ITS News

Jumat, 29 Maret 2024
31 Mei 2021, 08:05

Menuju Karamnya KPK, Akankah Pemberantasan Korupsi Ikut Suram?

Oleh : itsojt | | Source : ITS Online

Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar aksi membawa keranda berkain hitam dan menabur bunga di lobi gedung Merah Putih KPK Tahun 2019. (Sumber: Tribunnews)

Kampus ITS, Opini – Membaca saksama putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pengujian materi dan formil terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang telah kita ketahui tidak bisa terpisahkan dari posisi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden dalam revisi tersebut. Hal ini terasa mudah seperti sebuah tanda pengesahan hukum atas suatu kejahatan sempurna (perfect crime) yang ada. 

Dalam sidang putusan MK yang dibacakan oleh Ketua MK, Anwar Usman yang disiarkan secara daring, Selasa (4/5). Ada tujuh putusan yang dibacakan secara terburu-buru dari uji materi dan uji formil. Pengujian materi adalah bunyi isi bagian dari pasal UU, sedangkan pengujian formil adalah pengujian atas tata cara pembentukannya. Ketujuh putusan itu dibaca secara bersamaan sehingga menunjukkan ketidakseriusan MK dengan masalah konstitusional ini.


Menilik hasil putusan pengujian materi MK

Dalam pengujian materi, saya telah menduga MK hanya ingin menghibur publik dengan menerima beberapa permohonan yang diajukan. Terlihat dari hasil permohonan yang tidak berdampak signifikan sehingga tidak menjawab implikasi penting dari pengujian UU ini. Permohonan tersebut antara lain, pengertian KPK sebagai sebuah lembaga, pengalihan pegawai KPK ke Aparatur Sipil Negara (ASN), serta permasalahan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3).

MK memang terlihat menerima soal KPK sebagai sebuah lembaga, tetapi pada dasarnya tidak ada efek yang berarti bagi KPK. Dalam putusan MK tentang Hak Angket DPR atas KPK, hakim menolak KPK diangket karena KPK merupakan lembaga negara independen. Mengingat, angket DPR hanya diperuntukkan bagi lembaga eksekutif. 

Kemudian, pengalihan pegawai KPK menjadi ASN. Sebenarnya hal ini tidak memberikan implikasi apa-apa terhadap permasalahan yang ada. Katanya, ini adalah ‘alih fungsi’ agar bisa memunculkan kesan perlindungan yang dilakukan MK atas pegawai KPK dalam proses pemindahan mereka ke ASN. Namun, pada nyatanya, persetujuan ini tetap memberikan kebebasan pengambilan keputusan sendiri terhadap penyusunan peraturan yang ada.

Berkaitan dengan pegawai KPK, jangan lupa dengan hadirnya Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang bisa saya nilai mencurigakan. Dalam permasalahannya, tes ini menjadi alat ketidakabsahan atau pembatalan terhadap pegawai-pegawai KPK yang memiliki semangat dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Ujian ini menjadi wajib bagi seluruh pegawai KPK karena adanya perubahan pada revisi kepegawaian anggota KPK.

Ujian ini hanya diatur oleh peraturan komisi (Perkom Nomor 1/2021) dan bukan oleh badan hukum nasional. Isi dari pertanyaan bagian PKn pada ujian TWK ini mayoritas tentang masalah politik/ideologi seperti komunisme, radikalisme agama, separatisme Papua, dan komunitas Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender (LGBT) di Indonesia, serta beberapa pertanyaan yang menyerang privasi, kehormatan, atau kebebasan beragama.

Melihat ini, saya mungkin berkata bahwa ini tidak pantas jika digunakan untuk menyaring karyawan dengan pandangan politik yang kontroversial. Terlebih banyak pegawai KPK yang sudah bekerja mengawasi tindak tanduk ASN agar tidak menyimpang dan melakukan tindak pidana korupsi. Dari ujian ini, banyak pegawai yang gagal adalah penyidik yang terlibat dalam perkara antikorupsi, seperti Novel Baswedan dan penyidik berintegritas lainnya. 

Dari hadirnya peraturan ASN dan kontroversi dalam ujian TWK ini, kini secara sederhana tidak ada lagi penyidik yang independen. Hanya ada ‘penyidik’ ASN – Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang pengawasannya dipegang oleh Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

Berdasarkan perubahan tersebut, dibuatlah ‘Dewan Pengawas’ (SB) dimana KPK harus mendapat izin dari SB untuk menyadap telepon, melakukan penggeledahan paksa, dan menyita barang bukti. Menurut saya, hal ini membatasi penyidikan dan meningkatkan risiko kebocoran informasi data. Diatur pula masa penyelidikan KPK hanya sebatas 2 tahun lamanya yang tidak dijelaskan kapan waktu 2 tahun itu dimulai, sehingga KPK tidak mampu menangani kasus korupsi yang kompleks.

Terakhir, berkaitan dengan SP3. Putusan itu tak memberikan implikasi berarti untuk penegakan hukum antikorupsi karena justru membawa implikasi, yakni membuat SP3 kelihatan semakin mudah dibuat dengan hanya diukur dari dua tahun semenjak dikeluarkannya Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP).


Menilik hasil putusan pengujian formil MK

Dalam pengujian formil, MK mendasarkan pada kaki yang sangat rapuh. Membaca putusan MK terasa seperti sekelompok amatiran yang sedang mencari alasan pembenaran. Ini dibaca dari putusan MK No 79/PUU-VII/2019 yang merupakan jantung putusan MK untuk permohonan formil. Hal itu disebabkan, permohonan formil lainnya ditolak lantaran ditundukkan pada alasan yang tercantum di putusan ini.

Pertama, setelah menolak permohonan putusan sela (provisi) atas uji materi terkait hak angket yang telah dibahas pada uji materi, MK langsung masuk pokok permohonan formil dengan alasan revisi UU itu sudah nyata ada di Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan tak masalah soal cepat atau lambatnya penyusunan UU serta juga sudah ada yang namanya partisipasi dan aspirasi dengan mengutip bahwa ada pandangan dari diskusi di beberapa universitas dan pandangan beberapa pakar.

Aspirasi dan partisipasi hanya dilihat dalam bingkai pendekatan semata dan bukan tujuan, hanya dijadikan pendekatan untuk membenarkan apa yang diinginkan, dan bukan lagi tujuan untuk dapat masukan sebesar-besarnya.

Kedua, MK terlihat menggunakan pendekatan yang tidak spesifik dan asal-asalan ketika melihat tuduhan pemohon soal naskah akademik (NA) fiktif. MK abai untuk melihat lebih dalam bahwa NA yang ada adalah NA yang lama, yang tidak bersesuaian dengan materi perundang-undangan yang mau dibuat. NA bukanlah hal yang main-main. Dalam konteks politik hukum, NA menjadi salah satu alat ukur paling sahih untuk melihat mau dibawa kemana arah perubahan UU ini. 

Ketiga, kesepakatan Presiden dan DPR dalam salah satu tahapan legislasi. Jika dilihat keseluruhan tahapan, ada proses yang terlalu cepat dan tak wajar. Bahkan UU yang dibahas dan disetujui bersama itu ditolak Presiden untuk penandatanganan pengesahannya. Padahal ketaatan tahapan pembuatan peraturan perundang-undangan itulah yang menjadi salah satu jantung pengujian formil.


Dissenting Opinion
oleh Hakim MK
Dalam sidang pembacaan putusan yang disiarkan secara daring ini, saya melihat bahwa perubahan UU ini sangat sengaja dikerjakan dalam waktu yang relatif singkat pada saat yang spesifik. Saya menyoroti pembuatan ini dilakukan setelah adanya pengumuman hasil Pemilu Presiden dan Legislatif 2019 serta dilakukan beberapa hari menjelang berakhirnya masa kerja anggota DPR periode 2014-2019. 

Pernyataan saya ini diperkuat dengan terjadinya perbedaan pendapat (dissenting opinion) oleh salah satu hakim MK, Wahiduddin Adams saat penolakan uji formil UU KPK. Ia menjelaskan bahwa UU KPK 2019 ini memberikan perubahan fundamental terhadap postur, struktur, dan fungsi KPK yang hampir menyeluruh. Sehingga menyebabkan nihilnya jaminan konstitusionalitas yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menjadikan UU ini tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Saya menangkap bahwa pemaparan Wahiduddin ini bertujuan agar para pencari keadilan dan masyarakat percaya bahwa mekanisme pengujian formil di MK betul-betul ada dan bukan sekadar ‘katanya’ dalam sebuah cerita. 

Hal itu juga bisa menjadi instrumen penyeimbang bagi agresifnya kekuatan politik mayoritas di DPR dalam pembuatan UU. Dan berdasarkan argumentasi yang diuraikan oleh Wahiduddin, seharusnya Hakim Mahkamah dapat mengabulkan permohonan para pemohon karena secara garis besar penolakan ini menjadi tanda tanya besar yang menjadikan UU ini berubah inkonstitusional.


Satu keputusan kejahatan, dua kematian konstitusional

Pembacaan putusan di atas sesungguhnya menunjukkan betapa seriusnya permasalahan konstitusional yang dijawab MK secara tidak serius. Sistematisnya kejahatan membunuh KPK tidak dipandang sebagai suatu yang berbahaya bagi masa depan Indonesia, padahal putusan MK sebelumnya menegaskan KPK memiliki constitutional importance. Di sini MK terkesan sengaja tidak membawa perspektif konstitusionalitas yang seharusnya sangat penting.

Sebenarnya, pengujian atas uji materi dan formil ini memang menunjukkan kepada kita bahwa ada dua lembaga negara yang mati secara bersamaan, sudah bukan sekedar perfect crime. Bukan hanya KPK, tetapi juga MK dimana kedua lembaga ini berada di ambang sekarat yang menunjukkan kematian moralitas konstitusional di Indonesia. Kematian ini dipercepat oleh para politisi negara yang haus akan kekuasaan.

Jika dilihat beberapa permasalahan kebelakang, komposisi hakim ini selalu kikuk dan gagu ketika berhadapan langsung dengan kepentingan politik. Menurut saya, belum pernah satupun putusan MK yang bisa berhadapan dengan politik secara gagah, pasti selalu berantakan. Mari kita lihat bagaimana kelanjutan dari UU KPK ini, bisa jadi putusan kemarin hanya bentuk afirmasi dari MK sebagai pembuktian bahwa memang kinerja MK sendiri sangat berantakan dan takut dengan kasus politik. 

Orde (paling) baru akan memecahkan rekor terbaru, menggantikan asa ‘anak kandung’ reformasi ini menjadi momen kegelapan konstitusional yang sesungguhnya.

 

Ditulis oleh:
Fauzan Fakhrizal Azmi
Mahasiswa S1 Departemen Fisika
Angkatan 2020
Reporter ITS Online

Berita Terkait