan dengan pengedar narkoba, perdagangan manusia, penyebaran senjata api, dan kejahatan lain yang terorganisasi. 

Kendati semakin meningkatnya kasus femisida di Indonesia, pemerintah cenderung masih abai dan menganggapnya remeh. Padahal, data dari Komnas Perempuan terus menyajikan angka kejahatan yang semakin bertambah. Jika hal ini terus berlangsung tanpa adanya tindak lanjut, perempuan akan merasa tak nyaman untuk beraktivitas dan menjalani kehidupan sehari-hari.

Atas keadaan tersebut, peran pemerintah sebagai penjamin keselamatan masyarakat perlu dipertanyakan. Apa solusi yang harus disajikan pemerintah dan bagaimanakah mereka mampu menjamin keselamatan dan kenyamanan perempuan?

Selama ini, pemerintah dan masyarakat masih belum menganggap jaminan keselamatan perempuan sebagai suatu hal yang krusial dan penting. Buktinya, masih banyak kalangan yang berpaku pada budaya patriarki dan menolak mentah-mentah eksistensi hak milik perempuan. 

Hal ini tentu sangat disayangkan. Pasalnya, dalam Sustainable Development Goals (SDGs) sendiri, jaminan hak dan keselamatan kesetaraan gender menjadi salah satu tujuan sekaligus target utama. Untuk itu, pemerintah Indonesia sudah seharusnya berpartisipasi secara aktif untuk memenuhi hal tersebut.

Tak hanya itu, meski Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sudah menjadi satu langkah preventif dalam menghadapi fenomena ini, pemerintah harus tetap meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap bahaya femisida. Dimulai dengan menggalakkan kampanye pencegahan kejahatan pada perempuan serta memperkuat pengawasan, penyaringan, dan hukum, Indonesia akan dapat menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi para perempuan untuk hidup. (*)

 

Ditulis oleh:

Hibar Buana Puspa

Mahasiswa S-1 Teknik Transportasi Laut

Angkatan 2022

Berita Terkait