ITS News

Rabu, 22 Mei 2024
10 September 2008, 21:09

Ir Gamantyo Hendrantoro MEng Phd, Usia 37 Tahun Jadi Guru Besar

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

RUMAH Nomor 15 Blok U Kompleks Perumahan Dosen ITS itu tampak berbeda dari rumah-rumah sekelilingnya. Modelnya minimalis dengan cat pink. Itulah rumah Gamantyo Hendrantoro.

Sebuah lemari penuh buku mendominasi ruang tamu. Gamantyo duduk di sisi kiri sofa, mengenakan kemeja cokelat muda. Wajahnya pucat. Sesekali keringat dingin mengalir di dahinya.

”Saya Senin kemarin drop, kecapekan, terpaksa pergi ke UGD dan tidak bisa memberikan orasi ilmiah,” katanya lantas tersenyum. ”Tapi, dalam pengukuhan besok (hari ini, Red) saya akan datang,” lanjut calon guru besar itu.

Mengurus berbagai hal terkait pengukuhannya itulah yang membuat Gamantyo kelelahan. ”Maklum, acara seperti ini ngurusnya sama repotnya dengan mantu,” katanya.

Dia menganggap biasa saja keberhasilannya menjadi guru besar di usia muda. ”Waktu kecil saya tak pernah bercita-cita menjadi guru besar. Saya hanya pingin jadi insinyur yang pandai memasak,” sambungnya.

Tambahan keinginan pandai memasak karena dia melihat salah seorang teman ibunya yang tinggal sendiri dan harus memasak sendiri. Cita-cita jadi insinyur sudah tercapai. Memasak? ”Meski tidak terlalu ahli, kalau sekadar masak biasa saja saya bisa,” ujarnya.

Pengukuhan hari ini, diakuinya, tak terlepas dari kerja keras sang istri, Endang Widjiati. Sebagai ilmuwan, Gamantyo terlalu sibuk melakukan penelitian sehingga hampir-hampir tak sempat mengurusi pengangkatannya sebagai guru besar. ”Istri sayalah yang mengurus semuanya,” ungkapnya. Cara itu dinilai sangat efektif sehingga perlu ditularkan kepada teman-temannya. ”Kalau mau cepat memang harus diuruskan. Biasanya profesor-profesor itu lama diangkat karena tidak sempat ngurus,” kata pria murah senyum itu.

Menjadi guru besar bukanlah tujuan akhir Gamantyo. ”Justru ini batu pijakan untuk mengabdi lebih baik lagi,” katanya. Sebab, dosen itu punya tiga pekerjaan, mengajar, meneliti, dan melakukan pengabdian masyarakat. ”Mumpung masih muda, kita masih punya banyak waktu dan ide untuk melakukan ketiganya sehingga bisa meraih gelar dengan cepat,” ungkapnya.

Pria kelahiran Jombang itu memang sosok dosen tulen. Hidupnya seakan tak pernah lepas dari buku dan belajar. Yang baru mengenalnya, tak akan mengira bahwa dia penggemar lagu-lagu rock eksperimental.

Koleksinya penuh dengan lagu-lagu jenis itu. Termasuk, koleksi lagu gamelan eksperimental. Salah satu komposer eksperimental favoritnya adalah Wayan Sadre dari Solo.

Tak sebatas koleksi, dia bahkan ikut dalam komunitas progressive rock dan menjadi anggota Indonesia Progressive Society (IPS). Gamantyo juga pernah menjadi panitia dalam acara progressive rock yang diadakan mahasiswa ITS.

Begitu cintanya dengan hal-hal yang berbau progresif dan eksperimental, guru besar ini punya sebuah milis tentang rock progresif. Alamatnya, prog-rock@yahoogroup.com.

”Kalau tidak ada halangan, saya mau memutar salah satu koleksi gamelan eksperimental di acara pengukuhan,” katanya sambil menunjukkan salah satu koleksinya.

Gamelan eksperimental yang ingin diputar nanti dimainkan Jaduk Ferianto, Sapto Raharjo, dan Robert Macht. Gamantyo mengaku menyukai segala hal yang berbau eksperimental karena mampu memberinya inspirasi. ”Lagi pula para komposer tersebut sangat kreatif,” katanya.

Gamantyo berhasil menggapai guru besar di usia muda karena hampir selalu masuk kelas percepatan. Pendidikan formalnya dimulai di TK Pertiwi Surabaya pada 1976. Pria kelahiran Jombang 11 Nopember 1970 itu hanya satu tahun duduk di bangku TK.

Dia kemudian masuk SD PPSP IKIP pada 1977. Di SD ini dia selalu juara di kelasnya. Di bangku SMP dan SMA, Gamantyo mengikuti kelas percepatan. Masing-masing jenjang dia tempuh dalam 2,5 tahun. ”Jadi total saya hanya menempuh lima tahun untuk menyelesaikan SMP dan SMA,” terangnya.

Lulus SMA, dia mendaftar di Teknik Elektro ITS lewat jalur PMDK. Dia belajar di kampus itu sejak 1987 sampai 1992. Pada tahun terakhir, dia mendapat beasiswa STAID dari PT PAL. Beasiswa itu membiayai satu tahun terakhir kuliahnya. Syaratnya, jika lulus dia harus bekerja di PT PAL.

”Saya tidak ingin bekerja di sana, jadi ya saya kembalikan (beasiswanya, Red.). Saya lebih memilih menjadi dosen di ITS,” ujarnya.

Begitu lulus, putra ketiga pasangan (alm) Djoko Moesono dan Sri Retnaningdyah itu memang langsung diterima sebagai dosen di jurusan elektro. Salah satu faktor dia diterima sebagai dosen karena IPK-nya yang terbilang tinggi, 3,56.

Setelah bekerja tiga tahun, dia mendapat beasiswa Asian Development Bank (ADB) untuk melanjutkan S-2 di Kanada. ”Saya mengambil Master of Engineering in Electrical Engineering, Carleton University,” ujar Gamantyo.

Pria berperawakan kalem itu menyelesaikan studi dua tahun. Setelah lulus S-2 dia sempat pulang ke Indonesia untuk melihat keluarga. Saat itu ayahnya mulai sakit-sakitan. Setelah ayahnya meninggal, Gamantyo kembali meneruskan kuliah.

Dia mendapat beasiswa yang sama dan kuliah di tempat yang sama. Program doktornya ini dia selesaikan pada 2001. ”Namun, saat itu saya tidak langsung pulang. Saya tinggal setahun lebih lama sebagai peneliti postdoctoral,” tuturnya.

Di tahun itulah Gamantyo berkenalan dengan Endang Widjiati, istrinya sekarang. Saat itu di waktu-waktu senggang dia selalu chatting dengan orang-orang dari Indonesia. Salah satunya Endang yang juga sedang kuliah di Australia.

Karena mendalami bidang serupa, elektro, keduanya merasa cocok. Pertemuan pertama terjadi di Jakarta ketika dia pulang dari Kanada. ”Saat itu dia menjemput saya di bandara,” ungkapnya, tersipu.

Mereka menikah pada 20 Juli 2003. Gamantyo memboyong istrinya ke Surabaya. ”Sebenarnya dia bekerja di Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT) di Jakarta, tapi minta mutasi ke BPPT di Surabaya, tepatnya ya di ITS sini,” katanya.

Gamantyo tak hanya cepat menyelesaikan studi. Dia juga punya segudang prestasi. Antara lain, mendapatkan R.F. Chinnick Scholarship Award, di Telesat Kanada pada 2000. Setahun kemudian dia meraih Post-Graduate Award for Research Excellence dari Canadian Institute for Telecommunications Research (CITR).

Dia juga meraih Young Scientist Award dari International Union of Radio Science (URSI) pada 2005. Pada tahun yang sama dia meraih gelar Dosen Berprestasi Terbaik III Tingkat Nasional dari Depdiknas. (cfu)

Berita Terkait