ITS News

Kamis, 25 April 2024
10 Februari 2021, 19:02

Telaah Urgensi Kawal RUU EBT dari Penumpang Gelap

Oleh : | | Source : ITS Online

Prof Ir Mukhtasor MEng PhD ketika membagikan pendapatnya mengenai RUU EBT dalam Webinar RUU EBT, Kamis (4/2).

Kampus ITS, ITS News —  Isu energi terbarukan menjadi bahan perbincangan hangat seiring dengan penggarapan Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Terbarukan (EBT) oleh pemerintah. Melihat kondisi ini, Laboratorium Lingkungan dan Energi Laut Departemen Teknik Kelautan (DTK) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) bersama Dewan Energi Mahasiswa (DEM) Universitas Riau berkolaborasi menelaah pengawalan isu tersebut dari campur tangan penumpang gelap.

Mengawali diskusi, Ketua Laboratorium Lingkungan dan Energi Laut DTK, Prof Ir Mukhtasor MEng PhD menuturkan bahwa terdapat beberapa persoalan dalam tata kelola bisnis di RUU EBT, khususnya pasal 39, 40, dan 51. Menurutnya, strategi pengembangan energi terbarukan yang diadopsi dalam RUU tersebut berpotensi membawa risiko di sektor sosial ekonomi. “Yang mana hal ini dapat menjadi beban dalam pembangunan,” tuturnya.

Kekhawatiran profesor yang akrab disapa Mukhtasor ini muncul lantaran, berdasarkan pasal 40 RUU EBT, Perusahaan Listrik Negara (PLN) diwajibkan membeli produksi listrik swasta serta asing. Kemudian, dalam pasal 51, tertera bahwa adanya feed-in tariff (tarif masukan) sebagai harga jual listrik dari swasta oleh PLN. “Padahal, tarif masukan ini dapat membuat harga jual listrik menjadi lebih mahal lagi,” ungkap mantan anggota Dewan Energi Nasional ini.

Pasal 39 dan pasal 40 dalam RUU EBT yang banyak disoroti oleh Prof Ir Muhktasor MEng PhD.

Muhktasor melanjutkan, dalam pasal 51 juga tertera bahwa dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) secara legal wajib digunakan guna menutup kerugian apabila PLN membeli listrik lebih mahal dari swasta dan asing. “Hal tersebut mampu membebani APBN, padahal beban APBN sendiri kini sudah terbilang berat,” ujar Guru Besar Teknik Kelautan ITS ini. 

Setelah itu, ketika kondisi APBN menjadi tidak bagus, Mukhtasor meyakini bahwa akan ada risiko tarif dasar listrik naik. Kondisi tersebut dapat berdampak pada perekonomian negara yang terganggu, sehingga keuangan rakyat menjadi semakin tercekik.

Mengulik lebih dalam, lulusan Memorial University of New Foundland Canada ini beranggapan, apabila masalah keuangan yang dimiliki PLN mendapat tambahan beban lagi dari RUU EBT, maka isu RUU EBT ini telah ditunggangi oleh penumpang gelap berupa kepentingan bisnis. “Jika ini terjadi, RUU EBT telah digunakan untuk tujuan di luar kepentingan kebermanfaatan energi terbarukan itu sendiri,” tandas Mukhtasor.

Menurut Mukhtasor, berdasarkan pengalaman PLN, energi terbarukan sudah dapat diproduksi dengan harga lebih murah. Bukan tanpa alasan, hal ini berdasarkan pada tren penurunan harga pengadaan listrik Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) oleh PLN dari tahun ke tahun. Kondisi ini juga mengindikasikan bahwa harga listrik terbarukan semakin kompetitif di pasaran. “Berdasarkan fakta tersebut, saya menegaskan bahwa feed-in tariff dan kewajiban membeli listrik swasta tidak lagi perlu dilakukan oleh PLN,” tegasnya.

Tampilan alur munculnya urgensi dalam mencegah RUU EBT dari tunggangan kepentingan lain oleh Prof Ir Muhktasor MEng PhD.

Berdasarkan pasal-pasal pada RUU EBT, Mukhtasor berasumsi bahwa dalam APBN tersedia dana untuk kompensasi. Berdasarkan landasan tersebut, ia mengajukan beberapa solusi guna membenahi sederet persoalan RUU EBT. Yang mana dapat dimulai dari menghayati dan melaksanakan pasal 33 UUD 1945. “Dari sana, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) perlu diatur agar dapat menjadi tangan negara dalam menjadikan energi sebagai modal pembangunan nasional,” ujar pria ini.

Oleh karenanya, ia menyarankan, pemerintah perlu mengatur BUMN seperti PLN, Pertamina, dan sebagainya melalui undang-undang (UU). “Hal ini agar mereka fokus menyediakan energi terbarukan secara kompetitif dan dalam jumlah yang banyak,” imbuh Mukhtasor.

Cara yang kedua ialah dengan menjalankan amanat UU nomor 30 tahun 2007 tentang Energi serta Peraturan Pemerintah (PP) nomor 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN). Mukhtasor mengungkapkan, dalam landasan tersebut tertera arahan untuk memaksimalkan energi terbarukan dengan memperhatikan keekonomian. “Supaya dapat berjalan sesuai kebijakan tersebut, maka perlu ada pengalokasian dana APBN untuk pengembangan energi terbarukan dan penetapan harga yang adil,” katanya menyimpulkan.

Langkah berikutnya, ujar Mukhtasor, dapat ditempuh dengan membangun sistem kemampuan nasional di bidang energi terbarukan. Hal ini termasuk dari segi industri dan rantai pasok, serta penyedia teknologi seperti perguruan tinggi dan lembaga terkait. 

Mukhtasor mengungkapkan, jika strategi ini dibangun, maka momen belanja APBN mampu berubah menjadi aset negara. Kemudian, ekonomi bisa berkembang lantaran harga listrik dirancang tidak mahal. “Di samping itu, penyerapan tenaga kerja juga bisa naik serta nilai tambah dalam negeri juga dapat meningkat,” pungkasnya dalam gelar wicara tentang isu terkait, Kamis (4/2).*

Antusiasme peserta yang hadir dalam webinar bertajuk Menilik Urgensi RUU EBT di Indonesia saat Webinar RUU EBT, Kamis (4/2).

Reporter: Tiara Hikmata Billah
Redaktur: Muhammad Faris Mahardika

Berita Terkait