ITS News

Jumat, 05 Desember 2025
17 November 2025, 16:11

Resep Proyektan

Oleh : hafidz.ridho@its.ac.id | | Source : -

Para peserta Pelatihan Dosen Proyektan Muda

Kampus ITS, Opini — Di tengah riuh Dies Natalis Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), ada agenda senyap, tapi penting. Direktorat Kerja Sama dan Pengelolaan Usaha (DKPU) ITS menggelar Pelatihan Dosen Proyektan Muda pada Sabtu (08/11). Tim DKPU diantaranya adalah Pak Tri Joko sebagai komandan, Pak Beny, Pak Dwa Desa, Pak Nono, dkk.

Pembicara pertama, Prof Joni Hermana. Beliau datang dengan satu pesan. Menohok. Jangan pernah segan atau malu menjadi “proyektan”.

Kenapa pesan itu penting? Karena dunia kampus sedang bergeser. Cepat sekali. Disrupsi digital dan AI memaksa perguruan tinggi bertransformasi. Tuntutan zaman bukan lagi ijazah. Tapi relevansi dan inovasi.

Prof Joni memetakan evolusinya. Dulu, University 1.0, dosen murni “Pengajar”. Naik ke 2.0, jadi “Peneliti”. Masuk 3.0, dituntut jadi “Entrepreneur akademik”. Sekarang, kita di 4.0. Era Digital. Peran dosen: “Inovator sosial & kolaborator”.

Masalahnya, di lapangan, dosen sering pusing. Beban administratif tinggi. Tuntutan Tri Dharma (Pendidikan, Penelitian, Pengabdian) terasa seperti tiga beban terpisah. Belum lagi tekanan publikasi dan akreditasi. Istilah “proyektan” sering terdengar miring. Seolah dosen yang sibuk mencari proyek sampingan.

Prof Joni membongkar stigma itu. Justru, “Dosen Proyektan” adalah jawaban. Ini bukan soal sampingan. Ini adalah mindset utama. Dosen yang proaktif dan berinisiatif dalam proyek Tri Dharma. Prof Joni memberi satu catatan penting. Soal niat. “Jangan pernah niat proyektan itu mencari uang semata,” tegasnya. Lho, lalu apa? “Justru harus berniat untuk melayani. Hasilnya? Sehingga uang yang justru mencari kita,” tambahnya. Dicatat.

Kuncinya satu, Integrasi, jangan pisahkan. Prof Joni menawarkan prinsip, “one work, three outputs”. Satu proyek, bisa jadi tiga hasil sekaligus. Riset kolaboratif itu menjadi bahan ajar di kelas (Pendidikan). Hasil riset itu dipublikasikan (Penelitian). Hasil riset itu juga diterapkan untuk solusi nyata di masyarakat (Pengabdian). Selesai. Satu pekerjaan, tiga output Tri Dharma terpenuhi.

Untuk bisa begini, kuncinya ada lima: (1) Teamwork, (2) Kolaborasi Multidisiplin, (3) Melibatkan Mahasiswa, (4) Networking, dan (5) Kepemimpinan Transformasional. Ini bukan kerja bakti. Menjadi Dosen Proyektan adalah roadmap karier paling efektif. Setiap proyek adalah portofolio. Portofolio itu menghasilkan publikasi, HKI, dan rekam jejak. Bahan bakar utama untuk melesat jadi Guru Besar.

Pesan penutup Prof Joni, “Mulailah dengan proyek kecil yang nyata.”

Pelatihan belum selesai. Sesi berlanjut. Setelah Prof Joni membakar semangat, dilanjutkan oleh Prof Ketut Buda Artana. Disingkat, Prof KBA. Jika Prof Joni bicara motivasi dan filosofi, Prof KBA membagikan resep dapurnya. Mesin utamanya, Laboratorium. Lab, katanya, adalah “Lokomotif”. Dialah prime mover.

Prof KBA memberi catatan tebal. Jangan salah fokus. “Layanan kerjasama industri adalah penting, tetapi balancing Tri Dharma jauh lebih penting,” paparnya. Proyek jangan sampai mematikan riset. Komersialisasi jangan sampai membunuh pengabdian.

Bagi yang baru mau mulai, ia mengutip Lao Tzu, “Perjalanan seribu mil dimulai dengan satu langkah.” Langkah pertamanya? Berkumpul dengan rekan se-visi di lab. Bangun ekosistem yang “membahagiakan” mahasiswa. Mulai riset sederhana. Baru, lanjut ke mitra industri skala kecil.

Tapi, rahasia terbesarnya bukan itu. Modal utama agar kerjasama industri bisa sustain (berkelanjutan) adalah “TIM”. Ia mengulanginya: “TIM-TIM-TIM”. Ini bukan pekerjaan one-man show. Ini adalah kerja tim yang saling melengkapi dan terbuka. Terbuka soal beban, terbuka soal keuangan, terbuka soal masalah. “Kerja sendiri dapat 100, kerja bersama dapat 100 kali lebih besar,” tegasnya.

Apakah resep ini berhasil? Prof KBA membuka “dompet”-nya. Dia menunjukkan daftar mitra PUI-KEKAL. Panjang sekali. Indikator layanan yang paling jujur, katanya, adalah “repeat order.” Mitra-mitra itu terus kembali. Bagi Prof KBA, proyek tidak berhenti di laporan. Pengalaman harus dihilirisasi. “Pengalaman adalah untuk dibagi, bukan untuk dibawa sendiri,” tuturnya.

Proyek-proyek itu melahirkan banyak buku. Melahirkan produk inovasi. Salah satu jagoannya adalah AISITS, sebuah platform Automatic Identification System. Produk ini tidak hanya dikomersialkan. AISITS menjadi “inovasi” tim ITS untuk memberi kontribusi nasional. Yaitu, saat mengawal penetapan Alur Laut (TSS) di Selat Sunda dan Selat Lombok di forum dunia, IMO, London.

Dari lab, jadi tim solid. Dari tim, jadi proyek. Dari proyek, jadi buku. Jadi produk inovasi berdampak dan berkontribusi nasional dan global. Itulah Dosen Proyektan.

Stigma negatif itu rontok. Dosen Proyektan, versi Prof Joni dan Prof KBA, bukan lagi pemburu proyek sampingan. Mereka adalah motor utama. Menyatukan Tri Dharma. Menjawab kebutuhan industri. Menyelesaikan masalah nyata di masyarakat.

Kampus berdampak memerlukan lebih banyak tipe Dosen ‘Proyektan’ ini. Dosen yang tidak malu “turun gunung”. Dosen yang niat utamanya melayani. Dosen yang hebat dalam kerja tim. Jangan ditunggu. Mulai saja.

 

Agus Muhammad Hatta

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Resep Proyektan