ITS News

Jumat, 19 Desember 2025
03 Oktober 2015, 10:10

Pasar Ide, Strategi Ungguli Persaingan MEA

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Pembicara pertama, M Alfatih Timur, Koordinator Kitabisa.com mengatakan dalam dunia terdapat dua golongan manusia yakni thinker dan doer. Kebanyakan orang, lanjutnya, lebih lama berada pada fase berpikirnya tanpa mau action terlebih dahulu. "Karenanya, jangan heran jika seorang doer lebih dulu sukses ketimbang mereka yang berpikir terus-terusan," ucapnya.

Seperti halnya ide yang digagas Alfatih, sebuah platform yang mempertemukan orang-orang yang saling membutuhkan. Ide awalnya berangkat dari situs jual beli yang mempertemukan penjual dan pembeli. Namun, di KitaBisa.com, imbuhnya, kita akan mempertemukan orang yang mempunyai proyek sosial dan mau mendukung proyek tersebut. "Kita mengejawantahkan apa yang orang Indonesia sebut sebagai gotong-royong dalam bentuk digital. Istilah lainnya adalah patungan online, tapi tetap kita bukan tempat meminta sumbangan," tandas alumni Universitas Indonesia ini.

Selanjutnya adalah Shofwan Al Banna Choirozzad, founder Selasar.com yang menganggap thinker dan doer adalah dua hal yang tak terpisahkan. Selasar sendiri menurutnya hadir memberikan jalan dan koneksi yang tepat untuk menampung gaagsan sebagai jawaban dari berbagai permasalahan di Indonesia. "Bisa dibilang, selasar adalah platform ide yang menghubungkan orang-orang dengan gagasan-gagasan keren," ujarnya.

Semisal saja untuk dapat memenangkan persaingan di Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), tentu ada banyak cara yang harus ditempuh sedari hal-hal kecil. Unit Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang menjadi pilar utama ekonomi Indonesia harus terus melakukan inovasi agar tidak tertelan zaman. "Sebab, sebanyak 92 persen dari total pemain ekonomi Indonesia adalah UMKM," ungkap pria yang juga berprofesi sebagai Executive Secretary ASEAN Study Center FISIP UI ini.

Contohnya seperti produk hasil tangan oleh kebanyakan UMKM yang hanya dikemas secara sederhana. Padahal, secara kualitas boleh jadi milik mereka lebih baik ketimbang buatan pabrik. "Namun, jika secara kemasan saja jelek, bagaimana kita mau bersaing? Apa iya Indonesia cuman mau jadi pasar dan penduduknya sebagai penonton?" tanyanya heran.

Hal senada diungkapkan dosen Jurusan Kimia, FMIPA, ITS Sri Fatmawati SSi MSc PhD. Menurutnya, nilai satu barang bisa berubah bergantung pada bagaimana orang mengolah dan mengemasnya. Misalnya pada jamur, jika dijual mentahnya hanya dapat laku seharga Rp 350 ribu per kilogram namun jika jamurnya diekstrak, maka bisa dijual hingga Rp 1,5 juta. Dan kalau dijadikan obat berbentuk kapsul oleh perusahaan biasanya bisa bernilai lebih tinggi lagi. Apalagi jika dijual di luar Indonesia, harga jualnya akan berkali-kali lipat dari harga awal. "Padahal, semua bahannya sama, hanya saja proses pengolahan dan packaging yang berbeda," jelasnya.

Hal tersebut bisa terjadi, menurut Sri adalah karena kurangnya kepercayaan dan integritas bangsa. Sehingga, ia berpendapat untuk dapat menghadapi MEA yang perlu dipersiapkan bukan hanya dari segi kapabilitas diri saja, bahasa inggris, maupun wawasan tentang MEA. "Melainkan meningkatkan kualitas diri bangsa, agar kelak bangsa luar tidak lagi menganggap remeh produk Indonesia," pungkasnya mengakhiri talkshow.(owi/man)

Berita Terkait