ITS News

Kamis, 28 Maret 2024
31 Januari 2023, 07:01

Paradigma dan Relevansi Perguruan Tinggi dengan Kampus Merdeka

Oleh : itszan | | Source : ITS Online

Ilustrasi paradigma dan reaktualisasi institusi pendidikan dengan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) (Sumber: Republika.co.id)

Kampus ITS, Opini — Setelah dua tahun diluncurkan, Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) terus bergerak dengan gebrakannya guna memperluas pengembangan bangsa lewat para mahasiswa. Namun, apakah program tersebut berhasil menjadi sebuah kebermanfaatan atau malah merekonstruksi makna praktik pendidikan formal dan konvensional, khususnya di perguruan tinggi?

Kebijakan MBKM yang dituangkan dalam Permendikbud Nomor 3 Tahun 2020 telah menjadi terobosan pemerintah dalam menjawab permasalahan dan peningkatan kualitas dunia pendidikan tinggi saat ini. Berbagai program diinisiasi untuk dapat dipilih mahasiswa, seperti proyek kemanusiaan, kewirausahaan, pertukaran pelajar, pengajar muda, studi independen, penelitian, hingga praktik kerja atau magang.

Paradigma dan Reaktualisasi Kampus Merdeka

Melihat banyaknya program yang dibesut, reaktualisasi dalam MBKM dapat menjadi hal yang membangun atas transformasi pendidikan tinggi di Indonesia. Meskipun demikian, program MBKM justru banyak menciptakan kebingungan akan konseptual dan teori. Pendidikan tinggi yang lazim menjadi tempat menimba ilmu dengan buku dan guru, sepertinya sedikit demi sedikit digeser menjadi magang lapangan semata.

Tawaran menarik yang ditujukan pada jaringan tempat magang membuat MBKM memaksa mendorong perbaikan kurikulum perguruan tinggi. Program cetusan Nadiem Makarim ini terlihat jelas bertujuan membongkar model lama perkuliahan, yang sering dikritik sangat teoretis, bertumpu pada buku teks dan kurang memberikan pengalaman lapangan.

Alih-alih mendorong inovasi pembelajaran melalui “ruang merdeka” yang ditekankannya, kebijakan tersebut telah membuyarkan paradigma pendidikan. Program ini menarik karakteristik berbasis misi yang menjadi kekhasan suatu perguruan tinggi. Tentu dengan mengganti makna belajar secara pragmatis menjadi “berlatih bekerja” pada lingkungan kerja senyatanya.

Ketiadaan rambu-rambu akan perubahan inovasi di lapangan dan adanya transfer antarprodi dengan target menambah wawasan interdisiplin malah dapat membuat skema ini tidak memiliki arah yang jelas. Terlebih, jika nantinya kehabisan kapasitas untuk membuat inovasi akademik guna menambah spesifikasi wawasan pendidikan nasional.

Kebermanfaatan Kampus Merdeka

Di sisi lain, jika ditelisik secara positif, pergerakan MBKM nyatanya sesuai dengan dinamika perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bergerak pesat menuntut perubahan dunia pendidikan tinggi dan kampus. Apalagi dalam era digital, pembelajaran dengan sistem terbuka terus memaksa kita bahwa perkuliahan kelas tidak bisa lagi menjadi satu-satunya tolak ukur sumber ilmu.

Tak hanya itu, tolak ukur praktik pendidikan yang baik justru tak hanya menggemborkan penguatan aspek keterampilan konseptual saja, tetapi juga pengaplikasian ilmu pengetahuan dalam dunia industri. Lebih lagi, perilaku, profesionalitas, integritas, kerja tim, komunikasi, dan kepedulian sosial juga ditargetkan saat mengikuti program MBKM.

Dengan kebermanfaatan yang ditawarkan, makna proses belajar ini tidak akan tergerus dengan hanya sekadar memindahkan aktivitas pengetahuan di kelas menjadi sistem praktik di lapangan. Sesuai dengan tolak ukur tujuan pendidikan nasional, yaitu bukan hanya untuk menambah banyaknya pengetahuan, tetapi juga mengoptimalkan potensi untuk menciptakan hal-hal baru.

Lebih lagi, melalui kegiatan praktikal, pengoptimalan potensi mahasiswa akan terus berkembang dengan kemampuan sintesis inter bahkan transdisipliner untuk bisa berpikir secara sistem. Lebih dari sekadar menganalisis suatu masalah, tetapi mahasiswa juga dapat membawa perubahan dengan analisis sudut pandang tertentu yang lebih luas. 

Melalui target dan kebermanfaatan yang diharapkan tersebut, MBKM seharusnya berhasil menjadi program yang melengkapi, bukan mengganti fondasi pendidikan selama ini. Pemahaman konseptual dan teoritis di bangku kuliah tentu juga harus dibarengi dengan pemahaman praktikal di dunia nyata agar lulusan dapat lebih peduli untuk untuk menjawab permasalahan di sekitar mereka.

Kompleksitas MBKM

Dalam dua tahun sejak dicanangkan, berbagai kendala pandemi, secara masif MBKM terus bergerak dari fase storming menuju norming dan harapannya berakhir dengan performing sebaik-baiknya. Dari fase ini, masa depan kampus juga turut dituntut untuk dapat menjalankan peran sebagai fasilitator pembelajaran berbasis pengalaman interdisipliner bagi mahasiswanya.

Dengan kompleksitas persoalan itu, menunjukkan bahwa ambivalensi MBKM tetap harus dievaluasi secara menyeluruh. Berbagai persoalan yang dihadapi perguruan tinggi jangan sampai menunjukkan titik rendah pendidikan nasional. Kemerdekaan belajar melalui MBKM harus dibugarkan kembali sesuai hakikatnya, yaitu semangat berkreasi dan mempelajari hal baru di berbagai aspek penilaian. (*)

 

Ditulis oleh:
Fauzan Fakhrizal Azmi
Mahasiswa S-1 Departemen Fisika
Angkatan 2020
Reporter ITS Online

Berita Terkait