Foto bersama para speaker dan peserta pada acara Srawungzskuy yang diadakan oleh Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) ITS
Kampus ITS, ITS News — Menjamurnya pemukiman tidak layak huni di Surabaya merupakan imbas dari ketidakselarasan jumlah penduduk dan tempat tinggal yang memadai. Berangkat dari permasalahan tersebut, Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) membahas urgensi hunian layak di Surabaya dari sudut pandang komunitas dan pemerintah.
Mengawali diskusi, Dosen Departemen PWK ITS Ardy Maulidy Navastara ST MT mengungkapkan, penyebab utama permasalahan kebutuhan hunian layak di Indonesia adalah kurangnya jumlah rumah yang tersedia dibandingkan dengan jumlah rumah yang dibutuhkan masyarakat. Fenomena yang akrab disebut dengan backlog perumahan ini pun memicu adanya ketimpangan sosial dan ekonomi masyarakat, serta meningkatkan kawasan kumuh di berbagai wilayah.
Koordinator Arsitek Komunitas (Arkom) Jawa Timur Puspitaningtyas Sulistyowati saat memaparkan pendapatnya terkait kondisi hunian layak di Surabaya
Sejalan dengan hal tersebut, Koordinator Arsitek Komunitas (Arkom) Jawa Timur Puspitaningtyas Sulistyowati menyebutkan, hingga kini terdapat 72 kampung yang berlokasi di tepi rel kereta api dengan sekitar 115 ribu jiwa dan menyumbang 0.3 persen kawasan kumuh di Surabaya. “Mayoritas dari mereka yang tinggal di sana adalah masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan ber-KTP Surabaya,” ujarnya.
Perempuan yang akrab disapa Tyas ini mengungkapkan, gencarnya pembangunan properti rumah mewah atau apartemen memicu semakin maraknya backlog. Pembangunan yang ditujukan bagi masyarakat berpenghasilan menengah ini membuat para MBR semakin kesulitan untuk memiliki hunian yang layak tinggal. “Alhasil, penawaran rumah dengan harga yang terjangkau pun sulit ditemukan dan angka backlog pun semakin tidak karuan,” ungkapnya.
Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman serta Pertahanan Kota (DPRKPP) Surabaya Fika Rahmawati saat menyampaikan pendapatnya mengenai hunian layak dari kacamata pemerintah
Menurut Tyas, berbagai solusi yang diberikan pemerintah untuk mengatasi masalah ini sejatinya telah direalisasikan. Akan tetapi, dalam eksekusinya, terlalu banyak hal yang mempersulit masyarakat. Contohnya, untuk bisa membangun tempat tinggal, mereka harus memiliki surat kepemilikan tanah. Padahal, pemerintah telah memberikan keringanan berupa surat izin pemakaian tanah. “Imbasnya, saat ini terdapat 71 kampung yang menempati lahan sengketa,” jelasnya.
Melanjutkan diskusi, Staf Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman serta Pertahanan Kota (DPRKPP) Surabaya Fika Rahmawati menjelaskan bahwa pemerintah telah memberikan banyak alternatif. Secara bertahap, perbaikan rumah tidak layak huni (rutilahu) hingga pembangunan rusunawa untuk warga dengan KTP Surabaya dan MBR telah digalakkan. “Hingga 2024, sudah ada pembangunan 5223 unit rusunawa dan 1500 rutilahu,” tambah Fika
Peserta Srawungzskuy saat mengungkapkan pertanyaannya pada sesi tanya jawab dengan para speaker
Melalui acara Srawungzskuy, Fika pun mengajak para akademisi dan mahasiswa untuk terlibat dalam mengatasi backlog perumahan ini. Harapannya, mereka mampu memberikan rekomendasi terkait model hunian yang lebih efisien, strategi pemanfaatan lahan kosong, hingga inovasi teknologi konstruksi yang lebih murah. “Dengan demikian, penurunan angka backlog di Surabaya bisa dimaksimalkan dan semua masyarakat mendapatkan haknya untuk menempati rumah layak huni,” tutupnya penuh harap. (*)
Reporter: Nabila Hisanah Yusri
Redaktur: Nurul Lathifah
Madiun, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) melalui Tim Pengabdian kepada Masyarakat (Abmas) melaksanakan rangkaian program pemberdayaan
Kampus ITS, ITS News — Dalam rangka memperingati HUT ke-26 Dharma Wanita Persatuan (DWP) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terus melanggengkan perannya dalam upaya penyelamatan iklim. Kali ini,
Kampus ITS, ITS News — Dalam rangka memperkuat aktivis mahasiswa menjadi pemimpin bisnis di masa depan, Institut Teknologi Sepuluh



