ITS News

Jumat, 19 Desember 2025
22 Mei 2013, 16:05

Sorak, Hidupkan Semangat 15 Tahun Reformasi

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Ada yang pro dan ada yang kontra terhadap kondisi pemerintahan negara saat itu. Dari mereka yang kontra, ada sudut pandang yang menjadi sebab mengapa mereka tidak setuju terhadap pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto saat itu. Sebagai aktivis mahasiswa, BEM ITS lebih memberikan pandangan yang mendalam dari sudut pandang sesama aktivis mahasiswa, meskipun mereka berada di jaman yang berbeda.

Demonstrasi akbar mahasiswa saat menduduki gedung DPR dan MPR merupakan kejadian yang paling diingat oleh Teguh Rahmanto, pembicara sekaligus salah satu aktivis mahasiswa pada tahun 1998. Menurutnya, saat itu pemerintahan memiliki pengaruh yang sangat kuat sehingga dapat bertahan hingga puluhan tahun. ”Di awal tahun 70, mahasiswa pun masih takut untuk terlalu banyak bergerak dalam menghadapi pemerintahan,” terang Teguh.

Teguh pun menjelaskan, beberapa waktu secara kronologi selama masa pemerintahan Soeharto. Pertama yaitu saat Soeharto mulai dipilih menjadi presiden setelah berhasil memberantas Partai Komunis Indonesia (PKI). Menurut Teguh, kala itu sanjungan pun kerap kali diterima oleh Soeharto, sehingga saat ditawari untuk menjadi presiden ia pun menerimanya.

Masa pemerintahan tersebut semakin bertambah kuat seiring berjalannya waktu. Teguh menerangkan dengan berapi-api, awal tahun 1979, kondisi stabilitas mahasiswa mulai diusik saat diberikan label bahwa demonstrasi yang dilakukan mahasiswa sangat mengganggu. Ketika itu mahasiswa yang semakin ditekan malah semakin memberontak.

”Pada masa itu, mahasiswa benar-benar dimanjakan dengan fasilitas, asalkan tidak harus tahu apapun tentang politik dan Indonesia,” papar pria yang mengenakan kopyah ini. Meski demikian, mahasiswa tetap bergerak menghimpun kekuatan untuk menegakkan keadilan dan menghentikan rezim yang dinilai memiliki otoritas terlalu tinggi tersebut.

”Peristiwa puncak yang menjadi trigger pergerakan mahasiswa semakin menjadi-jadi, adalah Peristiwa Malari dan Trisakti,” imbuhnya. Ia menceritakan, emosi mahasiswa pun tidak dapat terbendung lagi akan ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah. Teguh menjelaskan, kelompok-kelompok diskusi yang kecil  terus dibentuk dan perjuangan semakin digencarkan. Satu perguruan tinggi dengan perguruan tinggi lain saling berkoordinasi untuk memperjuangkan mimpi mereka, berhentinya pemerintahan yang mereka nilai terlalu otoriter.

Semangat itu menjadi cerita untuk generasi penerus hingga saat ini. Namun Andi Irfan, pakar hukum Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Surabaya, menilai semangat itu hanya menjadi cerita. Hanya sedikit mahasiswa yang meneruskan semangat tersebut berupa aksi nyata dalam kehidupan mereka.

Rasa miris itu muncul sewaktu melihat kondisi tersebut jauh berbeda dengan keadaan mahasiswa saat ini. Menurutnya, mahasiswa saat ini tidak memiliki lagi pemikiran kritis untuk bangsa padahal negara ini masih terjajah. ”Mental juang mahasiswa saat ini sudah terlalu terlena dengan kondisi nyaman buah hasil aktivis mahasiswa dulu,” ungkapnya.

Andi pun mengharapkan agar mahasiswa ITS lebih memperluas pikiran akan kondisi bangsa Indonesia yang masih terjajah oleh saham asing. Pasalnya, beberapa sumber daya alam minyak dan gas bumi yang ada di Indonesia sebagian sudah diambil alih oleh negara lain. ”Hal tersebut merupakan poin yang masih belum diperbaiki sejak masa reformasi,” tegasnya.

Diskusi dan evaluasi terkait telah berlalunya era reformasi tersebut ditutup dengan adanya pembacaan deklarasi. Para peserta yang hadir pun diminta untuk turut menyampaikan janji untuk memperbaiki Indonesia ini agar jujur, bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). (sha/nir)

Berita Terkait