ITS News

Sabtu, 04 Mei 2024
16 Maret 2010, 07:03

Lulusan Sarjana: Job seeker, Job Creator, atau Nganggur?

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Bagi setiap jurusan, acara wisuda selalu menjadi suguhan manis. Semua bekerja keras demi memberikan apresiasi yang terbaik bagi lulusannya. Mulai dari konvoi, penyambutan, hingga penampilan yang atraktif, seperti band, puisi, dan hiburan lainnya. Tentunya, momen ini bakal menjadi dukungan bagi para wisudawan untuk tergerak mengoptimalkan ilmu yang diperoleh melalui kontribusi nyata bagi bangsa.

Momen luapan bahagia ini tiba-tiba mengingatkan saya pada penyataan seorang Danang A. Prabowo sang pembuat jejak 100 mimpi ketika menjadi pembicara National Achievment and Motivation Training (NAMT) sebulan lalu. Ia mengungkap pernah bertanya pada seorang senior yang akan diwisuda keesokan harinya.

“Mas, setelah wisuda, apa yang mau dilakukan?” Dengan senyum tipis, orang yang ditanya pun hanya menjawab,”Bingung…,” Jawaban yang benar-benar tidak memuaskan penanya. Kalau sarjana itu masih diliputi kebingungan dengan masa depannya, bagaimana hasil konkrit menempuh studinya? Berbeda dengan Danang, saat ia diwisuda dan ditodong pertanyaan serupa, ia menjawabnya dengan bangga. “Wah..saya masih bingung. Bingung karena banyak perusahaan yang ingin merekrut saya,” Serunya saat itu.

Pernah saya bertanya juga pada Aris Purijatmiko, mahasiswa Teknik Kimia yang telah diwisuda. “Mas mau lanjut kemana setelah lulus?” Dengan tegas ia menggambarkan program hidupnya setelah lulus. “Mau cari kerja Dek. Sambil menunggu panggilan, saya mau lanjut kuliah D1 di Pendidikan Informasi dan Komputer Terapan (PIKTI) ITS. Tapi saya juga ingin berwirausaha di bidang Teknologi Informasi,” gambaran yang cukup jelas.

Setidaknya, seorang sarjana tidak terhenti berusaha mencapai pilihannya menjadi job seeker. Sebab, ketika perjuangannya keluar-masuk perusahaan demi sebuah pekerjaan tak tercapai, mereka akan pasrah dan menjadi seorang pengangguran.

Sarjana kok menganggur?!
Istilah mengganggur bukan pilihan yang semestinya disandang seorang sarjana. Apalagi mereka telah memperoleh banyak hal selama kuliah dalam kurun waktu empat tahun, normalnya. Selain ilmu sesuai disiplin ilmunya, mereka telah diberi pengalaman, pelatihan hard skill dan soft skill, serta mental untuk berpacu di tengah turbulensi global yang notabene membutuhkan lulusan kompeten.

Menurut data BPS, 85,75 persen atau sekitar 3,77 juta jiwa orang yang berpendidikan sarjana pada Februari 2008 terserap dalam lapangan pekerjaan, sementara 14,25 persen lainnya menjadi penganggur terbuka. Sedangkan, pada Agustus 2009 jumlah penganggur terbuka dari kalangan sarjana kembali meningkat menjadi 13,08 persen. Hanya sekitar 86, 93 persen atau 4,66 juta sarjana yang mengisi berbagai lapangan pekerjaan.

Hal tersebut tampak kontras bila dibanding dengan lulusan sekolah menengah kejuruan yang menjadi penganggur terbuka pada Agustus 2009 hanya mencapai 14,59 persen atau turun dibandingkan dengan Agustus 2008 yang mencapai 17,26 persen. Sedangkan penganggur yang lulus sekolah dasar (SD) pada Agustus 2009 mencapai 3,78 persen atau turun dibanding Agustus tahun lalu yang 4,57 persen.

Pertanyaannya, mengapa justru lebih banyak pengangguran dari sarjana? Padahal kita semua tahu, 4 tahun bukan waktu yang singkat untuk menggembleng mahasiswa menjadi lulusan yang berdaya saing global.

Kebanyakan, setelah lulus kuliah, mahasiswa digadang-gadang orang tuanya untuk segera mencari kerja demi membiayai studi adiknya. Kasus seperti ini memang sering terjadi pada mahasiswa yang menjadi tulang punggung keluarganya. Berbeda dengan lulusan yang memiliki relasi kekeluargaan dengan pemilik perusahaan ternama. Mendapat jabatan yang lumayan tinggi bukan hal yang sulit.

Tak dipungkiri, sampai saat ini nepotisme masih sering terjadi dalam hal pekerjaan. Tapi
saya yakin tak semua mahasiswa rela mendompleng kesuksesan orang lain termasuk keluarganya sendiri. Contohnya saja, mahasiswa ITS. Disini, semua mahasiswa melebur menjadi satu, saling membantu mencarikan kerja bagi orang yang punya jaringan luas, serta ada yang bersama-sama membuang jauh-jauh statement job seeker dengan membuat usaha bersama.

Entrepreneurship = Solusi Pengangguran
Tingginya jumlah pengangguran di kalangan terdidik kemungkinan besar disebabkan rendahnya keterampilan di luar kompetensi utama sebagai seorang sarjana. Padahal, untuk menjadi lulusan yang siap kerja, keterampilan di luar bidang akademik, terutama yang berhubungan dengan entrepreneurship (kewirausahawan) sangat dibutuhkan.

Menurut data statistik, jumlah entrepreneur di Indonesia sangat minim. Pada 2007, baru tercatat 0,18 persen atau 400.000 dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 230 juta. Sebagai pembanding, jumlah entrepreneur di Amerika Serikat mencapai 2,14 persen pada 1983. Bahkan di Singapura, berdasarkan laporan Global Entrepreneurship Moneter (2005), pada 2001 mencapai jumlah entrepreneur 2,1 persen dan menjadi 7,2 persen pada 2005.

Bandingkan dengan Indonesia, yang pada 2006 baru mencapai 0,18 persen atau hanya memiliki 400.000 entrepreneur dari jumlah penduduk 220 juta. Jika mengacu pada jumlah ideal 2 persen saja, seharusnya jumlah wirausahawan di Indonesia mencapai 4,4 juta orang. Untuk menjadi negara yang dianggap makmur, Indonesia perlu meningkatkan jumlah entrepreneur menjadi 1,1 persen atau menjadi 4,4 juta entrepreneur.

Kenyataannya, hampir seluruh perguruan tinggi di Indonesia sedang gencar-gencarnya memfasilitasi berbagai bentuk pelatihan entrepreneurship. Kini, tak hanya riset teknologi yang menjadi sorotan utama melainkan pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas sebagai pengimbang pesatnya perkembangan teknologi.

Tak salah, jika ITS menjadikan mata kuliah technopreneurship sebagai mata kuliah wajib. Bahkan, model kuliahnya tidak sekedar teori tanap aplikatif. Mahasiswa yang mendapat kuliah ini sudah dipersiapkan sejak awal untuk membuat rencana bisnis dengan perhitungan daya tarik pasar.

Ingin menjadi apapun setelah lulus memang suatu pilihan bagi seorang sarjana. Tapi, alangkah baiknya jika pilihan itu selalu disertai semangat juang untuk menghasilkan yang terbaik.

Eka Setyowati
Mahasiswa Teknik Kimia angkatan 2009
 

Berita Terkait