ITS News

Jumat, 19 Desember 2025
23 Maret 2011, 13:03

Rumah Pendiri ITS, Lima Tahun Setelah Sengketa

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Jatuh bangun telah dirasakan oleh keluarga ini. Bermula dari sebuah persoalan hutang untuk membiayai perawatan putra kesembilan Asnoen yang mengalami disfungsi ginjal. Jaminannya, rumah kelaurga Asnoen tersebut, satu-satunya yang dimiliki mereka sejak kolapsnya bermacam bisnis Asnoen Arsat, seorang konglomerat besar Surabaya. Ternyata hutang tersebut berlanjut jauh hingga melibatkan Budi Said.

Ia menggugat almarhum istri Asnoen, Ny Djinoen Arsat, ke Pengadilan Negeri Surabaya. Keluarga Asnoen sempat memenangkan pengadilan tingkat pertama namun kalah dalam dua putusan banding berikutnya di Pengadilan Tinggi dan kasasi di Mahkamah Agung.

Menurut anak keempat Asnoen, Asaningsih, proses tersebut sangat menegangkan baginya dan keluarganya. Ketegangan tersebut bertambah saat berbagai media massa mulai tertarik untuk meliputnya. Suatu saat, Asaningsih tak tahan lagi, ia menangis di hadapan sekian banyak wartawan di depan rumahnya. "Saya sudah sedih sekali saat itu, hampir putus asa," kenangnya.

Mahkamah Agung akhirnya memutuskan kepemilikan rumah tersebut jatuh kepada keluarga Asnoen pada tahun 2007. "Ini juga berkat bantuan Prof Dr Mohammad Nuh DEA, rektor pada saat itu," lanjut Asaningsih. Nuh-lah yang mengirimkan surat ke Mahkamah Agung mengenai penangguhan eksekusi rumah itu.

Rumah bersejarah
Wajar bila Asaningsih dan saudara-saudaranya mempertahankan rumah tersebut. selain menjadi rumah utama bagi mereka, juga memang merupakan sebuah museum nostalgia berharga.

Berdiri di ruang tamunya hari ini, tak ada yang berubah, baik dari furnitur maupun tatannannya. Bisa dirasakan kembali betapa dulu para pendiri YPTT, di antaranya Dr Angka Nitisastro, Ir R Soedjasmono, Ir Ibrahim Zahir, Sarimin Reksodiharjo, Jahja Hasyim dan Asnoen sendiri, rajin menyelenggarakan rapat di malam hari. Begitu seringnya mereka melaksanakan rapat, hingga tak jarang istri dan keluarga mereka pun turut menemani.

Rumah di Embong Ploso 25 bertingkat dua, berdiri di atas lahan seluas 1332 meter persegi, dan terdiri dari dua bagian. Bagian depan merupakan rumah utama keluarga Asnoen, dengan ruang tamu, ruang makan, ruang kerja, ruang-ruang tidur dan sebuah musola. Bagian belakang adalah kamar-kamar berjumlah lebih dari dua puluh buah yang saat ini digunakan sebagai kos-kosan. Hingga saat ini, rumah tersebut tetap berada dalam keadaan aslinya saat dahulu berdiri.

Rumahnya tersebut menampung sekitar 50 orang yang terdiri dari berbagai sanak saudaranya bila berkunjung. Dan kunjungan-kunjungan itu sering terjadi. Biasanya menjelang hari raya, sekitar 10-11 hari sebelumnya para keluarga sudah berdatangan, saling membantu menyiapkan masakan. Di bagian belakang rumah utama, ada 25 kamar yang siap menampung.

Tak hanya saudara, teman-teman Asnoen pun sering menginap. Seperti Bung Tomo dan Roeslan Abdulgani. Itu memang sudah menjadi hobi Asnoen. "Bapak itu senangnya ngundang orang," cerita Asaningsih. Bahkan tak jarang pula Asnoen mengundang para pedagang rombong, baik bakso, atau sate, untuk makan bersama keluarga, teman dan tetangga sekitarnya.

Halaman rumah itupun pernah menjadi ajang bermain petasan keluarga Asnoen dan tetangganya. Asnoen yang membeli sendiri petasan dalam jumlah banyak. Tak ada maksud apa-apa, selain menyenangkan hati tetangga dan keluarganya. "Karena saat itu, hiburan sangat susah," tutur Asaningsih. Mereka pun beramai-ramai menyulut petasan dan menikmati keindahannya.

Belum selesai
Hingga kini, persoalan rumah tersebut belum selesai. Akta tanah tersebut masih belum dipegang penuh oleh ahli waris yang sah, yaitu putra-putri Asnoen yang diwakili oleh Asaningsih. Berbagai upaya telah dilakukan olehnya dan adik-adiknya, namun tak membuahkan hasil. "Kami selalu di-ping-pong ke sana kemari, dan tak jarang diminta membayar. Kami capek," ucapnya.

Perjuangan mendapatkan hak atas rumah itu masih terus dilanjutkan oleh adik-adik Asaningsih. Menurutnya, adik-adiknya itu tak lagi memperbolehkannya turut campur, karena tak ingin menambah bebannya.

Ia pun tidak tinggal lagi di rumah tersebut. Namun ia masih rajin mengunjunginya bersama seluruh keluarganya. Asaningsih tak mengharapkan bantuan lagi, apalagi dari pihak ITS seperti yang dahulu dilakukan oleh Nuh.

Setelah Ny Djinoen meninggal, mereka kehilangan relasi dengan orang-orang di ITS. Meskipun mereka masih tetap memantaunya, namun mereka memang tak mengharapkan apa-apa darinya. "Kami hanya cukup merasa bangga dengan berbagai perkembangan di ITS, sehingga menjadi besar seperti sekarang ini," tutupnya. (lis/bah)

Berita Terkait