Paus Fransiskus (Pope Francis) saat didoakan oleh Kardinal Pietro Parolin (sumber: APnews)
Kampus ITS, Opini – Wafatnya Pemimpin Gereja Katolik Dunia Paus Fransiskus Senin 21 April lalu tak hanya sekadar kabar duka bagi umat Katolik, tetapi juga momentum refleksi bagi dunia. Sosok yang akrab dipanggil Paus Rakyat ini dikenal karena kedekatannya dengan umat, pembelaannya terhadap kaum tertindas, serta gaya hidup yang menolak kemewahan.
Dikutip dari Reuters, pria bernama asli Jorge Mario Bergoglio itu meninggal di usia 88 tahun setelah mengalami stroke yang menyebabkan koma dan gagal jantung, seperti dikonfirmasi oleh dokter pribadinya Sergio Alfieri. Sebelumnya, ia memang telah menderita sakit pneumonia ganda dan dianjurkan istirahat selama dua bulan. Namun, ia tetap bersikeras menjalankan tugas-tugas kepausannya hingga akhir hayat.
Sejak awal kepemimpinannya pada 2013, Paus Fransiskus membawa napas pembaruan dalam tubuh Gereja Katolik. Ia mematahkan tradisi kemewahan dengan memilih tinggal di Wisma Santa Marta, menolak penggunaan limosin kepausan, dan mengadopsi gaya hidup sederhana. Lebih dari sekadar simbolik, beliau juga mengangkat isu-isu sosial yang kerap luput dari perhatian pemimpin agama, seperti krisis iklim, ketimpangan ekonomi, migrasi global, hingga dialog antariman.
Sentuhan kemanusiaan beliau terasa nyata dalam berbagai kunjungan pastoralnya, termasuk saat berkunjung ke Indonesia September 2024 lalu. Dalam laporan koranprogresif.id, Paus Fransiskus tidak hanya memenuhi agenda resmi, tetapi juga menyempatkan diri untuk bertemu langsung dengan komunitas pengungsi, anak yatim, dan pasien sakit kronis di Kedutaan Besar Vatikan di Jakarta.
Ribuan umat Katolik mendoakan pemakaman Paus Fransiskus (sumber: Catholic News Agency)
Warisan moral yang ditinggalkan Paus Fransiskus patut direnungkan lebih dalam. Dalam dunia yang makin terpolarisasi oleh politik identitas dan kepentingan ekonomi, beliau menghadirkan suara yang tenang, inklusif, dan tulus. Ia mengajarkan bahwa kekuasaan sejati bukan tentang dominasi, melainkan tentang keberanian untuk mengangkat sesama.
Bagi masyarakat akademik dan generasi muda, keteladanan Paus Fransiskus menyampaikan pesan penting, bahwa jabatan tidak seharusnya dijadikan menara gading, tetapi jembatan untuk melayani. Kesederhanaan dan empati bukanlah kelemahan dalam kepemimpinan, melainkan sumber kekuatan. Bahwa menjadi pemimpin bukan soal posisi tertinggi, tapi keberanian untuk melayani.
Kini, dunia kehilangan salah satu cahaya moral yang paling dihormati lintas agama dan budaya. Namun justru dalam kepergiannya, warisan nilai-nilainya semakin berkilau. Mengajak kita semua untuk menjaga nyala obor kesetaraan, cinta kasih, dan keberpihakan kepada mereka yang kerap dilupakan dunia. (*)
Ditulis oleh:
Harri Raditya Ardianto
Departemen Teknik Instrumentasi
Angkatan 2024
Reporter ITS Online
Madiun, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) melalui Tim Pengabdian kepada Masyarakat (Abmas) melaksanakan rangkaian program pemberdayaan
Kampus ITS, ITS News — Dalam rangka memperingati HUT ke-26 Dharma Wanita Persatuan (DWP) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terus melanggengkan perannya dalam upaya penyelamatan iklim. Kali ini,
Kampus ITS, ITS News — Dalam rangka memperkuat aktivis mahasiswa menjadi pemimpin bisnis di masa depan, Institut Teknologi Sepuluh

