ITS News

Jumat, 05 Desember 2025
03 November 2025, 04:11

Sikap Tabayyun, Kunci Kedamaian di Tengah Polemik Sosial

Oleh : itsriz | | Source : ITS Online
Tradisi pondok pesantren

Tradisi para santri mencium tangan sang guru di pondok pesantren (sumber: Islami.co)

Kampus ITS, Opini — Polemik sosial kerap kali menimbulkan perselisihan antar umat beragama maupun masyarakat awam. Emosi yang tidak terkendalikan oleh khalayak umum, termasuk umat Islam, membuat terpecah belahnya rasa kerukunan antar sesama. Hal ini sebaiknya harus dicegah dengan bermuhasabah diri melalui sikap ber-tabayyun terhadap masalah yang terjadi.

Seringkali tradisi menjadi kontradiksi akibat perbedaan persepsi antar masyarakat umum, terlebih masalah keagamaan. Masyarakat banyak menilai dari sudut pandang sosial budaya secara umum, sedangkan organisasi masyarakat (ormas) memiliki aturan dan kewenangan sendiri yang sesuai dengan syariat orisinalnya. Melalui sudut pandang pribadi, penilaian masyarakat pasti tidak akan sesuai dengan keadaan aslinya, jika memang belum pernah merasakan aturan yang dibuat.

Sebaliknya, sebagai umat islam yang berpihak pada ormas tertentu seharusnya tidak membalas dengan cemoohan. Atensi publik yang negatif harus dikontrol dengan sikap yang santun dan ber-tabayyun agar suasana permasalahan tidak berkepanjangan. Sebagaimana surah Al-Hijr ayat 97 hingga 99 termaktub, “Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan, maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu…”.

Ilustrasi Ber-tabayyun

Ilustrasi Ber-tabayyun melihat polemik media massa yang sangat masif terjadi (sumber: Unsplash.com)

Apa itu Ber-tabayyun?
Secara sederhana, ber-tabayyun merupakan solusi utama untuk mencegah perpecahan antar sesama dengan cara mencari informasi yang valid terlebih dahulu. Dalam surah Al-Hujurat ayat enam dijelaskan, “…maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena ketidaktahuan(-mu)…”. Dalil ini menjadi bukti bahwa dalam menerima informasi dilarang untuk mencemooh langsung tanpa melihat orisinalitas masalahnya.

Contoh nyatanya ialah kontek kritik oleh salah satu media di Indonesia yang mempropaganda atensi publik terkait aktivitas pondok pesantren. Kritikan tersebut diserukan oleh pihak yang awam terkait tradisi pondok pesantren sehingga tercetus perseteruan antara umat Islam dan khalayak umum. Padahal, apabila masing-masing pihak ber-tabayyun, solusi akan diperoleh secara khidmat tanpa ada saling mencemooh satu sama lain. 

Melalui problematika ini, masyarakat sepatutnya menelaah terlebih dahulu ketika tidak setuju dengan ajaran pondok pesantren. Apabila memang saling memberatkan, alangkah baiknya kritik maupun saran disampaikan secara santun tanpa merendahkan kemuliaan seorang guru yang telah mengajar dan mendidik. Selain itu, umat Islam harus ber-tabayyun saat menyikapi permasalahan serupa demi menjaga kemaslahatan hubungan antar sesama.

Terakhir, manfaat ber-tabayyun dalam menghadapi situasi yang selaras dengan masalah di atas, yakni mendamaikan antar umat seluruh agama. Mencari bukti maupun informasi terlebih dahulu merupakan langkah yang lebih baik daripada tergesa-gesa menyalahkan pihak tertentu. Oleh karena itu, problematik ini diharapkan dapat menjadi refleksi bagi seluruh umat beragama untuk senantiasa menjunjung nilai toleransi dan rasa mawas diri dalam bertindak. (*)

 

Ditulis Oleh:
Mohammad Fariz Irwansyah
Departemen Statistika
Angkatan 2024
Reporter ITS Online

Berita Terkait