Dalam disertasinya, judul yang diangkat Dani adalah Ruang Pertahanan (Defensible Space) Masyarakat Dalam Permukiman Kampung dengan studi kasus Kampung Perkotaan di Surabaya. Melalui judul itu, Dani menyampaikan bahwa teori defensible space yang selama ini berkembang di dunia barat ternyata tidak berlaku di Perkampungan Kota Surabaya.
Teori defensible space berhubungan dengan kriminalitas atau unsur keamanan dalam hubungannya dengan perumahan formal. Di dunia barat, teori ini memunculkan bentuk perumahan tergerbang (gated community). Di mana, defensible space pada perumahan formal seperti itu memfokuskan perancangan fisiknya dalam meminimalisir angka kriminalitas. "Namun, teori ini belum banyak dikaji untuk permukinan tradisional, seperti permukinan kampung kota Surabaya ini," jelas Dani.
Ia pun lantas melakukan observasi pada beberapa kampung. Antara lain kampung Medokan, Wonokromo, Nyamplungan, Banyu Uri dan Grudo. Kampung-kampung yang berada di tengah kota Surabaya ini menurutnya malah tidak terjadi hal-hal kriminalitas sesuai yang ditakutkan pada teori di atas.
Yang ada, yakni beberapa uraian yang mengungkapkan rasa aman dengan persepsi jawaban yang berbeda-beda. Misalnya, untuk Kampung Wonokromo, para warganya merasa aman apabila terbebas dari ancaman penggusuran. Kampung Nyamplungan, Banyu Urip, dan Grudo lebih pada masalah patologi sosial sebagai unsur yang dianggap tidak aman daripada kriminalitas. "Berbeda lagi pada kampung Medokan, yang baru merasa aman apabila terhindar dari bahaya bencana banjir," lanjut dosen MKU FMIPA ITS ini.
Melihat hal itu, ia pun dapat menarik dua strategi utama dalam meningkatkan teori defensible space pada permukiman tradisional. Pertama, adalah strategi pertahanan non fisik masyarakat kampung perkotaan. Yakni kebanyakan masyarakat kampung cenderung mengembangkan produk-produk sosial sebagai barrier dari pada perancangan fisik bangunan.
Produk sosial itu dikembangkan dengan membuat kegiatan-kegiatan di tingkat kampung maupun menambah frekuensi pertemuan sesama warga. Dengan begitu, akan menimbulkan rasa kohesifitas dan kepemilikan yang tinggi terhadap lingkungan di sekitarnya. Akibat dari kegiatan itu pasti akan mampu mengurangi angka kriminalitas. "Karena masing-masing individu bisa saling mengawasi tetangganya," tutur wanita asli Surabaya ini.
Kemudian, strategi kedua adalah strategi pertahanan yang kaitannya dengan perancangan fisik rumah dan lingkungan. Menurutnya, desain bangunan dalam konteks teori defensible space, tidak memberikan makna bagi masyarakat kampung jika tidak diiringi dengan fungsi sosial.
Misalkan, dengan lebih mengoptimalkan area publik, dapat mempermudah pengawasan satu sama lain dan mendorong kontak sosial. "Jadi kalau ada rumah berpagar tinggi maka penghuninya bisa dicap bersifat eksklusif dan kurang guyub terhadap tetangganya," tutur wanita berkerudung biru ini.
Terakhir, Dani berharap penelitiannya ini mampu berkontribusi banyak terhadap teori defensible space secara tradisional serta pengambilan kebijakan arsitektural dalam bidang pembangunan permukiman di Indonesia. "Selain itu, saya akan berusaha untuk melanjutkan penelitian ini supaya bisa mempelajari kearifan lokal budaya masyarakat kita," pungkas Dani. (akh/guh)