ITS News

Jumat, 26 April 2024
31 Maret 2022, 11:03

Memahami Kesenjangan Gender dan Solusi Pemberantasannya

Oleh : itsfer | | Source : ITS Online

Ilustrasi kesenjangan gender (Sumber: womeninagscience.org)

Kampus ITS, ITS News Kesetaraan gender merupakan bagian dari hak asasi manusia. Diskriminasi akan hal gender di berbagai wilayah memiliki tingkat yang beragam. Saat ini, isu tersebut seringkali bertumpu pada permasalahan kesenjangan keadaan dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Bersama Dr. Tania Islam, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) mengulik topik tersebut lebih dalam.

Umumnya, publik menganggap bahwa gender dan sex (jenis kelamin) adalah hal yang sama. Gender, adalah sebuah konsep yang kita pelajari dari nilai masyarakat mengenai pembagian peran antara pria dengan wanita. Sementara itu, sex sudah ditentukan sejak lahir dan umumnya bersifat tetap, walaupun di zaman sekarang dapat diubah sesuai kehendak pribadi. Akan tetapi, setiap orang di dunia pasti akan sepakat mengenai konsep kategori berdasarkan sex.

Menurut Tania, hal tersebut tidak berlaku ketika berbicara tentang gender. Setiap negara di dunia memiliki pandangan yang berbeda mengenai gender dan pandangan tersebut akan terus berubah seiring dengan berjalannya waktu. Dari penjelasan tersebut, kita dapat mengetahui bahwa gender sebenarnya adalah perbedaan sosiologis yang mendikte bagaimana pembagian peran antara pria dengan wanita. “Biasanya pembagian peran ini didasarkan atas ekspektasi masyarakat terhadap tipe gender,” terangnya.

Faktor yang memengaruhi peran gender menurut penelitian Tania

Dosen University of Malaya ini mencontohkan bahwa dalam kehidupan, seseorang akan berperilaku sesuai dengan apa yang menjadi norma di masyarakat. Wanita, misalnya, mereka sedari kecil diharapkan untuk tumbuh menjadi orang yang feminim. Saat dewasa, mereka dihadapkan pada ekspektasi untuk menjadi orang yang rutinitasnya yaitu mengerjakan tugas domestik serta mengurus anak.

Fenomena yang sudah mengakar di masyarakat ini kemudian menjadi sebuah konsep yang berhierarki dan menghasilkan kesenjangan yang beririsan dengan kesenjangan lain yang bersifat sosio-ekonomi. Beberapa dari kesenjangan sosio-ekonomi yang dimaksud yaitu terkait dengan etnisitas, status sosio-ekonomi, disabilitas, umur, lokasi geografis, serta identitas gender dan orientasi seksual. Bercampurnya fenomena-fenomena tersebut seringkali disebut sebagai intersectionality.

Akibat dari interaksi yang kompleks tersebut, Tania menyebutkan bahwa di zaman modern ini kerap  ditemui praktek-praktek yang mendiskriminasi hak dan peran wanita, baik secara sosial maupun ekonomi. Pernyataan ini didukung oleh fakta dimana wanita memiliki kesempatan yang lebih rendah untuk mendapatkan pekerjaan dibandingkan pria. Ketika memiliki kesempatan pun, wanita lebih berkemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan informal, berisiko, dan berupah rendah.

Tania ketika memaparkan peta presentase partisipasi wanita di pasar lapangan kerja dunia

Terlebih, lanjut Tania, pandemi Covid-19 saat ini semakin menambah beban pekerja domestik berupah rendah untuk tidak mendapatkan upahnya atau bahkan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Adanya pandemi akan menambah beban kerja mereka yang sebelumnya sudah menghabiskan dua setengah kali lebih banyak jam kerja dibanding tenaga kerja pria, menjadi lebih berat dan banyak.

Lalu, siapakah yang bertanggung jawab atas terciptanya kesenjangan antargender ini? Berangkat dari pertanyaan tersebut, Tania mengungkapkan bahwa munculnya kesenjangan gender adalah sebuah proses yang tidak disadari, hasil pemikiran alam bawah sadar manusia, dan terjadi secara berangsur-angsur dalam waktu yang lama. “Kemudian, masyarakat mulai menerima stereotip tersebut dengan menciptakan sebuah konsep pembagian peran antar gender,” tutur lulusan medical science Nagoya University tersebut.

Beberapa dari banyaknya ketidakadilan yang masih dialami oleh wanita dalam berbagai aspek kehidupan

Tania berujar bahwa untuk menciptakan adanya kesetaraan gender, maka kesetaraan gender harus dipandang sebagai sebuah fondasi wajib untuk mewujudkan dunia yang damai, makmur, dan berkelanjutan. Selain itu, penting untuk memberikan wanita hak yang sama dalam kepemilikan lahan dan properti, akses ke kesehatan seksual dan reproduksi, serta akses ke teknologi dan birokrasi. Dengan begitu, akan lebih banyak wanita yang menjadi pemimpin dan membantu upaya mewujudkan kesetaraan gender.

Adapun upaya mengakhiri diskriminasi terhadap wanita tidak hanya krusial untuk membangun masa depan yang berkelanjutan, tetapi juga di sisi lain dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di suatu bangsa. Terakhir, pemerintah perlu mengadopsi sebuah kebijakan yang tertulis dalam legislasi yang isinya mempromosikan kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan dari berbagai latar belakang. “Dengan begitu, keadilan bagi rakyat bukan lagi sebuah mimpi,” pungkasnya. (*)

Reporter: Ferdian Wibowo
Redaktur: Astri Nawwar Kusumaningtyas

Berita Terkait