ITS News

Jumat, 26 April 2024
22 Maret 2020, 09:03

Mengupas Hikmah Pertemuan Rasulullah dengan Nabi Musa (Opini Isra’ Mi’raj)

Oleh : itsmad | | Source : ITS Online

Ilustrasi Isra’ Mi’raj. (sumber: waspada.co.id)

Kampus ITS, Opini — Saya yakin, pembaca sekalian sudah berulang kali mendengar kisah Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad. Keajaiban demi keajaiban Allah tampakkan di malam yang mulia itu. Dari peristiwa tersebut, banyak hikmah yang bisa diambil, salah satunya ketika Nabi Musa meminta Nabi Muhammad untuk memohon keringanan pada Allah terkait jumlah salat fardu. Melalui tulisan ini, saya akan menjelaskan hikmah apa yang dapat diambil dari permintaan Nabi Musa tersebut.

Dinukil dari tulisan Imam Ahmad bin Muhammad As-Showi, seorang ulama Al-Azhar Mesir sekaligus pakar tafsir, hadis, fiqih dan qiroat, melalui kitab berjudul Hasyiyah As-Showi Ala Al-Jalalain, Imam Ahmad menjelaskan bahwa tindakan Nabi Musa yang sering dimaknai sekedar permohonan “tawar-menawar” jumlah salat fardu untuk umat Nabi Muhammad bukanlah tanpa alasan.

Latar Belakang Sejarah Nabi Musa

Nabi Musa adalah seorang rasul bergelar Kalimullah yang juga termasuk dalam jajaran Ulul Azmi, yakni lima rasul berkedudukan tinggi di sisi Allah. Di antara rasul lain, selain Nabi Muhammad, Nabi Musa diberi keistimewaan Allah untuk dapat berbincang dengan-Nya di Bukit Turisina. Sebagaimana firman Allah dalam Surah An-Nisa’ ayat 164 yang artinya, “Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung,”.

Oleh karena mukjizat luar biasa ini, Nabi Musa yang sangat ingin mendengar kalimat dari Dzat yang sangat dicintainya itu harus mempersiapkan batin yang suci, salah satunya dengan berpuasa selama 40 hari berturut-turut. Hingga pada akhirnya, terjadilah momen luar biasa kala itu yang diabadikan dalam Al-Qur’an Surah Al-A’raf ayat 143.

Selayaknya kekasih, tidak hanya ingin berbincang, lebih lanjut, Nabi Musa juga ingin melihat Dzat-Nya secara langsung, sebagaimana yang diabadikan dalam Al-Qur’an, “Ya Tuhanku nampakkan (diri Engkau) agar aku dapat melihat-Mu,”. Namun permohonan itu dijawab oleh Allah, “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihatku. Tapi lihatlah ke gunung itu, jika ia tetap di tempatnya, niscaya kamu dapat melihat-Ku,”.

Sebagian ulama menafsirkan, kala itu hijab antara Dzat Allah dan Nabi Musa berjumlah 70.000 hijab. Namun, hanya satu dari keseluruhan hijab yang pada akhirnya dibuka oleh Allah dan “dipantulkan” pada sebuah gunung yang kokoh untuk menuruti permohonan Nabi Musa itu. Namun, dengan begitu saja, gunung tersebut luluh lantak dan Nabi Musa pun terjatuh hingga pingsan. Setelah sadar, Nabi Musa pun bertobat atas permohonannya tersebut serta menyucikan nama-Nya.

Hikmah Kala Bertemu Nabi Muhammad

Kegagalan Nabi Musa memandang dan mendapatkan “cahaya” Allah membuat keinginannya mendapatkannya di lain waktu semakin besar. Hal inilah yang kemudian menyebabkan Nabi Musa selalu menghadang Nabi Muhammad sesaat setelah menemui Allah dan mengajukan permohonan agar Nabi Muhammad kembali untuk meminta keringanan salat fardu kepada Allah.

Tindakan tersebut sebenarnya bukan hanya sekedar aktivitas “tawar-menawar”. Namun, melalui tindakan tersebut, sejatinya Nabi Musa ingin mendapat “cahaya” Allah yang gagal didapatkannya dahulu. Sebab, sesaat setelah menemui Allah, “cahaya” Allah membekas pada diri Nabi Muhammad dan dibawanya turun ke bumi. Berulang kali tindakan tersebut dilakukan Nabi Musa agar semakin banyak “cahaya” dan berkah yang didapatkannya.

Nilai Moral

Para Nabi merupakan orang-orang pilihan Allah. Oleh karenanya, segala tindakan yang dilakukan para Nabi selalu memiliki hikmah tertentu dan seringkali tidak serta-merta seperti yang dipikirkan manusia pada umumnya. Kisah Nabi Musa diatas membuka pikiran kita bahwa peristiwa tersebut sebenarnya bukan hanya sekedar peristiwa “tawar-menawar” jumlah salat fardu biasa, namun terdapat nilai moral di dalamnya.

Di antara moral tersebut adalah adanya kebolehan dan anjuran untuk mengambil berkah dari orang-orang yang saleh. Sebab, dalam diri orang saleh tersebut, tersimpan “cahaya” kebaikan yang selalu dibawanya dan akan menyinari batin orang-orang yang menginginkannya. Hingga pada akhirnya, “cahaya” kebaikan itulah yang dapat menghidupkan batin untuk menjadi hamba Allah yang beriman.

 

Ditulis oleh:
Akhmad Rizqi Shafrizal
Mahasiswa Departemen Teknik Sistem Perkapalan
Angkatan 2018
Reporter ITS Online

Berita Terkait