ITS News

Sabtu, 20 Desember 2025
06 Mei 2013, 06:05

Banyak Cerita di Peresmian Buku ITS Mengajar

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Ibu Guru Kembar mendirikan Sekolah Darurat Kartini pada tahun 1990. Sosok Kartini ini menjadi istimewa karena mereka memperjuangkan pendidikan sekitar 600 anak di Jakarta tanpa pungutan biaya, yang bahkan berlangsung hingga saat ini. Anak jalanan, hingga anak yang tak memiliki akta kelahiran menjadi muridnya.

Cerita keduanya sangat mengalir. Mulai dari penggusuran lokasi sekolah di kolong tol yang menjadi Mall of Indonesia, belajar di pinggiran rel kereta api, hingga memperoleh gedung yang cukup layak baru pada tahun belakangan ini. ”Kami adakan kontrak dengan mereka yang berprofesi sebagai guru, dengan perjanjian untuk mengantarkan anak-anak sampai mengikuti Ujian Nasional, dan mereka tidak dibayar,” tutur Rossy.

Tak hanya soal akademis, tapi banyak hal yang Sekolah Darurat Kartini ajarkan, termasuk berbagai macam keterampilan. Mulai dari keterampilan membatik, memasak, hingga otomotif. ”Yang penting mereka punya pendidikan, bisa cari makan, supaya tidak kembali ke jalanan,” ia melanjutkan.

Bagi Ibu Guru Kembar, setiap anak miskin sekalipun, berhak untuk menjadi anak Warga Negara Indonesia. Maksudnya, anak-anak yang berhak memperoleh pendidikan layak hingga memperoleh ijazah. Banyak tekanan yang mereka hadapi, begitu pun banyak bantuan yang mempertahankan perjuangan para Kartini ini.

Cerita kedua disampaikan Jairi Irawan yang pernah mengajar di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan. Untuk sampai ke lokasi sekolah, Jairi harus melewati sungai Kapuas sepanjang hampir seratus kilometer menggunakan perahu. Perjalanannya pasti terbayarkan. Setahun mengajar di sana membuatnya merasa seperti bermimpi.

”Mereka tidak bisa Bahasa Indonesia. Juga tidak pernah melaksanakan upacara bendera,” cerita Pak Guru, panggilan akrab untuk Jairi dari para muridnya. Banyak tantangan yang harus dilewati pengajar muda ini. Salah satunya adalah adat dan budaya di desa tempatnya mengajar.

”Biasanya guru yang mengajar di sana hanya bertahan sekitar lima bulan dan tidak kembali lagi. Saya pun selama sekitar lima bulan harus tinggal di bawah atap yang bocor,”katanya. Tak banyak menghiraukan hal tersebut, Jairi banyak belajar di alam bersama para muridnya.

Murid di Kapuas Hulu cenderung sulit belajar Bahasa Indonesia dan mengitung. Untuk belajar perkalian dan pembagian, mereka pergi ke sungai dan praktik menggunakan batu sungai. Jika perlu belajar tentang daun, tinggal pergi ke hutan dan mengumpulkan berbagai jenis daun, meskipun hingga di akhir tahun mereka belum mampu belajar teknologi dan komputer.

Namun sekali dalam setahun, Jairi berhasil mengajak para murid untuk melakukan upacara bendera dan bermacam perlombaan dalam Hari Kemerdekaan Indonesia. ”Kalau nasionalisme ditanamkan sejak kecil, di mana saja mereka berada, pasti hatinya di Indonesia,” tutur Jairi.

Sementara itu Edwin Haluoleo Agus Mokodompit, atau yang dikenal dengan panggilan Leo, membagi semangat kepemudaan pada peserta peresmian buku ITS Mengajar kali itu. Katanya, Indonesia punya 62 juta pemuda untuk bersama-sama membangun solusi bagi permasalahan di Indonesia, termasuk masalah pendidikan.

”Kalau bersama-sama, pemuda-pemuda ini pasti bisa mencapai tujuan,” ujarnya. Leo pun memastikan bahwa UNESCO dapat mendukung setiap gerakan pemuda dalam bidang pendidikan. Misalnya dalam memberikan materi pendidikan, jika perwakilan UNESCO tak memungkinkan hadir. Di samping itu, ia yakin bahwa Indonesia memiliki pemuda-pemuda terdidik yang mampu mendidik generasi-generasi penerus lainnya.

Tak hanya itu, pria asal Makassar ini pun membagi cerita masa kecilnya. Ketika ada banyak anak di sekitarnya yang tak beruntung untuk duduk di bangku sekolah, Leo dan beberapa temannya membagi ilmu yang diperolehnya setiap sepulang sekolah. ”Ini mengetuk hati guru-guru saya sampai akhirnya mau ikut berbagi ilmu,” tutur Leo. Baginya, pemuda adalah jembatan untuk melakukan berbagai perubahan. (set/fi)

Berita Terkait