ITS News

Jumat, 26 April 2024
25 November 2021, 22:11

Mengenal Internalized Misogyny, Momok Menakutkan bagi Perempuan

Oleh : itschi | | Source : ITS Online

Ilustrasi internalized misogyny (sumber: raniaandco.co.uk)

Kampus ITS, Opini – Seringkali kita menjumpai beberapa perempuan yang ingin meninggikan dirinya namun memilih untuk menjatuhkan, memojokkan, dan mempermalukan perempuan yang lain. Istilah “jangan bawa perasaan” kerap dijadikan tameng untuk bebas membenci dan mengutuk. Fenomena inilah yang dikenal sebagai istilah internalized misogyny.

Melansir dari kompas.com, internalized misogyny diartikan sebagai sebuah tindakan ketika perempuan secara tidak sadar memproyeksikan ide-ide seksis ke perempuan lain dan bahkan ke diri mereka sendiri. Internalized misogyny mulanya diciptakan oleh gerakan feminis untuk membungkam perempuan lain yang tidak sependapat dengan mereka.

“Apa cuma aku perempuan yang gak suka makeup?”

“Aku, sih, lebih nyaman temenan sama laki-laki, perempuan itu ratunya drama!”

“Aku gak suka banget sama kpop, beda dari perempuan lainnya!”

Kerap mendengar pernyataan di atas, bukan? Ya, itulah ciri-ciri dari internalized misogyny. Motif di balik fenomena ini ditengarai disebabkan oleh para perempuan yang membutuhkan validasi dari orang lain bahwa dirinya lebih unggul, berbeda, dan unik dari perempuan pada umumnya. Mereka ingin orang lain terkesan namun dengan cara membandingkan dirinya terhadap perempuan lain yang dianggap tidak lebih baik.

Tak sedikit perempuan yang berasumsi bahwa makeup natural lebih baik, lebih cantik, dan lebih antimainstream dibandingkan makeup tebal. Pemikiran tersebut akhirnya menimbulkan steorotip tertentu dan menjurus ke arah internalized misogyny. Padahal, dengan ataupun tanpa makeup, perempuan tetaplah perempuan. Itu adalah pilihan yang dapat mereka putuskan sendiri.

Tak hanya itu, ada pula pemikiran bahwa perempuan yang mengalami persalinan normal lebih baik dibandingkan dengan persalinan sesar. Para ibu yang melakukan operasi sesar dianggap tak layak disebut sebagai seorang “ibu” yang sesungguhnya. Padahal, baik normal ataupun sesar, mereka tetaplah seorang ibu yang telah berjuang melahirkan anaknya.

Di sisi lain, ada anggapan bahwa perempuan dengan banyak teman laki-laki adalah seorang pencari perhatian. Alhasil, jika kita menjumpai perempuan yang ramah, mudah bergaul, dan suka menongkrong dengan laki-laki, maka kita akan melabelinya sebagai seorang yang genit dan gemar mencari perhatian. Padahal, perempuan dengan banyak teman laki-laki itu normal. Kita bebas berteman dengan siapapun tanpa harus memandang gendernya.

Beberapa waktu terakhir, tren “Pick-Me Girl” sempat ramai diperbincangkan di dunia maya, utamanya di platform TikTok. Perempuan dari berbagai penjuru dunia berbondong-bondong membuat konten yang mengarah pada internalized misogyny. Tren yang berhasil mengumpulkan lebih dari 1,1 miliar tayangan tersebut banyak menuai pro dan kontra di masyarakat.

Tren ini diwujudkan dengan tindakan merendahkan perempuan karena mengkritik penampilan, menyinggung seksualitas, hingga menampik persamaan hak perempuan. Tanpa disadari oleh banyak orang, sifat ini sangatlah buruk dan hanya merugikan orang lain. Di samping itu, fenomena ini juga tidak baik bagi kondisi psikologis korbannya.

Ilustrasi internalized misogyny (sumber: cutacut.com)

Mengapa banyak perempuan yang memiliki internalized misogyny?

Alasan paling mendasar yang diduga menjadi penyebab perempuan melakukan ini adalah trauma masa kecilnya. Lingkungan keluarga memiliki peranan besar dalam pembentukan karakter anak. Karakter yang terbentuk semasa kanak-kanak seringkali bertahan hingga dewasa. Tentu saja, orang tua memiliki peranan besar dalam hal ini.

Anggap saja seorang anak berada di lingkungan keluarga yang penuh kasih sayang, maka anak tersebut akan tumbuh menjadi sosok yang periang dan mampu mengendalikan emosi dengan baik. Namun sebaliknya, jika seorang anak tumbuh dan dibesarkan di lingkungan keluarga yang penuh amarah dan kekerasan, maka akan timbul rasa kebencian dan trauma.

Selain itu, internalized misogyny bisa juga disebabkan oleh pola pikir yang keliru. Beberapa orang memiliki perspektif yang negatif ketika melihat atau menilai suatu hal. Mereka cenderung fokus terhadap hal yang salah dan akan terus menganggapnya salah di masa depan. Jika tak segera dihalau, hal ini dapat membuat seseorang semakin terpuruk dan terjerumus ke hal-hal negatif.

Lalu, apa yang harus kita lakukan untuk menghentikannya?

Terkadang, kita tak menyadari bahwa kita memiliki sikap internalized misogyny. Untuk menghindarinya, kita harus memulainya dengan melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang positif. Misalnya saja, tepislah prasangka buruk jika menjumpai perempuan gemar bersolek. Alih-alih menggunjingnya karena makeup yang terlalu tebal, lihatlah dari keahliannya mengoles wajah.

Sikap ini juga berlaku untuk kasus-kasus lain yang tergolong internalized misogyny. Kalau pun ada beberapa perempuan yang perilakunya menyimpang negatif, mereka hanya perlu untuk ditegur, bukan dipojokan, direndahkan, atau bahkan dikucilkan. Women support women” yang kerap digaungkan di sosial media tak boleh hanya dijadikan sebagai slogan.

Alih-alih menghina dan saling merendahkan, mari hargai keunikan dan perbedaan masing-masing individu. Lagi pula, ingin terlihat berbeda dengan menjatuhkan orang tak akan menjadikanmu sosok yang keren dan spesial, kan? Sudah sepatutnya kita introspeksi diri dengan tak ikut campur dan seenaknya melabeli seseorang hanya karena kita berbeda dalam mengamini suatu konsep gender.

Ilustrasi women support women (sumber: istockphoto.com)

 

Ditulis oleh:

Erchi Ad’ha Loyensya

Mahasiswa S-1 Departemen Teknik Mesin

Angkatan 2019

Reporter ITS Online

Berita Terkait