ITS News

Jumat, 26 April 2024
04 November 2018, 07:11

Sikap Perguruan Tinggi pada Era Industri 4.0

Oleh : itsmis | | Source : -

Dr. Mas Agus Mardyanto

Opini, ITS News – Saat ini sudah masuk pada Era Industri 4.0, atau dikenal juga revolusi digital dan era disrupsi teknologi. Di segala sektor, isu perubahan pada Era Industri 4.0 banyak dibicarakan. Bahkan, dalam pagelaran Wayang Wong—Wayang Kulit dalam peringatan Dies Natalis ITS ke 58, lakon wayangpun berjudul Petruk Era 4.0, Varian Petruk Dadi Ratu, dimana pemain Wayang Wong tersebut adalah para anggota Dewan Profesor ITS dengan beberapa profesor dari PTN lain, misalkan dari IPB-Bogor, USU-Medan, dan UPI-Bandung, juga dikaitkan dengan era ini. Hal ini menggambarkan, betapa Era Industri 4.0 bukan hal yang bisa dipandang sebelah mata, namun harus disikapi dengan bijak dan cerdas oleh semua kalangan, khususnya perguruan tinggi, agar tidak tergilas oleh arus perubahan yang begitu dahsyat.

Definisi Era Industri dimulai dari sejarah revolusi industri yang dijelaskan oleh Lee et al (2013), Herman et al (2016) dan Irianto (2017) dalam Yahya (2018). Angka 1.0, 2.0, 3.0, dan saat ini 4.0, merupakan penanda awal perubahan yang terjadi sepanjang masa industrialisasi diperkenalkan. Era revolusi industri merupakan vase perubahan nyata yang terjadi di dunia industri yang tidak mengenal batas wilayah. Era industri 1.0 adalah era dimana diperkenalkannya mekanisasi dalam dunia industri sehingga aktivitas manusia menjadi lebih efektif dan efisien. Era ini dilanjutkan dengan Era Industri 2.0 dimana pada saat itu dimulai diperkenalkannya produksi masal dan diterapkannya standardisasi mutu. Pengenalan proses industri berbasis otomasi dan robot merupakan pananda dimulainya Era industri 3.0. Pada saat ini, dikenal dengan era industri 4.0, merupakan masa dimana penggunaan cyber yang dikolaborasi dengan manufaktur banyak diterapkan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan volume data, kekuatan komputasi dan konektivitas, munculnya analisis, kemampuan, dan kecerdasan bisnis; terjadinya bentuk interaksi baru antara manusia dengan mesin; dan perbaikan instruksi transfer digital ke dunia fisik, seperti robotika dan 3D printing.

Saat ini di Indonesia, era industri 4.0 sudah diterapkan dan sangat terasa pengaruhnya di masyarakat. Segala macam kegiatan sudah dinyatakan dalam bentuk digitalisasi. Tengok saja di bidang transportasi, muncul bisnis berbasis Internet, yaitu dengan munculnya perusahaan Grab dan Gojek. Transaksi keuangan berbasis digital sudah merupakan hal umum dilakukan, dimana kostumer tidak perlu antre lagi di depan kasir sebuah bank, namun cukup meng-click ponselnya dimanapun dan kapanpun, maka transaksi langsung dieksekusi. Orang berbelanja barang, makanan, atau keperluan lainnya cukup pula meng-click ponselnya. Pembayaran biaya jalan toll cukup dengan kartu elektronik, tanpa perlu operator. Bahkan, di beberapa gerbang toll, pembayaran terjadi secara otomatis begitu mobil melewati sensor di gerbang toll, tanpa perlu si pengemudi menempelkan kartu elektroniknya ke alat pembaca kartu. Dampaknya, banya toko tradisional, dimana pedagang dan konsumen bertemu untuk melakukan transaksi secara langsung mulai sepi/ pengunjungnya berkurang. Taksi tradisional tergerus oleh taksi on-line. Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) M. Hanif Dhakiri, seperti diberitakan dalam Liputan6.com, Kamis (28/6/2018), menyatakan bahwa beberapa jenis pekerjaan, seperti penjaga gerbang toll, kasir, penjaga toko, pekerja pabrik industri, manajer administrasi, mekanis, tukang cetak, pengantar surat, sopir, petugas ekspedisi, pekerja pabrik, operator, mesin jahit, perangkat komunikasi dan radio, resepsionis, tukang kayu, disain tiga dimensi, pengolah semikonduktor, travel agents, juru masak fast-food dan operator mesin, ahli las, staf akuntan, operator mesin, sopir truk dan ahli mesin dan masih banyak lagi jenis pekerjaan, mulai berkurang. Beberapa jenis pekerjaan baru muncul atau makin banyak diperlukan diantaranya programer komputer, operator komputer, analis koding, operator peralatan otomatis, pengemudi taxi dan motor on-line, analis keamanan komputer, trainer, perawat, manajer keuangan, pengacara, agen penjualan, analis, terapis fisiologis, penasihat keuangan, SDM, perawat, dokter, programer dan layanan berita reguler, dan lain lain. Sementara itu beberapa pekerjaan yang diperkirakan akan tumbuh antara lain pekerjaan terkait pemeliharaan dan instalasi, mediasi, medis, analis data, manajer sistem informasi, konselor vokasi, analis dampak lingkungan, perancang, pemrograman kecerdasan buatan, perancang dan pengendali mesin otomasi, perancang sofware dan game online.

Beberapa tantangan pada era industri 4.0 diidentifikasi sebagai berikut; 1) peningkatan keamanan teknologi informasi; 2) peningkatan keandalan dan stabilitas mesin produksi; 3) peningkatan keterampilan; 4) keengganan para pemangku kepentingan untuk berubah; dan 5) hilangnya banyak pekerjaan karena adanya otomatisasi (Sung, 2017, dalam Yahya, 2018). Oleh karenanya untuk menjawab tantangan tersebut, khususnya perguruan tinggi, harus pula berubah. Semua pemangku kepentingan di perguruan tinggi harus mau berubah. Dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa harus berubah. Semua pihak harus berupaya meningkatkan kompetensi diri, terus belajar, dan menyesuaikan dengan kebutuhan era ini.

Pimpinan perguruan tinggi berkewajiban memberikan fasilitas yang dibutuhan untuk keperluan peningkatan kompetensi ini. Fasilitas fisik berupa peralatan canggih di laboratorium dan workshop harus diadakan, sementara fasilitas non fisik berupa pelatihan dan sertifikasi diupayakan bisa diselenggarakan baik secara mandiri maupun bekerjasama dengan pihak lain.

Pimpinan  perguruan tinggi harus pula memberikan jaminan bahwa lulusannya dapat terserap pasar kerja dengan waktu tunggu yang singkat. Survey kebutuhan pasar harus secara rutin dilakukan sehingga bisa digunakan sebagai data awal dalam menyusun kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan pasar tersebut. Para dosen juga dituntut untuk terus mengikuti perkembangan teknologi dan pasar kerja sehingga materi pengajaran maupun metode pengajarannya selalu menyesuaikan dengan kebutuhan pasar tersebut.

Response pemerintah Indonesia terhadap era Industri 4.0 adalah dengan merancang peta jalan (road map) berjudul Making Indonesia 4.0 yang merupakan strategi Indonesia menghadapi era digital saat ini. Presiden Joko Widodo dalam acara pembukaan Indonesia Industrial Summit 2018 di Jakarta Convention Center (JCC) pada April 2018 menyatakan bahwa dalam rangka Revolusi Industri 4.0 lima jenis industri utama dikelompokkan dan difokuskan untuk keperluan tersebut. Kelima jenis industri tersebut adalah industri makanan dan minuman, tekstil, otomotif, elektronik, dan kimia. Pada era ini, industri kreatif merupakan salah satu industri unggulan yang mampu ditonjolkan dalam era ini. Industri kretatif sangat kompetitif dan inovatif sehingga mudah menyesuaikan dengan kebutuhan pasar saat ini.

Perkembangan kebutuhan pasar yang cepat harus diantisipasi perguruan tinggi dengan penyesuaian kurikulum. Jika dalam keadaan normal, kurikulum ditinjau dan diperbaharui setiap 5 tahun, namun di era ini waktu evaluasi perlu dipersingkat, misalkan setiap 2—3 tahun. Dengan demikian, kurikulum selalu mampu beradaptasi dengan kebutuhan pasar. Selain itu metode pembelajaran juga perlu disesuaikan. Pada era ini, para mahasiswanyapun merupakan mahasiswa yang biasa disebut sebagai Generasi Z, yang sangat beda dengan sikap dan kebiasaan generasi para dosennya. Pembelajaran cara digital, daring, dan melalui perangkat komputer perlu makin banyak disiapkan. Mahasiswa harus dapat akses kepada pelajaran tanpa kenal batas waktu dan tempat. Untuk mendapatkan kemampuan keahliannya, kegiatan praktek di laboratorium maupun workshop tetap harus diberikan. Pembaharuan peralatan laboratorium dan peralatan praktek lainnya harus pula disesuaikan dengan kebutuhan industri mekanik dan digitalisasi saat ini. Pendidikan vokasi harus lebih diperhatikan dan dikembangkan. Skill lulusan pendidikan vokasi harus prima dan mereka siap mengoperasikan peralatan industri mekanik dan digital canggih.

Namun demikian, generasi Z sudah sangat gadget—minded. Mereka menjadi sangat indivudualistis dan kurang bergaul dengan lingkungan dan teman-temannya karena kasyikannya dengan gadgetnya. Oleh karena itu, menjadikan generasi milenial ini menjadi bagian masyarakat sosial yang majemuk merupakan tantangan bagi perguruan tinggi. Pendidikan keagamaan dan kebangsaan harus tetap diberikan dan pembelajarannya dilakukan secara langsung dalam bentuk interaktif, bukan dalam bentuk daring.

Selain itu, faktanya, era industri 4.0 ini belum bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang bekerja pada sektor informal, bahkan mungkin, malah membunuh bisnis masyarakat kecil. Sebut saja penjual makanan/ warung. Warung tanpa nama yang sangat banyak bertebaran belum bisa menikmati pesanan makan via on-line. Toko barang kelontong mengalami hal sama, terutama karena pedagang on-line seperti misalkan Bli-Bli, sudah mulai menjual kebutuhan pokok seperti beras, gula, minyak goreng, dan lain-lain dengan tawaran menggiurkan, harga murah dan barang belanjaan diantar sampai ke rumah. Hal ini makin mematikan bisnis masyarakat kecil, yang saat inipun sudah sulit untuk bertahan dengan masuknya mini market ke kampung-kampung.

Oleh karenanya, perlu perlindungan hukum agar kesejahteraan masyarakat kecil terjaga bahkan seharusnya ditingkatkan. Perlindungan hukum berupa peraturan merupakan tugas pemerintah. Perguruan tinggi berperan untuk mengusulkan dan memonitor serta mengawal pengajuan pembuatan peraturan sampai ikut memonitor pelaksanaan di lapangan. Perguruan tinggi mempunyai peran menjaga keadilan dan keberpihakan pada masyarakat kecil.

Dr. Mas Agus Mardianto

Bakal Calon Rektor ITS 2019-2024

Berita Terkait