ITS News

Kamis, 28 Maret 2024
07 Oktober 2021, 20:10

Meromantisisasi Gangguan Mental dan Menganggapnya Estetik, Wajarkah?

Oleh : itschi | | Source : ITS Online

Ilustrasi gangguan mental (sumber: solaramentalhealth.com)

Kampus ITS, Opini – Beberapa waktu terakhir, istilah romantisisasi gangguan mental ramai diperbincangkan oleh publik. Nama Nadin Amizah sempat menjadi trending lantaran cuitannya di Twitter yang dianggap meromantisisasi gangguan mental. Tak pelak, beberapa warganet melayangkan banyak cibiran kepada penyanyi sekaligus penulis lagu tersebut. “Your girlfriend. Your mentally unstable girlfriend,” ujar Nadin di unggahan empat potret swafotonya.

Namun, apa itu romantisisasi gangguan mental? Romantisisasi gangguan mental adalah kondisi dimana gangguan mental digambarkan sebagai sesuatu yang estetik, glamor, dan lebih baik dibandingkan dengan kondisi yang sebenarnya. Kondisi ini kerap pula diartikan sebagai beautifully painful atau dengan kata lain anggapan bahwa memiliki gangguan mental adalah sesuatu yang menarik.

Kini depresi, Obsessive Compulsive Disorder (OCD), introvert, bipolar, dan gangguan kecemasan malah diinginkan dan banyak diromantisisasi oleh kaum milenial. Acapkali, secara sengaja mereka ‘memunculkan’ gejala gangguan mental agar terlihat benar-benar seperti itu. Mengapa demikian? Tentu karena mereka ingin meraup perhatian dan terlihat berbeda. Seolah-olah menonjolkan bahwa normal itu mainstream.

Setelah kenyang depresiku langsung hilang, aku unik ya?”

“Kamu berani sama aku? Hati-hati aku psikopat!”

“Capek banget, saatnya memasuki waktu bagian depresi!”

“Lucu banget deh, moodku cepet berubah kaya orang bipolar!”

Sering mendengar ungkapan seperti itu, bukan? Itulah yang disebut dengan romantisisasi gangguan mental. Parahnya, hal tersebut dapat berujung pada maraknya self diagnosed. Kondisi tersebut tentunya berbahaya tak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga orang lain. Semakin banyak orang yang mengklaim dirinya mengalami gangguan mental di media sosial tanpa diagnosis resmi dari profesional, maka akan berdampak besar pada pengidap gangguan mental yang sebenarnya.

Kini, kepemilikan gangguan mental ditempatkan bak sebuah kompetisi, yang menang adalah mereka yang paling menyedihkan. Stigma buruk ini tak boleh terus-terusan menjadi dasar estetika di masyarakat. Jika sayatan benda tajam di tangan lebih banyak, maka akan dianggap lebih indah. Sementara itu, orang-orang yang didiagnosis secara profesional malah mengasingkan diri dan bersembunyi dari masyarakat.

Inilah Ciri-Ciri Seseorang yang Kerap Meromantisasi Gangguan Mental

  1. Dengan Mudah Menjustifikasi Perasaan Negatif sebagai Gangguan Mental

Tak jarang ketika seseorang merasa sedih dengan cepat ia menyimpulkan bahwa mentalnya mengalami depresi. Padahal, permasalahan yang mereka hadapi sesungguhnya tak mencerminkan masalah psikologis tersebut. Hingga pada akhirnya, mereka akan mengemas kisah hidup yang terkesan tragis, namun terasa indah. Kisah-kisah tersebut disebarkannya melalui media sosial dan berujung pada romantisisasi yang malah membentuk miskonsepsi.

  1. Kerap Menglorifikasi Gangguan Mental sebagai Hal yang Estetik

Sedikit-sedikit dianggap estetik. Memposting gambar self harm di sosial media dianggap estetik, menuliskan quotes mengenai agresi dianggap estetik, bahkan galaunya depresi dianggap estetik. Padahal, dikutip dari Cambridge Dictionary, bukannya estetik, gangguan mental merupakan masalah yang pelik dan butuh penanganan lebih lanjut.

  1. Menolak Upaya Healing dan Terus Merasa ‘Baik-Baik Saja’

Jika merasakan sesuatu yang kurang baik pada mental kita, hal yang sepatutnya dilakukan adalah berkonsultasi ke tenaga profesional. Bukan malah secara terang-terangan dan terus-menerus mengunggah konten yang menjurus ke romantisisasi gangguan mental. Menolak upaya healing adalah langkah yang tak boleh dilakukan. Dengan menolak upaya healing, berarti kita telah meremehkan dan menganggap sepele gangguan mental yang sebenarnya kompleks.

Lalu, Siapakah yang Bertanggung Jawab?

Media massa dan media sosial disebut-sebut memegang peranan besar dalam membentuk persepsi masyarakat tentang penyakit mental. Media sosial semakin aktif mengaburkan batas antara depresi yang asli dengan yang sekadar diromantisisasi. Media yang mulanya bertujuan menyebarkan informasi untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat terkait pentingnya kesehatan mental, sekarang malah memancing audiensnya untuk meromantisisasi gangguan mental.

Gambaran karakteristik pengidap penyakit mental yang stereotipikal seperti murung, agresif, linglung, dan tak dapat terprediksi bergeser akibat kehadiran internet dengan kekuatan masifnya. Belakangan ini saja terdapat kecenderungan dari sejumlah media untuk membuat kesan alternatif dari para pengidap gangguan mental. Tumblr merupakan blog yang kerap digadang-gadang sebagai salah satu wadah yang sering dipakai untuk membuat estetisasi penyakit mental.

Di tengah masyarakat yang makin sadar akan pentingnya kesehatan mental, media seharusnya mengimbangi dengan menyampaikan informasi yang akurat. Hal tersebut tentu perlu dilakukan agar tak memunculkan miskonsepsi. Selain media, pejuang kesehatan mental hendaknya dapat menggiring pola pikir yang baru di masyarakat dengan menanamkan bahwa gangguan mental harus dipandang secara bijaksana dan tak boleh menganggapnya ‘menarik’ atau ‘berbahaya’.

Gangguan mental bukan sesuatu hal yang tabu dan menakutkan untuk diperbincangkan. Namun, bukan berarti isu gangguan mental juga ada untuk diromantisisaasi. Tak wajar jika seseorang berpikir akan menjadi gagah, keren, dan unik hanya dengan mengagungkan gangguan mental yang ia miliki. Namun sebaliknya, gangguan mental adalah kondisi serius di mana seseorang memerlukan penanganan yang tepat oleh profesional dan lingkungannya.

Kita semua bertanggung jawab untuk menghentikan fenomena romantisisasi gangguan mental ini. Mari kita mulai dari diri sendiri untuk tak mudah mendramatisir kondisi mental. Pain doesn’t equate to pretty. Pain equates to pain. Please stop invalidating a real illness just because you want to be “on trend.” Please stop contributing to an already toxic stigma.

Stop meromantisisasi gangguan mental (sumber: seaofwordsx.wordpress.com)

 

Ditulis oleh:

Erchi Ad’ha Loyensya

Mahasiswa S-1 Departemen Teknik Mesin

Angkatan 2019

Reporter ITS Online

Berita Terkait