Gambar : Potret kemenangan BiFlow di Hackathon Sawit Nasional 2025 sebagai Juara 1.
Surabaya, FT-EIC ITS – Di tengah dorongan besar menuju digitalisasi agrikultur, kemenangan Tim BiFlow sebagai Juara 1 Hackathon Sawit Nasional 2025 menghadirkan optimisme baru bagi masa depan industri kelapa sawit. Melalui RAPIDS, sistem deteksi dini Ganoderma berbasis radar non-invasif dan machine learning, tim ini menawarkan solusi praktis untuk menjaga produktivitas kebun dan menekan kerugian akibat penyakit. Tim ini terdiri dari empat anggota dengan latar belakang yang saling melengkapi. Afan Ghafar Al Hadad, mahasiswa magister Teknik Elektro, menjadi motor riset sekaligus pengembang prototipe alat. Di sisi lain, Muhamad Rusydi Al Hakim dari Teknik Biomedik menyiapkan strategi komersialisasi serta simulasi pasar agar RAPIDS tidak berhenti sebagai purwarupa. Fabiola Tasya Natalia Wijaya memperkuat fondasi kajian dengan memetakan kebutuhan lapangan dan urgensi solusi terhadap permasalahan Ganoderma. Sementara Marco Tjandrapurnama mengarahkan riset pada keberlangsungan jangka panjang, termasuk analisis kompetitor dan arah model bisnis. Struktur peran yang terdistribusi ini menjadikan proyek berjalan sistematis sejak awal pengembangan hingga persiapan kompetisi.
Awal terbentuknya BiFlow bermula dari informasi lomba yang disampaikan oleh Rezki El Arif, dosen Teknik Biomedik yang juga berkompetensi dalam bidang radar. Keselarasan topik yang ditawarkan dengan pengalaman akademik menjadi pemantik terbentuknya tim. Langkah tersebut membawa mereka bersaing dengan ratusan peserta lain hingga akhirnya keluar sebagai pemenang. Keterlibatan dosen dan arahan keilmuan menunjukkan bagaimana jalur akademik mampu memicu munculnya inovasi terapan ketika peluang dan sumber daya bertemu pada momentum yang tepat.
Gambar : Pengujian prototipe RAPIDS di lapangan untuk membaca kondisi pohon sawit menggunakan radar non-invasif.
Keputusan tim untuk fokus pada Ganoderma boninense lahir dari observasi lapangan yang cukup mengguncang. Penyakit ini dikenal agresif, merusak batang hingga akar, dan sering terdeteksi ketika kondisinya sudah kritis. Petani maupun perusahaan perkebunan kerap terlambat mengambil tindakan, sehingga pohon harus ditebang dan produktivitas lahan turun dalam rentang waktu panjang. Diskusi dengan pelaku industri mengungkap bahwa berbagai metode penanganan telah dicoba, tetapi kemampuan deteksi dini menjadi titik lemah yang masih belum terjawab. Celah inilah yang kemudian diisi oleh RAPIDS sebagai sistem non-invasif yang mampu mengamati kondisi jaringan internal tanpa melukai tanaman, memberi ruang bagi pengelola kebun untuk merespons lebih cepat sebelum kerusakan menyebar.
Pendekatan radar dipilih berdasarkan kajian literatur dan studi berbagai metode deteksi. Alternatif yang bersifat destruktif atau sensor tempel dinilai kurang efisien untuk pemantauan skala luas. Radar menawarkan keunggulan berupa penetrasi sinyal ke batang dengan cepat, penggunaan berulang, serta kompatibilitas dengan pemrosesan algoritmik. Ketika riset berlangsung, data yang terkumpul menunjukkan pola yang menarik. Tanaman sehat memperlihatkan tren sinyal yang menurun dari pagi hingga sore mengikuti dinamika fotosintesis, sedangkan tanaman terinfeksi mencatat pola yang tidak stabil atau justru berlawanan. Fenomena ini menjadi pondasi penting dalam membangun model prediksi machine learning yang lebih presisi.
Tahap pengolahan sinyal menjadi tantangan tersendiri. Radar memiliki sensitivitas tinggi terhadap posisi sensor, jarak, bahkan getaran kecil, sehingga proses prapemrosesan harus dilakukan dengan cermat. Normalisasi data, penentuan window, serta penyaringan menjadi tahap krusial agar model tidak keliru mengidentifikasi perubahan sinyal harian sebagai penyakit. Selain itu, risiko overfitting menuntut model dilatih dengan variasi data lintas individu agar algoritma mengenali pola biologis, bukan kondisi teknis pengukuran. Ketika model mulai stabil, pengujian dilakukan dengan memisahkan data uji dari pohon yang tidak digunakan dalam pelatihan. Hasil yang konsisten pada sesi dan sampel berbeda menjadi indikator bahwa RAPIDS bekerja andal di medan nyata.
Keunggulan utama RAPIDS terletak pada sifatnya yang cepat, non-invasif, serta terintegrasi dengan sistem pemantauan digital. Alat cukup ditempelkan pada batang untuk membaca sinyal internal, kemudian data diproses secara otomatis oleh sistem sehingga meminimalkan subjektivitas dalam penilaian kesehatan tanaman. Hal ini berbeda dengan pengecekan visual yang baru efektif ketika infeksi sudah berat, ataupun metode laboratorium yang memerlukan waktu dan biaya tinggi. Dengan sistem ini, keputusan lapangan dapat diambil berbasis data, bukan intuisi.
Gambar : Prototype Sistem Radar RAPIDS.
Untuk kedepannya, BiFlow mengarahkan RAPIDS agar lebih ringkas dan siap diproduksi sebagai perangkat portable yang dapat digunakan langsung oleh mandor dan tim agronomi. Integrasi dengan dashboard pemantauan memungkinkan analisis blok kebun secara berkala serta memperluas jangkauan penerapan. Teknologi ini juga berpotensi diterapkan pada penyakit tanaman lain yang menyerang jaringan batang atau mempengaruhi transportasi air, dengan penyesuaian protokol dan pelatihan ulang model.
Dari perjalanan BiFlow memperlihatkan bahwa inovasi tidak selalu berawal dari laboratorium besar, terkadang cukup dari rasa ingin tahu, keberanian mencari peluang, dan keberlanjutan riset yang dilakukan secara disiplin. RAPIDS bukan hanya tentang radar dan data, tetapi tentang masa depan pertanian yang lebih cerdas, efisien, dan berkelanjutan. Jika pengembangan berjalan konsisten, bukan mustahil teknologi ini menjadi standar baru deteksi dini di perkebunan kelapa sawit dan komoditas lainnya.
Surabaya, FT-EIC ITS – Di tengah dorongan besar menuju digitalisasi agrikultur, kemenangan Tim BiFlow sebagai Juara 1 Hackathon Sawit
Fakultas Vokasi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menyelenggarakan kegiatan Konsinyering Pengisian Lembar Kerja Evaluasi (LKE) Inspirasi Dikti sebagai bagian
Surabaya, FT-EIC ITS – Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) melalui Fakultas Teknik Elektro dan Informatika Cerdas (FTEIC) kembali menunjukkan