ITS News

Minggu, 13 Oktober 2024
11 Maret 2022, 14:03

Euforia Kendaraan Listrik, Apakah Sehijau yang Kita Pikirkan?

Oleh : itsri | | Source : ITS Online
Apakah kendaraan listrik baik untuk lingkungan?

Ilustrasi pertimbangan apakah kendaraan listrik baik untuk lingkungan

Kampus ITS, Opini Kendaraan listrik sepertinya telah menjadi pembicaraan hangat di dunia otomotif dan juga energi. Fakta bahwa kendaraan ini tidak lagi menggunakan bahan bakar minyak (BBM) membuat masyarakat melihatnya sebagai solusi dari pencemaran udara yang menjadi masalah dari tahun ke tahun. Namun, apakah benar kendaraan listrik yang sedang gembar-gembornya dikembangkan ini sehijau dan menguntungkan yang kita pikirkan?

Kendaraan listrik yang sedang dikembangkan sekarang seperti Gesits, Tesla, hingga Hyundai  merupakan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) yang akan menggunakan listrik hasil pengisian di berbagai tempat. Tanpa menggunakan mesin pembakaran, tentunya KBLBB tidak akan menghasilkan emisi karbon monoksida seperti kendaraan bermotor yang kita gunakan sekarang. Terdengar bagus bukan?

Benarkah Bebas Emisi?

Dalam permasalahan seperti ini, kita tidak bisa melihat sesuatu dari satu sisi saja. Kita mesti jeli melihat efek-efek yang akan disebabkan dari penggunaan KBLBB secara masif. Ketika kendaraan listrik menjadi mudah didapatkan, akan terjadi peningkatan permintaan energi listrik. Tak hanya untuk mengisi baterainya, produksi dari baterai yang digunakan oleh kendaraan listrik pun memerlukan energi yang besar. Dibarengi dengan pertumbuhan penduduk, hal ini akan meningkatkan ketergantungan manusia terhadap energi listrik. 

Sayangnya, Indonesia sendiri masih mengandalkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) sebagai sumber energi listrik yang tidak rendah emisi. Meskipun pemerintah menargetkan pada tahun 2025 penggunaan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) akan mencapai 25 persen, pada kenyataannya Indonesia masih sangat bergantung pada kontribusi batubara dan gas. Menurut data yang disampaikan oleh  Direktur Mega Project PLN Muhammad Ikhsan Asaad, subtotal penggunaan bahan bakar fosil mencapai 87,4 persen pada tahun 2020.

Peningkatan permintaan dari kendaraan listrik pada pembangkit listrik yang tidak ramah lingkungan ini secara tidak langsung akan menghilangkan aspek “hijau” dari kendaraan tersebut. Sehingga untuk membuat kendaraan listrik benar-benar “hijau”, pemerintah dan pihak terkait perlu melakukan penelitian lebih lanjut serta peralihan sumber energi ke EBT untuk efek yang nyata.

Meskipun begitu, penerapan KBLBB secara masif tidak sepenuhnya buruk. Dengan kendaraan listrik, tentu tingkat emisi akan berkurang. Polusi hanya akan berasal dari pembangkit listrik dan tidak dari kendaraannya langsung. Hal ini tentu akan memberikan efek positif terhadap tingkat polusi udara di daerah yang padat populasi. Sehingga tingkat kesehatan masyarakat pun akan mengalami peningkatan.

Limbah Baterai di Masa Depan

Lanjut pada potensi limbah yang ditimbulkan, akan muncul permasalahan mengenai jumlah baterai bekas yang akan dihasilkan akibat melonjaknya penggunaan KBLBB ini. Baterai memiliki masa pakai yang tergolong cukup singkat, sekitar sepuluh hingga 12 tahun saja. Setelah itu, baterai perlu diganti dengan yang baru agar kendaraan bisa dipakai selanjutnya. Keterbatasan life time baterai ini akan menimbun limbah yang besar di masa depan.

Tak hanya mengenai jumlahnya, baterai kendaraan listrik merupakan baterai lithium yang tergolong kedalam limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Jenis limbah ini membutuhkan penanganan tersendiri sehingga tidak bisa dilakukan sembarangan. Sehingga pekerjaan rumah lain pemerintah adalah merancang dengan matang program daur ulang serta pengelolaan agar senyawa kimia yang ada pada baterai tidak malah merusak lingkungan.

Bukan Solusi untuk Kemacetan

Mari kita berandai-andai. Apabila permasalahan sebelumnya bisa kita abaikan dengan anggapan bahwa Indonesia telah menggunakan EBT sebagai sumber energi dan penanganan limbah baterai sudah baik. Ternyata, masih ada sebuah permasalahan yang kerap kali tidak disadari masyarakat awam. Kendaraan rendah emisi yang murah dan terjangkau tentunya akan membuat pengguna kendaraan pribadi semakin meningkat.

Dengan meningkatnya pengguna tersebut, maka muncul kemacetan seperti yang ada di kota-kota besar. Efek domino dari kemacetan pun tidak main-main, mulai dari pemborosan energi, tersendatnya rantai logistik, kecelakaan lalu lintas, bahkan menurunnya kualitas hidup dari penduduk di suatu daerah. Terlebih lagi, dengan meningkatnya pengguna kendaraan pribadi maka akan diperlukan pula dana besar untuk pembangunan infrastruktur. Pelebaran jalan raya, pembebasan lahan, bahkan penambahan jalan tentu memerlukan tak hanya dana namun waktu dan sumber daya yang banyak.

Ilustrasi kemacetan lalu lintas di jalan raya (sumber: TEMPO)

Membangun jalan yang lebih banyak pun hanya akan menambah permasalahan berkelanjutan kedepannya. Dengan jalan yang lebih banyak, pengguna jalan akan terus bertambah, permintaan jalan akan bertambah banyak lagi, dan begitu seterusnya. Sehingga hal ini tidak akan baik untuk pembangunan yang berkelanjutan karena semakin banyak ruang yang digunakan untuk jalan, maka semakin berkurang pula wilayah untuk ruang terbuka hijau, resapan air, dan pemukiman.

Lingkaran setan tersebut idealnya diputus dengan mengubah perencanaan yang mengutamakan pejalan kaki dan transportasi umum yang lebih rendah emisi. Transportasi umum memiliki kemampuan mengangkut orang lebih banyak dalam waktu yang singkat dibandingkan dengan kendaraan pribadi. Jika dikombinasikan, transportasi umum berbasis listrik akan menjadi solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalah kemacetan sekaligus mengurangi emisi.

Kendaraan listrik memang secara umum menguntungkan jika dibandingkan dengan kendaraan bermotor konvensional. Mulai dari emisi yang jauh lebih sedikit hingga harga yang semakin lebih murah. Namun, Perlu ada penyesuaian mengenai sumber energi yang digunakan, penanganan limbah, regulasi, serta dampaknya terhadap kehidupan sosial. Jangan sampai kendaraan yang dianggap “hijau” ini malah menjadi bumerang bagi kita dan tidak bekerja sebagaimana mestinya.(*)

Ditulis oleh:
Muhammad Miftah Fakhrizal
Departemen Teknik Sipil
Angkatan 2019
Reporter ITS Online

Berita Terkait