ITS News

Kamis, 25 April 2024
09 Februari 2021, 16:02

Menyingkap Pergerakan Jurnalisme di Kala Pandemi (Opini Hari Pers Nasional)

Oleh : itstri | | Source : ITS Online

Potret Jurnalis dalam Bertugas di tengah pandemi Covid-19. (source: cjr.org)

Kampus ITS, Opini Hampir genap satu tahun pandemi Covid-19 menyerang tanah air. Kehadirannya mampu menumpahkan goresan tinta tebal dalam setiap lini tatanan kehidupan. Pun demikian terjadi pada ranah jurnalistik yang harus beradaptasi dengan sebuah siklus yang tak pernah terjadi sebelumnya. Di tengah gempuran virus dan momok bahwa siapa pun dapat terpapar, seorang jurnalis tetap dituntut untuk menjalankan tugasnya sebagai garda terdepan pembawa informasi.

Situasi pandemi ini memberikan sebuah pengecualian bagi para jurnalis. Tatkala segenap karyawan dialihkan untuk bekerja dari rumah, mayoritas jurnalis tak punya pilihan lain selain terjun ke lapangan. Tak hanya di Indonesia, pun mengglobal tanpa pandang bulu. Laman United Nations mengungkapkan, setiap harinya, jurnalis bertugas melaporkan situasi terkini dari rumah sakit ataupun layanan pemakaman dengan protokol yang dianjurkan.

Risiko yang dihadapi jurnalis dari segi kesehatan semakin nyata dan tak bisa terelakkan. Tiap harinya, mereka dirundung kecemasan akan terpapar Covid-19. Terutama setelah pemerintah melakukan “pelonggaran” Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang mengharuskan jurnalis untuk turut kembali bertugas ke lapangan. Dilansir dari Suara, The Press Emblem Campaign (PEC) merilis data yang menunjukkan lebih dari 600 jurnalis di 59 negara meninggal dunia akibat terpapar virus Corona selama sepuluh bulan terakhir di tahun 2020.

Sementara itu, Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) mencatat bahwa terdapat 294 jurnalis tanah air positif Covid-19 dalam periode yang sama. Fakta tersebut semestinya menjadi pukulan telak bagi sejumlah perusahaan media yang tak acuh terhadap perlindungan pekerjanya dari penyebaran Covid-19. Lebih dalam, survei AJI bersama International Federation Journalist (IFJ) pada akhir tahun lalu menyatakan bahwa hanya 36,8 persen dari total 792 pekerja media sebagai responden mengaku tidak dibekali alat pelindung diri (APD) dari perusahaan tempatnya bekerja.

Mobilitas tinggi yang dijalani para jurnalis dalam bertugas memang membuat sulit untuk terhindar dari risiko tertular. Belum lagi, eksistensi kasus orang tanpa gejala (OTG) Covid-19 yang tak kasat mata menjadikan penyebarannya semakin sulit dicegah. Kemungkinan inilah yang mengintai kegiatan para jurnalis dalam bertemu dengan narasumber ataupun pihak-pihak lainnya.

Akan tetapi, tak mungkin jua bila memaksa para jurnalis tersebut untuk bekerja dari rumah. Tentunya, lantaran garda terdepan media sangat dibutuhkan untuk memberikan informasi ke publik. Selain itu, para jurnalis juga bertugas sebagai watchdog untuk mengawal penanggulangan krisis ini dengan baik. Dengan latar belakang tersebut, AJI pun telah menyusun Protokol Keamanan Liputan dan Pemberitaan Covid-19 bagi para pekerja media di Indonesia agar dapat bekerja dengan aman dan tenang di tengah pandemi.

Dilansir dari Antaranews, Ketua AJI, Abdul Manan menekankan tiga hal yang harus dilakukan perusahaan media jika pekerjanya terpapar Covid-19. Pertama, perusahaan harus bertanggung jawab dalam pengobatannya karena hak untuk sehat dilindungi Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan. Kedua, perusahaan perlu memberikan masa istirahat agar jurnalis lekas pulih dan terhindar dari risiko penularan terhadap rekan kerjanya. Serta yang terakhir, perusahaan wajib menyampaikan informasi bahwa ada jurnalis yang terpapar Covid-19.

Tangkisan Infodemik oleh Para Jurnalis
Sedari pertama pandemi menyerang, masyarakat mencerna banyak informasi baik yang tervalidasi maupun hoaks. Kondisi ini diperparah dengan masifnya penggunaan internet. Hal ini menjadikan masyarakat dirundung kepanikan atas kabar burung yang menyesatkan. Alhasil, berpengaruh pula pada krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah atas informasi akurat yang disebar. Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus menyebut, fenomena hoaks kesehatan ini sebagai infodemik.

Dikupas dari laman Theconversation, hasil riset Julii Bainard dan Paul Hunter dari University of East Anglia Inggris mendapati bahwa disinformasi kesehatan yang dalam hal ini dikatakan sebagai infodemik dapat membuat wabah suatu penyakit menjadi lebih parah. Menurut Paul, orang-orang yang mempercayai informasi palsu tersebut cenderung abai sehingga mempersulit penanganan wabah. Salah satu contohnya ialah herd immunity yang sempat menjadi pembenaran masyarakat untuk bersikap “biasa saja” alih-alih waspada terhadap pandemi.

Biasanya, masyarakat mendapatkan informasi yang “bermasalah” tersebut dari siaran pesan berantai di ragam aplikasi messenger. Dalam hal ini, masyarakat cenderung turut menyebarkan informasi tersebut tanpa mengecek keabsahannya. Tak bisa langsung menyalahkan masyarakat, karena faktanya terlalu menumpuk informasi yang beredar tersebut. Pada akhirnya, terjadilah bias konfirmasi yang membuat masyarakat memilah informasi sesuai dengan keyakinannya.

Merujuk pada hal tersebut, Yovantra Arief, Direktur Lembaga Studi dan Pemantauan Media Remotivi mengemukakan pendapatnya pada diskusi daring bertajuk Menakar Jurnalisme Pandemi di Media Kita yang digelar oleh AJI (disadur dari laman Balairungpress). Menurutnya, konten media sosial dari orang-orang ‘awam’ berpotensi membawa masalah, lantaran tidak mempunyai latar belakang jurnalisme namun tampak menjalankan fungsi jurnalistik.

Untuk menangkis infodemik tersebut, peran jurnalis dibutuhkan untuk meluruskan kekeliruan informasi di masyarakat dengan mengulik data dan fakta yang akurat dari narasumber terkait. Tak hanya itu, jurnalis juga bertugas untuk bersikap konstruktif dalam pengolahan datanya sehingga mampu memberikan sebuah perspektif yang valid dan dapat dipercayai oleh masyarakat.

Apresiasi Pemerintah Kepada Jurnalis Tanah Air
Sudah sepatutnya, jurnalis sebagai salah satu garda terdepan diberi apresiasi atas kiprahnya menyelamatkan kebenaran informasi di tengah banjir hoaks yang menghadang masyarakat. Tentunya, apresiasi ini harus diangkat tanpa melupakan peran tenaga kesehatan yang bertugas. 

Produktivitas para jurnalis di tengah keterbatasan pandemi ini sudah sepatutnya menjadi kebanggaan bagi masyarakat. Untuk itu, wajar jika Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate menyampaikan apresiasi dan rasa bangga atas dedikasi jurnalis di Tanah Air selama meliput pemberitaan di masa pandemi. Walaupun, rasanya Anugerah Jurnalistik Kominfo 2020 masih kurang cukup untuk menunjukkan rasa terima kasih bagi para punggawa pers.

Oleh karena itu, dalam perayaan Hari Pers Nasional ini, mari kita bersama mengangkat topi atas peran strategis para jurnalis menyelamatkan disinformasi pada masyarakat. Di tengah hiruk pikuk pandemi ini, semoga kesehatan selalu tercurah untuk para jurnalis di luar sana. *

Ditulis oleh:
Astri Nawwar Kusumaningtyas
Mahasiswa S1 Departemen Teknik Kimia
Angkatan 2019
Reporter ITS Online

Berita Terkait