ITS News

Jumat, 26 April 2024
22 Oktober 2019, 14:10

Santri: Sang Aktor Handal Pengendali Peradaban (Opini Hari Santri Nasional)

Oleh : itsmad | | Source : ITS Online

 

Dua orang santri tampak sedang membaca kitab sembari berbagi canda tawa
Sumber : Instagram Santri Indonesia

Kampus ITS, Opini – Peran santri tidak luput dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Semangat juang yang tinggi untuk membela kebenaran menjadi senjata utamanya dalam berjuang. Tak lagi berhadapan dengan penjajah, kini tugas jihad santri sebetulnya masih sama besarnya. Pengaruh globalisasi yang semakin pesat menjadi musuh sekaligus senjata mereka dalam berjuang di zaman modern ini.

“Berotak London, berhati Masjidil Haram (Mekah)”

Begitulah salah satu jargon ciptaan K H Romly (almarhum), seorang kiai karismatik yang juga seorang mursyid (guru spiritual) Tarekat Qadiriyah wa An-Naqsyabandiyah. Jargon ini kiranya dapat membuka pandangan masyarakat tentang wajah seorang santri di era globalisasi. Stigma bahwa santri adalah kelompok orang-orang kolot yang tidak menerima perkembangan zaman, sudah waktunya dipatahkan.

Jargon ciptaan pendiri Universitas Darul Ulum (Unidar) ini mengandung penggambaran peran strategis santri di era globalisasi. Tak lagi berhadapan dengan penjajah, bukan berarti tantangan santri menjadi lebih mudah dan sederhana. Ideologi dan pemikiran santri yang sangat terbuka dengan referensi keilmuan, dibarengi karakter diri yang kokoh, menjadi kekuatan besar penguatan karakter bangsa di dunia global.  Tak hanya isu lokal, tren modernitas global kini telah menjadi ranah santri dalam merespon isu-isu masyarakat.

Hal ini sejalan dengan prinsip dasar kaum santri, yakni Al-muhafadhah ala al-qadim as-shalih wa al-akhdu bi al-jadidi al-ashlah yang bermakna memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik. Di kalangan pesantren dan ulama nusantara, prinsip inilah yang menjadi identitas diri untuk ikut serta membangun masyarakat bersama masyarakat itu sendiri. Melalui prinsip ini, seorang santri dididik untuk turut peka terhadap isu sekitarnya dan turut bekerja bersama isu tersebut. Hal inilah yang menjadikan santri sebagai agen terdepan dalam menentukan respon terkini melalui pendekatan agama yang moderat.

Berdasarkan artikel yang ditulis oleh Wasisto Raharjo Jati (2014) berjudul “Tinjauan Perspektif Intelegensia terhadap Genealogi Kelas Menengah Muslim di Indonesia”, di era globalisasi ini santri dapat melebarkan sayapnya melalui dua kecenderungan kelas yang tengah berkembang di masyarakat. Kelas inteligensi dan urban muslim, adalah dua kelas yang muncul sebagai buah dari transformasi islam sebagai pola hidup dan berpikir masyarakat modern. Hal ini sekaligus menjadi indikator bahwa era globalisasi membutuhkan peran agama di dalamnya, bukan malah meniadakan.

Pada kelas inteligensi, fungsi santri diperluas untuk dapat andil dan fokus membahas isu-isu masyarakat, terutama hal-hal yang berada di antara negara dan agama. Melalui kelas ini, santri berperan luas untuk menjadi aktor dalam pembentukan masyarakat ideal (madani). Tak lagi berkutat dengan keilmuan agama semata, santri juga menjadi jembatan antara agama dan birokrasi. Dengan begitu, suasana kehidupan sebuah bangsa yang kental akan nilai-nilai keislaman di dalamnya akan tercipta harmonisasi.

Berbeda dengan kelas inteligensi, urban muslim memandang bahwa agama sebagai fenomena yang berpengaruh terhadap gaya hidup. Tren bisnis, mode, serta budaya menginginkan tampilnya unsur-unsur keislaman yang tampak sederhana dan artifisial.  Bagi santri, kelas ini dapat menjadi batu loncatan untuk mendekati masyarakat secara lebih halus. Sebab, budaya dan gaya hidup merupakan pintu masuk utama nilai-nilai keislaman, seperti yang telah dicontohkan para Wali Songo dalam dakwahnya pada masyarakat nusantara.

Fakta-fakta ini membuktikan bahwa santri, melalui karakternya, merupakan unsur penting dalam menghadapi isu negatif globalisasi. Karakter egaliter dan demokratis santri dapat melawan otoritarianisme, sedangkan ketidakadlian sosial dan ekonomi dapat diatasi dengan karakter bersahaja dan tawaduk (rendah hati) santri. Begitu juga dengan kecurangan-kecurangan politis yang kerap terjadi, dapat diatasi dengan karakter jujur dan ikhlas santri. Sedangkan karakter moderat dan inklusif santri berperan untuk mengatasi konflik agama dan terorisme.

Penguatan karakter dan peran santri ini sangat dibutuhkan. Terlebih, berdasar riset Prof Revany Bustami PhD, Lektor Kepala Universiti Sains Malaysia (USM), di era revolusi industri 5.0 nanti, agama akan kembali berperan dalam memimpin sains. Re-spriritualisasi masyarakat menjadi tugas besar santri untuk mengarahkan perkembangan masyarakat modern. Secara tidak langsung, peradaban manusia sebenarnya turut bergantung kepada peran santri dalam merespon dan mengendalikan isu-isu global yang krusial.

 

Ditulis oleh:

Akhmad Rizqi Shafrizal

Mahasiswa Departemen Teknik Sistem Perkapalan

Angkatan 2018

Berita Terkait