ITS News

Senin, 29 April 2024
25 Mei 2008, 10:05

Kritisi Kebijakan Tata Ruang Lewat KPKM

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Ditemui ITS Online di Himpunan Mahasiswa PWK (Perencanaan Wilayah dan Kota) ITS, tiga mahasiswa yang juga aktif sebagai pengurus oraganisasi itu mengatakan bahwa mereka mengkritisi Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996. Dalam karya tulisnya membahas konsep pasrtsipasi masyarakat dalam penataan ruang di Surabaya.

“Dalam pasal ini masyarakat hanya berhak melakukan konsultasi bila mereka menganggap ada kesalahan pada penataan kota,” ungkap Oka. Alumni SMA 5 Surabaya ini pun menambahkan bahwa hal ini sangat menyulitkan bagi masyarakat karena aspirasi mereka akan terbentur oleh rumitnya birokrasi.

Selain itu, dalam konsep penataan ruang rakyat kadang tak tahu bahwa daerah tersebut bukan daerah pembangunan. Hal inilah yang mereka kritisi. ”Konsep tata ruang pemerintah sering terjadi penyimpangan karena masyarakat tidak ikut berperan dalam penentuan kebijakan, kebijakan hanya bersifat top down, dibuat dan diputuskan sendiri oleh pemerintah,” jelas Oka.

Salah satu penyimpangannya adalah tentang tata ruang daerah pantai timur Surabaya. Dulu daerah ini begitu hijau dengan zonasi mangrove,namun kini perumahan telah berjajar dengan perumahan.”Hal itu adalah salah satu bentuk penyimpangan yang kami angkat, masyarakat tidak tahu jika seharusnya daerah itu bukan daerah pemukiman,” ungkap Oka.

Untuk itu perlu dicari sebuah solusi agar masyarakat juga dapat berperan dalam pengambilan keputusan tanpa terkendala oleh rumitnya birokrasi. “Dan solusi yang kami tawarkan adalah Konsep Machizukuri,” ungkap Arif Syaifudin. Konsep ini adalah konsep yang diterapkan di daerah Jepang, yaitu Kota Kobe.

“Dulu Kobe juga seperti kota di Indonesia, masih semerawut. Namun setelah terjadinya bencana gempa maka perencanaan tata ruang berganti dengan mengguanakan pola ini, hal ini juga karena partisipasi dari masyarakat Jepang,” tutur Arif.

Dalam Konsep Machizukuri, peran serta masyarakat tak hanya sekedar peran konsultatif saja seperti dalam PP 69 tahun 1996. ”Pemerintah di sini hanya sebagai fasilitator saja, sedangkan masyarakat juga berhak menentukan kebijakan,” jelas Oka.

Selain itu konsep ini juga memiliki tiga pilar penopang. Ketiga pilar tersebut adalah pilar sosial, ekonomi, dan lingkungan. “Jadi prinsip perencanaan penataan ruang tak hanya penataan spasial saja tapi juga dilihat dari faktor sosial, ekonomi dan lingkungan,” tambah Asih.

Dengan dibentuknya ketiga pilar ini dapat membuat masyarakat semakin lebih berpartisipasi dalam penataan ruang. Oleh karena itu untuk mewujudkan tiga pilar tersebut maka Jepang pun melakukan pengembangan pada masyarakatnya.
Pengembangan itu bisa berupa penyampaian informasi dan melakukan pendidikan langsung. ”Kedua hal inilah yang disebut sebagai Hard Program dan Soft Program,” ungkap Oka.

Dengan Prestasi yang ditorehkan oleh tiga mahasiswa ini membuktikan bahwa mahasiswa ITS tak hanya kritis dengan berdemonstrasi atau melakukan aksi. Namun juga mampu kritis lewat karya tulis.

”KPKM ini memang bertujuan agar mahasiswa tak hanya kritis di jalan tapi juga dapat menuliskannya,” ungkap Arif. Selain itu dengan mengikuti KPKM peluang aspirasi mahasiwa dapat lebih diperhatikan oleh pemerintah. Hal itu diakui oleh Oka. ”Proposal yang menang akan langsung dikirimkan ke pemerintah,” pungkas Oka. (yud/han)

Berita Terkait