Telah menjadi rahasia umum apabila Susi dikenal sebagai sosok yang tegas dalam menegakkan hukum laut Indonesia. Ia pun mengaku langkahnya merupakan bentuk kerjasama solid antar berbagai aparat demi menciptakan perubahan. "Ini menjadi bukti jika dengan kemauan dan usaha, Indonesia sebenarnya bisa memperoleh kedaulatan maritim," ujar menteri yang juga presiden direktur PT ASI Pudjiastuti Marine Product ini.
Meski sadar beberapa kebijakannya kerap menimbulkan kontroversi, Susi ternyata tak ingin ambil pusing. Berbekal pengalamannya berkecimpung sebagai pebisnis profesional selama 30 tahun, ia mengaku tak terbiasa bekerja dengan cara yang tidak efektif. "Semuanya itu mungkin untuk dilakukan. Prinsipnya, jika saya tidak mulai untuk bergerak sekarang, maka tidak akan ada hasil yang bisa dicapai," ungkapnya menggebu.
Tak heran, setelah resmi dilantik pada Oktober 2014 silam, hal pertama yang dilakukannya ialah meminta seluruh kepala daerah untuk tidak memungut retribusi dan membebaskan izin untuk seluruh kapal di bawah 10 Gross Tonnage (GT). Menurutnya, para nelayan sudah bekerja sebagai anak bangsa. Maka, yang bisa negara berikan hanyalah meringankan beban mereka. "Karena sudah jelas bahwa sejatinya insentif tidak memiliki kontribusi apapun kepada keuangan negara," jelas pemilik maskapai Susi Air ini.
Tak hanya itu, sistem database on line yang digunakan maskapai penerbangannya turut mendorong Susi menerapkan hal serupa di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Seluruh data pun dibuat on line, termasuk jumlah tangkapan ikan di laut Indonesia. "Bahkan sebelumnya, pejabat di KKP tak tahu menahu mengenai datanya. Sehingga, selain bermanfaat bagi internal kementerian, ini juga wujud transparansi kami kepada masyarakat," kata Susi.
Di hadapan sivitas akademika ITS, Susi turut menyinggung motto pemerintah yang ingin menjadikan laut sebagai masa depan bangsa. Keberlanjutan ekosistem laut pun dinilainya sebagai hal yang utama. "Untuk itu, saya mempertahankan hutan bakau sebagai wilayah revitalisasi laut dan melarang praktik penangkapan ikan yang berbahaya," tutur wanita kelahiran Pangandaran tersebut.
Karena itu, Susi menegaskan laut ialah ekosistem dimana bagian tengahnya menjadi hulu dan pesisir sebagai hilirnya. "Sehingga, jika ingin membuat masyarakat pesisir sejahtera, maka ekosistem tengah laut harus dipertahankan dengan memperketat praktik penangkapan ikan," ujarnya.
Susi pun sepertinya tahu betul bahwa beberapa pendapat negatif bermunculan di kalangan masyarakat pasca pemberlakuan kebijakan yang ditetapkannya. Menurut mereka, Susi hanya sibuk mengurus ekosistem laut tanpa memikirkan kesejahteraan nelayan. Hal ini pun dibantahnya dengan tegas. "Kalau saya tidak mengurus keberlanjutan ekosistem laut, lantas beberapa tahun ke depan, nelayan mau menangkap apa?" tanyanya retoris.
Di samping itu, hal lain yang menjadi sorotan Susi ialah penegakan kedaulatan laut Indonesia. Ini ia lakukan dengan cara menegakkan pelarangan kapal asing untuk menangkap ikan di wilayah Indonesia maupun melakukan transhipment di tengah laut. Pihak asing pun hanya diizinkan untuk melakukan investasi terhadap pengelolaan hasil laut. "Hanya negara lemah dan tidak mampu yang menyerahkan lautnya kepada negara lain. Indonesia adalah negara G20. Sudah saatnya kita kelola laut kita sendiri," tegasnya.
Di akhir, Susi mengaku dirinya termasuk ke dalam orang-orang bertipe ‘malas’, karena ia tidak senang bekerja secara terus menerus. Karena itu, dirinya lebih memilih memperbaiki sistem dan menegakkan hukumnya. "Saya buat Peraturan Menteri supaya aturannya jelas dan sesuai hukum. Sehingga, ini dapat berlaku sampai beberapa masa yang akan datang," pungkasnya. (ayi/man)