ITS News

Kamis, 25 April 2024
30 September 2021, 01:09

September Hitam: Problematika Waktu dan Suara Pemuda yang Makin Layu

Oleh : itszar | | Source : ITS Online

Illustrasi September Hitam (Foto:istock photo)

Kampus ITS, Opini Untaian kisah kelabu di bulan September masih menyisakan bau sangit yang menusuk hati. Beberapa diantaranya menyentil “abu-abu” penegakan keadilan terhadap kemanusiaan yang tak kunjung menemui titik temu. Puluhan tahun berlalu. Generasi berganti baru. Sudah saatnya tutup buku atau kembali melantangkan suara untuk mengharapkan keajaiban baru?

Setelah sekian lama, peristiwa yang menjadi pemantik massa lebih dari dua dekade ke belakang sepertinya akan segera menjadi tumpukan legenda. Pasalnya, tanda tanya yang masih belum terjawab nampaknya akan berujung pada kata menyerah. Semakin pudarnya fakta dihempas waktu semakin mengoyak keyakinan akan titik terang awan kelabu.

Mencari Kebenaran, Apakah Sudah Kadaluarsa?

Seumuran dengan remaja kelas dua SMA, misteri kematian aktivis kemanusiaan, Munir Said Thalib masih belum benar-benar terpecahkan. Walaupun segenap pihak terlibat, bahkan terpidana telah bernafas bebas, hingga kini tuntutan jawaban atas teka-teki seakan dibungkam seribu tangan. 18 tahun sejak kabar itu menghiasi surat kabar, nampaknya hanya akan menjadi penantian sia-sia.

Tidakkah benar premis buntunya pencarian fakta kematian Munir adalah sebuah upaya penguluran waktu? Sebab berdasar Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), hanya tinggal setahun tersisa kasus pembunuhan munir dengan “arseniknya” ini. Bukannya tanpa upaya, seperti yang dilansir CNN Indonesia, jalan buntu para Tim Pencari Fakta (TPF) yang bertugas mengantarkan pada pembubaran di tahun 2005 silam. Seusai berkas penyelidikan diserahkan kepada mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), alih-alih diungkap ke publik, hasil laporan investigasi malah dinyatakan hilang.

Berkaca pada Munir, mengingatkan kembali pada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Tragedi Tanjung Priok 1984. Berbeda dengan kasus Munir yang masih tersisa setahun lagi, tragedi yang menewaskan masyarakat sipil ini telah mencapai batas waktu akhirnya di tahun 2006 silam. Bahkan sekelas Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang sengaja dibentuk untuk menangani kasus-kasus orang hilang ini pun sempat mengalami hambatan hingga penghentian pengusutan sementara. 

Hingga ketika penyelidikan dibuka kembali pada 2004, KontraS yang merekomendasikan agar para terdakwa dituntut kurungan penjara, adanya kompensasi, rehabilitasi serta restitusi kepada korban, namun justru harus menelan kenyataan bahwa jaksa memutuskan vonis bebas dan tidak bersalah kepada semua terdakwa. Bahkan tuntutan kompensasi, rehabilitasi serta restitusi kepada korban pun juga tidak dikenakan.

Hingga kini, masih banyak kasus pelanggaran HAM lainnya yang belum terkupas tuntas. Sebenarnya permasalahan seperti ini bukan hanya bertumpu pada seberapa banyak aturan hukum yang berlaku, atau seberapa lama waktu yang diberikan. Tapi juga seberapa banyak pihak yang mampu berperan dalam menjunjung tinggi dan menegakkan prinsip keadilan bagi HAM.

Suara Pemuda Bisa Berdampak apa?

Jika melihat geronjalan ketidakadilan di negeri ini, sepantasnya kita melihat bagaimanan peran pemuda dalam menyikapinya. Namun gelora generasi 2000-an yang diharap menjadi generasi emas bangsa, nyatanya tak lebih lantang dari auman mahasiswa generasi lama. Padahal dengan menyandang julukan agent of change, seharusnya pemuda menampakkan power yang lebih besar daripada Munir dan KontraS yang dahulu berdiri tegap di garda terdepan penegakan HAM.

Terlepas dari rumitnya politik yang menyelimuti kasus Munir, atau kasus pemberontakan Tanjung Priok, pemuda tetap tak boleh abai begitu saja terhadap kejadian yang menyerang pilar kemanusiaan ini. Boleh saja tak tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik tirai, tapi jangan sampai tutup mata dan mulut atas rongga yang melemahkan bangsa ini.

Mungkin sebagai pemuda yang hidup di era teknologi, bentuk perjuangan kita sekarang sedikit berbeda. Namun langkah para pahlawan yang tidak ragu meneteskan darah dalam perjuangannya menegakkan HAM, tidak boleh terhenti di tangan kita. Meski tidak punya kaki yang kuat, tapi setidaknya anugerah suara yang lantang harus digunakan untuk menegakkan kebenaran. Terlebih lagi, pola pikir kritis dan idealisme yang menjadi kebanggaan mahasiswa, sangat dirindukan oleh bangsa ini. Jangan hanya termangu, ciptakan metode baru untuk menyerukan jeritanmu.

Daripada menyalahkan dan menyerah atas kebingungan pada nasib keadilan di bangsa ini, lebih baik buka mata lebar-lebar dan kawal terus nilai demokrasi negeri ini. Cukuplah bulan kesembilan ini yang menjadi kelabu bagi siapapun yang mengenangnya. Mari kita songsong bulan-bulan yang lain dengan memori yang lebih indah.

Ditulis oleh:

Fatima Az Zahra

Mahasiswa Departemen Teknik Kimia Industri ITS

Angkatan 2019

Reporter ITS Online

Berita Terkait