ITS News

Rabu, 24 April 2024
24 Mei 2023, 08:05

Fatherless: Mempertanyakan Keberadaan Ayah dalam Kehidupan Anak

Oleh : itsbar | | Source : ITS Online

Ilustrasi seorang anak yang murung karena terdampak fenomena fatherless (sumber: detikNews)

Kampus ITS, Opini — Dinobatkannya Indonesia menjadi fatherless country ketiga di dunia menandakan bahwa banyak anak Indonesia yang tidak merasakan sosok ayah dalam kehidupannya. Namun, anggapan bahwa ayah hanya bertanggung jawab dalam memberi nafkah menjadi tonggak utama pengasuhan di Indonesia. Lantas, bagaimana dengan nasib para anak tersebut?

Psikolog dari Amerika Edward Elmer Smith mengungkapkan, fatherless country merupakan kondisi di mana masyarakat suatu negara tidak merasakan keberadaan dan keterlibatan figur ayah dalam kehidupan sehari-sehari anak. Bukan hanya tidak terlibat secara ruang dan waktu, ketidakhadiran sosok ayah ternyata turut memengaruhi kondisi psikis dan psikologis seorang anak.

Father Hunger dan Dampaknya yang Berbahaya

Para anak yang terbiasa tidak memiliki figur ayah dalam hidupnya biasanya berujung merasakan father hunger. Father hunger atau kelaparan akan sosok ayah menyebabkan para anak mengalihkan kebutuhannya tersebut kepada hal lain sebagai pelampiasan. Di mana kenyataannya, pengalihan tersebut justru menyebabkan masalah baru yang membahayakan.

Gangguan kejiwaan sebagai salah satu dampak buruk dari fenomena fatherless (sumber: prosehat)

Kelaparan akan sosok ayah sendiri mengakibatkan kondisi psikologis anak menjadi tidak matang. Tidak matangnya kondisi psikologis anak menyebabkan anak memiliki self-esteem atau penghargaan terhadap diri sendiri yang rendah. Selain itu, anak juga lebih mudah takut dan cemas, tidak merasa aman baik secara psikologis maupun psikis, penyimpangan seksual, gangguan kejiwaan, hingga kenakalan remaja. 

Berbagai masalah di atas, lahir karena ketidakseimbangan peran antara ayah dan ibu, sehingga anak tidak merasakan “keutuhan”. Melansir dari laman Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, ibu dengan sisi emosionalnya berperan untuk mengajarkan anak mengenai kasih, sayang, dan empati. Sedangkan, ayah dengan sisi logikanya, mengajarkan anak mengenai kemandirian, kedisiplinan, dan pengambilan keputusan yang logis.

Lantas, Apa Akar Permasalahannya?

Meskipun memiliki peran yang begitu penting, nyatanya peran ayah masih belum maksimal. Peran ayah yang seharusnya mencintai, melatih, dan menjadi model bagi anak hanya terkotakkan menjadi figur pencari nafkah. Hal ini pun didukung dengan didikan zaman dahulu yang mengglorifikasi peran seorang ayah sebagai pencari nafkah.

“Ayah baru pulang kerja dan masih capek, biarkan istirahat dulu!”

“Suami itu kerjanya cari uang, istri yang ngurus anak.”

“Kok suaminya yang ngurus anak, istrinya ke mana?”

“Hebat, ya, suaminya mau bantu pekerjaan rumah.”

Keikutsertaan ayah dalam pengasuhan, dinilai sebagai kegagalan seorang ibu dalam mengurus anak. Ayah sebagai laki-laki dianggap tidak pantas mengurus anak dan keperluan rumah tangga lainnya. Padahal, mengasuh anak merupakan tanggung jawab bersama. Namun, kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan para ayah karena menyeruaknya fenomena ini.

Budaya patriarki lah yang bertanggung jawab karena menempatkan laki-laki atas dominansi kehidupan dan membuat mereka lalai, sehingga beranggapan bahwa hanya ibu yang bertugas mengurus anak. Selain itu, pola patrilineal yang kental turut menjadi alasan mengapa peran laki-laki lebih diagungkan, sehingga enggan membantu pekerjaan yang dinilai “remeh” seperti pekerjaan rumah. 

Para Ayah Bisa Lakukan Ini

Interaksi ayah dan anak yang dapat mempererat hubungan kekeluargaan (sumber: halodoc)

Namun, bukan berarti isu ini tidak dapat diatasi. Para ayah dapat mewujudkan interaksi dan perannya melalui lima hal, yaitu membantu anak dalam menyelesaikan masalah, menjadi teman bermain bagi anak, dan mengajarkan anak mengenai perilaku apa saja yang bisa diterapkan dalam kehidupan sosial. Selain itu, ayah juga bisa turut membantu dengan menyiapkan segala kebutuhan dan membimbing anak agar siap menghadapi tantangan hidup di masa depan. 

Dengan begitu, kondisi fatherless yang dapat merenggut masa depan para anak ini bisa diberantas. Para ayah harus terus merefleksikan kembali perannya sebagai orang tua dan turut andil dalam pengasuhan. Selain demi menjaga pertumbuhan anak tetap seimbang, interaksi ayah secara signifikan pun dapat membantu memperhangat hubungan antara ayah dan anak. (*)

 

Ditulis oleh:
Hibar Buana Puspa
Departemen Teknik Transportasi Laut
Reporter ITS Online
Angkatan 2022

Berita Terkait