ITS News

Jumat, 29 Maret 2024
02 November 2022, 12:11

Childfree Bukan Keputusan Egois

Oleh : itsojt | | Source : -

Ilustrasi tidak ingin memiliki anak (Sumber: thenib.com)

Kampus ITS, Opini — Memasuki umur kepala dua, mulai bermunculan pertanyaan-pertanyaan menggelitik seperti “Kapan menikah?”. Ekspektasi sosial bahwa menikah adalah salah satu tujuan hidup yang menyebabkan fenomena ini terjadi. Pun setelah menikah, muncul lagi pertanyaan lain yakni “Kapan memiliki momongan?”. Bagaimana jadinya jika ada yang memilih untuk tidak memiliki anak setelah menikah?

Childfree dan Pro-Kontra yang Menyelimutinya

Childfree, itulah istilah yang menggambarkan pasangan suami istri yang memilih tidak memiliki keturunan. Istilah ini mulai ramai diperbincangkan dengan semakin banyaknya pelaku childfree. Pilihan hidup yang berbeda ini menuai kritik karena dianggap bertentangan dengan tujuan menikah yang beredar di masyarakat yang mewajibkan untuk memiliki keturunan sebagai generasi penerus keluarga. 

Banyak anak banyak rezeki, ungkapan yang sudah familiar ini merupakan salah satu alibi yang digunakan tim kontra menentang pemikiran childfree ini. Menurutnya, jika menolak kehadiran anak maka sama saja dengan menolak rezeki yang diberikan Tuhan. Belum lagi tekanan dari ekspektasi sosial yang menyebutkan perempuan belum sempurna jika belum menjadi ibu.

Mengenal Childfree dari Victoria Tunggono

“Kebanyakan orang bilang hidup belum sempurna kalau belum punya anak; perempuan belum sempurna kalau belum melahirkan. Tapi saya tahu, hidup saya sudah sempurna tanpa harus ada tambahan suami ataupun anak,” tulis Victoria Tunggono dalam bukunya yang berjudul Childfree and Happy pada halaman pengantarnya.

Munculnya suatu pemikiran untuk memutuskan hidup sebagai childfree tentunya dipengaruhi oleh banyak faktor dan motif yang berbeda. Pada kasus Victoria Tunggono yang kerap disapa Tori, dirinya mengungkapkan adanya rasa takut mengalami hal sama seperti yang ibunya alami. Tori sempat menyakiti hati sang Ibu yang membuatnya memutuskan tidak memiliki anak karena khawatir akan disakiti oleh anaknya nanti.

Pasangan suami istri bahagia tanpa anak (Sumber: “Willow & Roxas” oleh u/cabbagesandkings14)

Satu alasan lain dari pelaku childfree adalah bahwa anak merupakan tanggung jawab yang besar. Mereka merasa tidak cukup dalam segi finansial hingga kesiapan mental untuk memiliki anak. “Daripada tidak bisa bertanggung jawab pada anak, lebih baik tidak mempunyai anak,” ucap Tori pada acara Kick Andy.

Faktor-faktor lain seperti trauma yang ditimbulkan pada masa kecil, kesehatan sang suami maupun istri, bahkan ada faktor yang berasal dari garis keturunan dan kondisi lingkungan. Namun apapun alasannya, masih ada masyarakat Indonesia yang menganggap childfree adalah hal aneh akan menganggapnya sebagai keputusan yang egois.

Keputusan untuk mengambil jalan childfree merupakan keputusan bersama pasutri tersebut. Setiap keputusan yang diambil pasti memiliki risikonya masing-masing. Begitu pula childfree, risiko tidak memiliki keturunan maupun tidak ada yang merawat dan sendirian pada masa tua. Namun pastinya saat pengambilan keputusan sudah dipertimbangkan secara matang karena ini keputusan yang diambil dari kedua pihak.

Tak Berhak ada Penghakiman

Pilihan untuk menikah tanpa memiliki anak merupakan hak setiap individu dan harus dihormati. Memang bertentangan dengan gaya hidup masyarakat Indonesia, namun ketika faktor-faktor yang mencetuskan pemikiran untuk childfree muncul, maka orang lain tidak berhak untuk menghakimi keputusan tersebut.

Mungkin ada beberapa orang yang tetap tidak setuju dengan adanya fenomena childfree ini karena merasa mempunyai anak adalah kewajiban setelah menikah. Namun, seperti kata Tori, saat ini mereka memprioritaskan untuk membahagiakan dirinya sendiri tanpa adanya anak. Setiap individu berhak untuk memutuskan jalan hidup mereka karena mereka sudah paham konsekuensi apa yang akan terjadi.

Anak tidak pernah meminta dilahirkan dan anak tidak bisa memilih orang tua mana yang akan melahirkan dan merawatnya. Namun, sebagai orang tua, bisa memutuskan bagaimana mereka akan menjadi orang tua atau bahkan memilih untuk tidak menjadi orang tua.(*)

 

Ditulis oleh:
Bening Anindita
Mahasiswa S-1 Departemen Statistika
Angkatan 2022
OJT ITS Online

Berita Terkait