Aziz hanya satu dari sekian banyak siswa SD Sawohan 2 yang tidak mengerti betul peta dunia. Jangankan peta dunia, peta Indonesia saja ia tidak tahu. Padahal, dalam kurikulum yang diajarkan di SD, wawasan internasional seringkali dimasukkan dalam mata pelajaran wajib IPS.
Bukan salah Aziz juga. Dusun tempat ia tinggal, Dusun Kepetingan, merupakan salah satu dusun terisolir di Kabupaten Sidoarjo. Untuk menuju Dusun Kepetingan hanya ada dua jalur yang bisa dilewati. Jalur pertama adalah jalan tanah liat sepanjang 8 kilometer dari Kota Sidoarjo. Jalur ini tidak gampang ditaklukkan. Bila sedang musim hujan, tekstur tanah liat yang becek membuat kendaraan apa pun tidak bisa melaju.
Jalur lain yang mungkin ditempuh adalah jalur sungai. Dari dermaga Sidoarjo, diperlukan waktu hingga satu jam untuk mencapai dusun itu. Jalur inilah yang paling sering digunakan. Maklum, kebanyakan warga Dusun Kepetingan berprofesi sebagai nelayan dan petani tambak.
Letak geografis Dusun Kepetingan yang terpencil jadi masalah buat Aziz dan teman-temannya. Mereka jarang sekali pergi meninggalkan desa. Bagi Aziz dan teman-temannya, dunia tidak begitu luas. Dunia mereka dibatasi oleh sungai dan tambak-tambak luas.
Bila sedang musim hujan atau air pasang, Dusun Kepetingan biasanya tergenang air payau. Kondisi yang sama juga terjadi di SD tempat Aziz bersekolah. Bila air sedang menggenangi sekolah mereka, mereka terpaksa tidak bisa belajar. Pelajaran akan dilanjutkan di hari lain ketika air sudah surut.
Di hari normal pun, pelajaran tidak berjalan sebagaimana mestinya. Mereka masuk pada pukul 08.00 pagi dan sudah pulang pada pukul 11.00 menjelang siang. Kondisi ini terjadi karena kurangnya tenaga pengajar di SD tersebut. ”Lepas sekolah anak-anak biasanya bermain ke sungai atau ke tambak,” kata salah seorang guru Aziz.
Kondisi Aziz dkk berhasil terekam oleh lima orang mahasiswa ITS. Mereka adalah Andhanu Surya Ismail, Fifi Alfiana Rosyidah, Muhammad Faizal Lihawa, Silvia Roshita Dewi, dan Muhammad Lutfi Ramadhani. Selama berbulan-bulan mereka berembuk membuat konsep permainan edukasi untuk mengisi kekosongan pelajaran wawasan internasional.
Hasilnya, mereka berhasil mengembangkan permainan monopoli empat dimensi yang diberi nama Glopoli. Empat dimensi karena papan tempat memainkan monopoli merupakan benda berbentuk globe yang bisa dibuka bagian tengahnya. Bentuk tersebut sengaja dirancang agar mampu menjadi ‘gula’ bagi anak-anak yang memainkannya. ”Selain itu, bentuk globe juga mengajarkan mereka mengenai bentuk bumi yang sesungguhnya,” kata Andhanu.
Sedikit berbeda dengan monopoli biasa, permainan ini tidak mengajarkan prinsip ekonomi melainkan memperkenalkan macam-macam negara beserta ciri khasnya. Sebanyak lima atau enam orang anak bisa ikut bermain dalam satu kali putaran permainan. Setiap kali singgah pada sebuah negara, anak-anak itu harus membaca keterangan mengenai negara yang disinggahinya agar bisa didengarkan anak lain.
Hal lain yang membedakan monopoli dan Glopoli adalah pada peraturan untuk dana umum dan kesempatan. Pada Glopoli, kartu dana umum dimodifikasi sedemikian rupa sehingga berbentuk pertanyaan-pertanyaan tentang suatu negara. Bila seorang anak tidak mampu menjawab pertanyaan yang diberikan, ia akan dikenakan denda dengan besaran tertentu. ”Untuk kartu kesempatan lebih berisi reward dan punishment. Tapi juga tidak jauh-jauh dari ciri negara-negara,” jelas Andhanu.
Andhanu mengklaim, permainan ini berhasil meningkatkan pemahaman siswa mengenai negara-negara di dunia. Ia mencatat, setidaknya terjadi peningkatan pemahaman sebanyak 40 persen akibat permaian ini. ”Bila sebelum permainan anak-anak tidak tahu apa-apa maka setelah permaianan mereka bisa membedakan negara-negara,” terang mahasiswa Jurusan Teknik Material dan Metalurgi ini.
Namun di balik itu semua, cita-cita besar Andhanu dan kawan-kawannya adalah mengajari anak-anak Dusun Kepetingan untuk berani bermimpi. Bagi mereka, mimpi adalah segala-galanya. Letak daerah dan keterbatasan sosial tidak boleh membatasi mimpi seorang anak. ”Kami ingin mengajak mereka untuk bermimpi mengunjungi negara-negara yang jauh,” aku Andhanu.
Usaha keras kelima mahasiswa itu tidak sia-sia. Anak-anak Dusun Kepetingan kini punya mimpi mengunjungi sebuah negara di dunia. Lihat saja Aziz, kini mimpinya telah melewati batas-batas Dusun Kepetingan. Ketika ditanya negara impiannya, Aziz dengan mantap menjawab: Arab Saudi. ”Saya ingin melihat Ka’bah,” katanya. (ram/fi)
Jakarta, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali menorehkan prestasi nasional dengan memborong empat penghargaan pada ajang Anugerah
Kampus ITS, ITS News — Sebagai bentuk dukungan terhadap riset energi bersih, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menerima kunjungan
Kampus ITS, ITS News — Perpustakaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali menegaskan perannya dalam memperkuat ekosistem riset kampus
Kampus ITS, ITS News – Ikatan Orang Tua Mahasiswa (Ikoma) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menunjukkan komitmennya dalam mendukung