Kampung Gundhi merupakan daerah di Kecamatan Bubutan, Surabaya, yang mendapat penghargaan dari walikota Surabaya dalam kategori green and clean tahun 2009 silam. Di tempat ini, para peserta turut menyaksikan bagaimana kampung kecil nan asri ini dikelola sehari-sehari.
”Mereka (peserta, red) menyaksikan secara langsung bagaimana sistem pemeliharaan lingkungan dilakukan oleh warga kampung sekitar,” jelas Evi Akbarwati, salah satu panitia yang mengikuti kunjungan. Ia menjelaskan, setidaknya warga sekitar telah melaksanakan program yang mereka sebut sebagai konsep green and clean. Yakni proses dimana limbah rumah tangga dikelola secara bagus baik untuk limbah jenis cair maupun padat.
"Untuk limbah padat umumnya warga sekitar mengelompokkan ke dalam dua jenis, yakni limbah organik dan anorganik,” tambahnya. Untuk limbah organik, lanjutnya, akan diolah menjadi pupuk atau kompos. Sedangkan limbah anorganik nantinya akan dimanfaatkan sebagai bahan dasar pembuatan souvenir yang didesain secara mandiri oleh warga sekitar.
Selain itu, ada pula limbah cair yang akan diolah sebagai fungsi pengairan tanaman dan menyuci pakaian warga sekitar melalui proses filtrasi. ”Tanpa membedakan gender, baik pria maupun wanita bergantian untuk piket melakukan rutinitas di atas,” ungkap mahasiswa Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) ITS ini.
Lebih lanjut, para peserta juga menyempatkan diri mengunjungi salah satu objek ternama di kota pahlawan. Ialah House of Sampoerna (HOS) objek yang dimaksud. Di HOS, mereka melihat secara langsung bagaimana proses pembuatan rokok jenis kretek dibuat. Sejarah dan perkembangan perusahaan yang telah berdiri puluhan tahun silam ini pun mereka telusuri satu demi satu.
Sebelum melakukan kunjungan ke kedua objek tersebut, para peserta juga telah dibekali pengetahuan mengenai arsitektur bangunan-bangunan yang ada di Indonesia. ”Para peserta terlihat sangat antusias ketika sesi ini berlangsung, mereka penasaran dengan ragam bentuk bangunan yang ada di Indonesia,” ujarnya. Ia mengungkapkan keanekaragaman tersebut muncul karena dua hal, yaitu kondisi iklim dan kebudayaan.
”Bangunan-bangunan di Indonesia tidak bisa mengaplikasikan bentuk bangunan untuk iklim dingin seperti di luar negeri, tentu akan menyesuaikan kondisi iklim sekitar,” beber mahasiswi angkatan 2009 ini. Lain lagi dengan alasan kebudayaan, umumnya warga sekitar lebih suka menggunakan bahan bangunan dari kayu dibanding bahan bangunan modern seperti cor.
”Kalau yang itu lebih ke arah budaya penduduk itu sendiri mereka lebih memilih penggunaan kayu sebagai bahan dasar bangunan,” pungkas wanita asal Jember ini. Namun, hal tersebut kontan membuat para peserta geram, pasalnya mereka mempertanyakan mengapa orang Indonesia lebih suka menggunakan kayu untuk itu. Mereka mengatakan, hal demikian justru mempeparah pemanasan global.
Pun demikian, Evi menerangkan hal itu berseberangan dengan pemahaman orang-orang di Indonesia. Umumnya, mereka yang menggunakan kayu sebagai bahan dasar bangunan mereka sadar untuk kembali menanam pohon yang mereka telah tebang untuk membangun rumah. ”Menebang satu pohon sama dengan menanam tiga pohon,” tutupnya ketika ditanyai ITS Online, Rabu (28/11). (man/nir)
Jakarta, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali menorehkan prestasi nasional dengan memborong empat penghargaan pada ajang Anugerah
Kampus ITS, ITS News — Sebagai bentuk dukungan terhadap riset energi bersih, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menerima kunjungan
Kampus ITS, ITS News — Perpustakaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali menegaskan perannya dalam memperkuat ekosistem riset kampus
Kampus ITS, ITS News – Ikatan Orang Tua Mahasiswa (Ikoma) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menunjukkan komitmennya dalam mendukung