ITS News

Jumat, 26 April 2024
15 Maret 2005, 12:03

Paulus Indiyono, Guru Besar Pertama di Indonesia Bidang Bangunan Lepas Pantai

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Guru besar ketiga pada Fakultas Teknologi Kelautan ITS ini memang terbilang langka, mengingat ilmu itu sendiri berkembang di Indonesia relatif baru. Ini dibuktikan Indiyono dalam pidato pengukuhannya berjudul "Alternatif Pemanfaatan Anjungan Lepas Pantai Pasca Produksi", yang memaparkan persoalan bangunan lepas pantai atau anjungan yang tidak lagi digunakan pasca produksi migas.

"Pemerintah kita punya persoalan tersendiri dengan bangunan-bangunan lepas pantai itu, karena biaya untuk membongkarnya dibutuhkan sekitar 3,5 juta dolar AS per anjungan atau platform. Ini untuk bangunan-bangunan yang didirikan sebelum tahun 1994, yang menjadi tanggungjawab pemerintah, karena ketidaktahuannya saat kontrak dilakukan," katanya, Senin (14/2) siang.

Sementara bangunan-bangunan yang didirikan setelah tahun 1994, kata Indiyono menjelaskan –setelah pemerintah mengetahui betapa besarnya biaya yang dibutuhkan untuk melakukan pembongkaran bangunan anjungan lepas pantai itu– kini telah menjadi tanggungjawab perusahaan-perusahaan pengeboran minyak. "Sampai tahun 2004 kemarin, ada 70 buah anjungan lepas pantai di perairan Indonesia yang sudah tidak dimanfaatkan lagi. Bangunan inilah yang perlu dipikirkan alternatif pemanfatannya," katanya.

Karena, kata menantu mantan Rektor Unair, Prof Soedarso Djojonegoro ini, jika dibiarkan bangunan itu bukan hanya akan mengundang masalah untuk jalur lalu-lintas laut, tapi juga akan mengganggu lingkungan sekitar dalam hal ini biota laut. "Untuk itulah diperlukan alternatif-alternatif pemanfaatannya yang juga harus memperhatikan pula pada aspek legal atau hukum, aspek lingkungan hidup dan biota laut, aspek teknik dan pembongkaran, serta aspek keselamatan kerja," katanya.

Doktor lulusan University of Newcastle Upon Tyne, Inggris untuk bidang offshore engineering ini mengungkapkan, sedikitnya ada empat alternatif yang bisa dilakukan untuk anjungan lepas pantai itu. Pertama, dilakukan pemotongan lalu diruntuhkan di tempat dijadikian sebagai artificial coral reef atau karang buatan. "Alternatif pertama ini memang yang paling murah dan ekonomis, tapi tetap harus pula memperhatikan aspek-aspek lingkungan dari bekas sumur migas tersebut," katanya.

Alternatif kedua, katanya menjelaskan, anjungan lepas pantai itu bisa direlokasi ke daratan (onshore) atau didaur ulang. Pemanfaatan untuk alternatif kedua ini juga dibutuhkan pengetahuan tentang struktur bangunan, berkait dengan kondisi struktur yang telah mengalami degradasi setelah digunakan bebarapa tahun di lepas pantai. "Ketiga, relokasi untuk dijadikan anjungan kembali di kawasan yang lebih dangkal. Ini juga memerlukan ketelitian baik untuk membangun kembali dan melakukan pengangkutan dari lokasi lama ke lokasi baru," kata suami dari drg Ari Triwardhani M.Sc ini.

Sedang alternatif keempat, dibiarkan seperti semula tetapi digunakan untuk fungsi yang berbeda, misalnya dijadikan aqua culture atau tempat pemeliharaan ikan atau biota laut dan bisa pula seperti keinginan dari kalangan TNI AL untuk tempat latihan perang atau lainnya. "Di luar negeri anjungan-anjungan seperti itu lebih banyak dimanfaatkan untuk aqua culture dan dijadikan tempat wisata, dan itu sangat memungkinkan, karena kabarnya Departemen Kelautan dan Perikanan juga membutuhkan tempat untuk keperluan itu," katanya.

Tapi, kata ayah tiga anak ini menambahkan, apa pun alternatif yang akan diambil untuk memangani anjungan lepas pantai yang kini mangkrak tidak digunakan itu, perlu dipikirkan terhadap aspek lingkungannya. "Alternatif yang mempunyai dampak paling kecil terhadap lingkungan adalah dengan jalan menjadikannya sebagai karang buatan (artificial coral reef), tentu saja terlebih dahulu harus diteliti apakah lokasinya memang benar-benar cocok untuk itu. Faktor utama yang menjadi pertimbangan untuk artificial coral reef diantaranya apakah lokasi itu cukup baik untuk shelter, forage, tumbuh dan reproduksi, sehingga benar-benar mampu meningkatkan produksi ikan secara regional," katanya.

Hobi Meneliti
Bagi Paulus Indiyono sendiri, jabatan guru besarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegemarannya untuk melakukan penelitian. "Saya memang orang yang hobinya meneliti, selain olahraga kesukaan saya pencak silat," katanya.

Laki-laki kelahiran Trenggalek, 5 Maret 1959 ini memang terbilang gemar meneliti. Buktinya berturut-turut sejak 1997 hingga sekarang dia selalu memenangkan persaingan penelitian pada riset unggulan terpadu di tingkat nasional. Tahun 1997-2000, misalnya ia memperoleh riset unggulan terpadu untuk pengkajian karakteristik tahanan katamaran cepat dengan pendekatan matematis dan eksperimental, tahun 2002-2005 dalam bentuk penelitian hibah bersaing untuk rancang bangun struktur jacket dengan perhitungan dinamis dan percobaan pada tangki tarik.

Sedang pada tahun 2005 ini ia menjadi satu-satunya dosen ITS yang berhak untuk menerima riset unggulan terpadu untuk penelitian pembangunan kapal dengan tiga lambung. "Dalam tiga tahun ke depan mulai 2005 hingga 2007 saya akan merancang kapal dengan tiga lambung. Pertimbangannya agar lebih stabil, bisa bergerak cepat dan dapat meletakkan muatan lebih leluasa," katanya. (Humas/bch)

Berita Terkait