ITS News

Jumat, 26 April 2024
13 Desember 2017, 19:12

Dosen ITS Ikuti Program SAME BIPA di India

Oleh : choirul | | Source : -

Program Direktorat Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) lewat Program Scheme for Academic Mobility and Exchange Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (SAME BIPA) sudah enam tahun terakhir ini memberangkat dosen-dosen ke luar negeri untuk mengajar bahasa, seni, dan budaya Indonesia di perguruan tinggi mitra atau KBRI. Oleh karenanya mengajar Bahasa Indonesia bagi penutur asing adalah hal biasa, sehingga sudah banyak dosen yang telah mengikuti program ini sebagai misi kebangsaan untuk memperkuat program internasionalisasi Bahasa Indonesia dan diharapkan adanya bentuk kerja sama resiprokal antar kedua negara.

Namun tidak bagi Dr. Kartika Nuswantara,M.Pd., perempuan berkaca mata dosen Bahasa Inggris Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), perjalanannya ke negeri Bollywood, India ketika lolos seleksi sebagai pengajar Bahasa Indonesia melalui Program SAME BIPA 2016/2017 saat itu adalah hal yang sangat istimewa dan membanggakan. Betapa tidak, Kartika, sapaan akrabnya, sempat shock karena visanya tidak dapat diterbitkan padahal sudah lolos wawancara dengan pejabat India langsung. Pada saat wawancara itupun memerlukan waktu cukup lama, hanya untuk menyakinkan orang India atas kedatangan dan tujuannya ke India. Hal lain yang sangat membanggakan ketika sampai di India disambut dengan hangat oleh Bapak Sidharto Reza Suryodipuro, Dubes RI untuk India dan “dipasrahi” Prof. Iwan Pranoto, Atdikbud, untuk mengekspansi atau mengembangkan budaya dan Bahasa Indonesia ke wilayah baru yang belum terjamah budaya dan Bahasa Indonesia yaitu ke India bagian timur, tepatnya ke negara bagian Odisha kota Bhubaneswar. Kota Bhubaneswar dikenal sebagai kota seribu temple (candi), ini menandai kentalnya kehidupan umat Hindu di kota ini dengan jumlah umat Hindu sekitar 95%. Kota kecil di pelosok India, sangat jauh dari New Delhi yaitu berjarak tempuh sekitar 2,5 jam melalui jalur udara.

Menurut perempuan yang turut membidani berdirinya Afiliasi Pengajar dan Pegiat Bahasa Indinesia bagi Penutur Asing Jawa Timur (APPBIPA JATIM), ini adalah pengalaman langka yang jarang didapatkan teman-teman pengajar dan pegiat BIPA, karena harus mengenalkan, mengajarkan, dan mengembangkan Bahasa dan Budaya Indonesia pada anak-anak suku asli India dari wilayah-wilayah terluar terjauh. Baginya, mengenal India melalui kota Bhubaneswar, Odisha adalah pengalaman yang tidak akan mudah terlupakan. Odisha atau yang juga dikenal dengan Orissa terletak di bagian timur India, merupakan salah satu negara bagian yang memiliki kekhasan historis sebagai pusat berkembangnya agama Hindu di India. Odisha merupakan negara bagian dengan jumlah suku asli (Tribal, demikian India menyebutnya) terbesar di India. Pada sensus penduduk India tahun 2001, India masih memiliki sekitar 8 % suku asli (tribal) dan Odisha merupakan negara bagian dengan jumlah suku asli terbesar yang mencapai hingga 23% dari jumlah total penduduk India. Hal ini menyebabkan Odisha masih memiliki budaya dan tradisi yang berakar kuat pada wilayah-wilayah suku asli.

Berbeda dengan kunjungan Dalai Lama, tokoh spiritual bangsa Tibet, pada pertengahan bulan Nopember lalu sebagai undangan dari kampus Kalinga Institute of Social Sciences (KISS) yang hanya berlangsung tidak lebih dari dua jam dan para siswa hanya diam disiplin mendengarkan pidatonya. Namun, lawatan Kartika kali ini ke Odisha atau Bhubaneswar tepatnya adalah mengemban misi kebangsaan yaitu berdiplomasi melalui budaya dan Bahasa Indonesia kepada anak-anak tribal di Kampus KISS. Dia diberi kepercayaan untuk mengelola kelas siswa SD sampai kelas mahasiswa S2. Sesuatu yang tidak pernah dibayangkan dan tidak terlintas di benaknya sebelumnya, ketika penempatan tugasnya untuk mengajar anak-anak tribal yang 100% umat Hindu. Pada awal memulai tugasnya, Kartika menuturkan sangat sulit untuk menjalankan ibadah sholatnya. Seringkali harus geser- geser waktu sedikit untuk menjalankan sholat. Sholatnya bisa di mana saja, yang sering sholatnya di pojokan ruang itupun setelah minta ijin sesama teman pengajar orang India. Walaupun begitu, ketika di India masih bisa sholat Idul Qurban tetapi makannya daging kerbau, imbuhnya.

Kartika mendapat tugas yang sangat mulia yaitu mengenalkan, mengajarkan, dan mengembangkan Budaya dan Bahasa Indonesia di institusi pendidikan yang mengkhususkan bagi anak-anak termiskin/kaum papa dari suku asli (tribal) di institusi yang menjadi masterpiece kota Bhubaneswar. Dia berkesempatan bertemu dan berkenalan dengan tokoh besar di negara bagian ini, seorang ilmuwan yang dermawan, sederhana, dan rendah hati, Prof. Achyuta Samanta, Ia berasal dari Desa Kalarabanka, salah satu tempat tinggal suku termiskin di negara bagian itu. Samanta yatim sejak berumur empat tahun. Melalui perjalanan hidup yang sangat sulit, tanpa ada seorang pun saudaranya yang menyertainya dan memperdulikannya. Samanta menjadi seorang penolong kaum papa/miskin dan pembebas dari ketertindasan kasta, ekonomi, pendidikan, sosial dan politik. Meskipun, pejabat-pejabat KIIT dan KISS bekerja di ruangan ber-AC, mobil mewah, dan berdasi. Samanta tetap menjadi sosok yang sederhana dalam bertutur kata, kerelaan berkorban, dan berprilaku menjauhi keduniawian, seorang asketis Hindu sejati. Sosok yang humanis pendiri institusi pendidikan residensial kelas dunia bagi 27.000 siswa berasal dari 26 suku asli Odisha dan sekitarnya.

Prof. Samanta, biasa dipanggil, mengajar di beberapa sekolah dan perguruan tinggi tetapi seluruh pendapatannya dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup dan pendidikan siswanya kala itu. Kegigihannya yang disertai ketulusan berjuang bagi kaum papa, sekarang telah memiliki 22 kampus dengan berbagai disiplin ilmu dan merupakan institusi dengan reputasi internasional. Pemondokan dan pendidikan gratis diberikan mulai dari pendidikan dasar hingga program Doktoral bagi 27.000 siswanya yang semua berasal dari suku asli, yang hidup di bawah garis kemiskinan/kaum papa. Sisi lain yang terpenting yaitu salah satu sumber pendanaan pendidikan serta untuk mencukupi kebutuhan hidup seluruh siswa KISS, maka didirikanlah KIIT sebagai perguruan tinggi berbayar bagi mahasiswa kaya dengan status perguruan tinggi bereputasi internasional. Walaupun KISS didirikan untuk anak-anak tribal yang miskin, tetapi fasilitas dan infrastruktur institusi pendidikan ini tidak kalah dengan institusi lain yang berbayar.

Kesempatan lain yang tak kalah membanggakan yaitu ketika kartika berkesempatan memberikan pengenalan umum di hadapan 27.000 siswa SD sampai mahasiswa Pasca Sarjana miskin yang berdisplin tinggi. Dia mempresentasikan hal-hal yang berkaitan dengan bahasa dan budaya bangsa Indonesia, serta menceritakan secara historis keterdekatan negara Indonesia dan India. Pada kegiatan yang lain, dia gunakan untuk mempromosikan dan memperkenalkan program Darma Siswa dan Bea Siswa KNB bagi siswa-siswa tribal. Dari pertemuan dengan mahasiswa KISS tersebut, mereka sangat antusias untuk mengikuti program yang diadakan oleh pemerintah Indonesia. (K)

Berita Terkait