Sudah sejak sore sejumlah balok kardus ukuran 1×1 m tersusun di atas panggung inti. Bentuknya menyerupai gapura dengan sehelai kain menutup celahnya. Kali ini dominan warna emas dipilih untuk menceritakan ritual suku Aztek dalam menyembah dewa matahari.
Pertunjukkan pun dimulai. Perkusi ditabuh kompak dengan hentakan langkah pemain. Formasi terbentuk. Musik berganti dengan irama lebih cepat. Tarian khas suku Aztek dipamerkan dengan kostum yang unik. Tanpa ekspresi, penonton tegang dibuatnya.
Musik berhenti. Pemain yang awalnya menari, kini membuat sebuah aktivitas layaknya pasar tradisional. Ada yang menjual kayu bakar, sayur-sayuran dan sebagainya. Olah gerak pemain berhasil membawa imajinasi penonton hingga terasa ikut bermain di dalamnya.
Perkusi kembali ditabuh. Kali ini, iramanya lebih cepat dari sebelumnya. Dari sisi kanan panggung datanglah rombongan prajurit yang menyerang pasar tradisional itu. Dalam sekejap, porak poranda. Mereka membawa tiga orang wanita yang diikat dan diseret. Tidak hanya pemain, penonton pun berteriak histeris. ”Rasanya ingin menolong mereka dari prajurit itu, kasihan banget,” ungkap Annisa Nurindah, salah seorang pengunjung.
Ternyata, wanita yang diseret adalah tumbal untuk iblis yang akan mereka puja. Berusaha memberontak, terasa percuma karena wanita itu tidak bisa lagi melarikan diri.
Tidak lama, penonton kembali dikejutkan dengan kedatangan rombongan makhluk berjubah hitam. Pengunjung menjerit. Benar saja, tidak hanya muncul di depan, makhluk dengan jumlah banyak muncul dari barisan penonton. Arsiran make up ala gothic, menambah suasana horor.
Satu per satu mereka naik ke atas panggung. Ternyata, seorang dengan postur gempal yang juga mengenakan kostum hitam telah menunggu. Sosoknya lebih menakutkan. Ialah dalangnya. Serempak, makhluk berjubah hitam berkumpul mengelilinginya.
Perkusi kembali ditabuh. Suasana semakin mencekam dengan lighting yang diatur sempurna. Pemujaan pun dilakukan. Satu tumbal diserahkan sebagai syarat ritual. Dengan lahap sang dalang memakan jantung dari wanita itu. Emosi penonton memuncak ketika ia menyemburkan cairan berwarna merah darah.
Dari pintu gapura, keluarlah tiga orang dengan warna tubuh kuning keemasan. Merekalah dewa matahari yang dipuja. Kehadirannya amat ditunggu karena dengan ritual itu, kaum dari pedalaman Meksiko itu percaya bahwa matahari akan terbit keesokan harinya.
Menutup penampilan, datanglah sesosok pria dengan jubah putih, seorang tokoh agama. ”Wahai kalian semua, kepada Sang Maha Penciptalah seharusnya kalian menyembah,” teriaknya dengan lantang. Sontak adegan ritual itu berantakan. Seluruh pemain berlari ketakutan. Hingga akhirnya tersungkur satu per satu yang menandakan bahwa mereka telah kalah.
Penonton berdiri riuh memberikan tepuk tangan. ”Kami memang memberi konsep ini khusus dipersembahkan untuk ITS Expo 2013,” ungkap Elisabeth DF Pratidina, sebagai creator show off dari Jurusan Desain Produk dalam show off Jurusan, Senin (22/4). (lik/fi)